Perbaiki Taraf Hidup, TKI Singapura Didorong Lanjutkan Kuliah

Ngurah Swajaya

Ngurah Swajaya

Surabaya, Bhirawa
Mencari nafkah keluar negeri sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) tidak harus dilakukan selamanya. Karena di luar negeri, seorang TKI juga bisa memperbaiki taraf hidupnya dengan meningkatkan kualifikasi pendidikan sekaligus melatih keterampilan.
Seperti yang telah dilakukan ratusan TKI di Singapura dengan berusaha menyisihkan waktu kerjanya untuk mengejar sarjana strata satu (S1). Duta Besar Indonesia untuk Singapura Ngurah Swajaya menuturkan, saat ini telah ada sekitar 800 TKI yang mengikuti program S1 di Univesitas Terbuka (UT). Pendaftaran dilakukan di Batam, sedangkan proses perkuliahan dilakukan di Sekolah Indonesia di Singapura.
“Kita sedang mendorong agar tenaga kerja tidak didominasi TKI non skill seperti pembantu rumah tangga. Mereka yang dikirim keluar negeri seharusnya sudah memiliki kompetensi dan sudah tersertifikasi sesuai standar yang diakui Singapura,” tutur Swajaya saat ditemui di sela pengukuhan guru besar Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Selasa (23/8).
Dari 800 TKI itu, lanjut Swajaya, 80 diantaranya telah meraih gelar S1 dan 20 di antaranya melanjutkan program S2. Dan itu mereka rela membayar sendiri dari hasil kerjanya. “Itu dari TKI dan sekarang sudah menjadi asisten dosen di salah satu perguruan tinggi di Singapura. Kita berharap TKI lainnya juga seperti ini,” terang dia.
Di Singapura, Swajaya mengaku ada lebih dari 100 ribu warga Indonesia yang menjadi tenaga kerja non skill. Karena itu, bagi mereka yang tidak melanjutkan kuliah, kedutaan memberikan fasilitas untuk pelatihan keterampilan secara gratis. Tujuannya, mengurangi angka TKI non skill. “Sebenarnya peluang kerja yang cukup besar adalah menjadi perawat dan pengasuh orangtua. Tapi itu membutuhkan sertifikasi keahlian khusus,” kata Swajaya.
Menyinggung peluang kerja di Singapura, Swajaya mengakui di negara tersebut tidak banyak peluang yang bisa diharapkan. Sebab, pemerintah setempat telah mengimbau agar industri yang ada lebih mengutamakan teknologi otomasi. Otomatis, serapan tenaga kerja tidak dapat terlalu diharapkan. “Singapura sedang berusaha mengurangi tenaga kerja asing, termasuk dari Indonesia,” kata Swajaya.
Karena itu kalau hanya sekadar lulusan SMK akan sulit masuk ke industri di Singapura maupun Perusahan Modal Asing (PMA) dari Singapura di Indonesia. Swajaya berharap, program vokasional yang diluncurkan SMK juga harus dilengkapi dengan sertifikasi kompetensi yang sesuai standar Singapura. “Tenaga kerja vokasional masih bisa masuk. Jika memang SMK di Indonesia ingin menangkap peluang ini, kami bisa memfasilitasi kerjasamanya untuk mendapat standardisasi kompetensi dari Singapura,” pungkas Swajaya.
Sementara itu, kerjasama vokasi yang dijalin Dinas Pendidikan (Dindik) Jatim selama ini sudah dilakukan dengan standardisasi Jerman. Saat ini, ada enam SMK digadang-gadang akan dikirim ke negara federasi di Eropa Barat ini. Mereka berasal dari jurusan informasi teknologi (IT), mekatronika, dan keperawatan. Bahkan, Dindik Jatim dan Badan Koordinasi Sertifikasi Profesi Jatim tengah menggodok sertifikasi kompetensi bagi mereka. “Kalau di Singapura ada peluang akan kami kaji lagi untuk bisa menjalin kerjasama,” jelas Kepala Dindik Jatim Dr Saiful Rachman.
Pengkajian peluang ini, menurut Saiful sangat penting. Sehingga lulusan SMK bisa tertampung dengan baik di negara yang dituju. “Melihat jaminan kerjasamanya, kalau tidak ada jaminannya untuk lulusan SMK ya ngapain bekerjasama,”lanjutnya. [tam]

Tags: