Percepatan Pembangunan Berbasis Pemetaan Desa

Wahyu KuncoroOleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa

Pembangunan desa menjadi salah satu agenda prioritas pemerintah yang terkandung dalam Nawa Cita. Merujuk Peraturan Menteri Dalam Negeri No.56/2015, Indonesia yang luas terbentang di garis khatulistiwa memiliki 74.754 desa dan 8.430 kelurahan. Sungguh banyak hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan pembangunan desa, salah satunya adalah melakukan  pemetaan wilayah desa. Sayangnya,  belum semua wilayah di Indonesia terpetakan dengan baik.
Pentingnya pemetaan dalam upaya percepatan pembangunan desa, mengingat lebih dari separuh jumlah desa di Indonesia masih dikategorikan sebagai desa tertinggal. Pembuatan peta desa di antaranya adalah untuk mengetahui posisi desa terhadap kawasan di sekitarnya, melihat potensi desa, menyelesaikan sengketa batas wilayah, inventarisasi aset desa dan pengelolaan Badan Usaha Milik Desa, membantu perencanaan pembangunan infrastruktur desa, serta sebagai dasar informasi untuk integrasi spasial pembangunan wilayah. Peta desa ini akan berkontribusi bagi pengambilan kebijakan-kebijakan penting yang bermanfaat bagi masyarakat, sesuai dengan semangat untuk membangun Indonesia dari pinggiran.
Pembangunan nasional berbasis desa dan daerah pinggiran membutuhkan informasi geospasial yang memadai, baik cakupan ketersediaan, maupun tingkat kedetilan yang tersedia. Badan Informasi Geospasial (BIG) sebagai penyelenggara utama Informasi Geospasial Dasar (IGD) di Indonesia memiliki tugas utama menyediakan data dan Informasi Geospasial  yang akurat untuk mendukung pembangunan nasional.
Salah satu langkah yang bisa ditempuh untuk percepatan pemetaan nasional adalah dengan menggunakan Citra Satelit Resolusi Tinggi (CSRT). Saat ini baru separuh wilayah Indonesia yang sudah disiapkan melalui CSRT, untuk mendukung percepatan pemetaan tata ruang dan pemetaan batas wilayah desa dan peta desa. Harapan ke depannya seluruh wilayah Indonesia akan dicover dengan CSRT. Pada segmen batas wilayah, saat ini baru 30% segmen batas wilayah yang telah dikerjakan.
Peta desa sesungguhnya wajib disusun oleh Pemerintah Daerah (Pemda) melalui koordinasi dengan instansi teknis terkait. Adapun Peta Desa terdiri atas : Peta Citra, Peta Sarana dan Prasarana dan Peta Penutup Lahan dan Penggunaan Lahan. Peta Desa selanjutnya akan menjadi rujukan bagi Kementerian/Lembaga serta Pemerintah Daerah dalam program pembangunan.
Penyelarasan Tipologi Desa
Keberagaman kategori perkembangan desa perlu diselaraskan karena merupakan amanah Undang-Undang (UU) No 6/2014 tentang Desa. Menurut Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi  terdapat tiga kategori desa yakni desa sangat tertinggal, desa berkembang dan desa mandiri. Sementara Kementerian Dalam Negeri menetapkan kategori desa dalam 3 kategori, yakni desa swadaya, desa swakarya, dan desa swasembada. Sedangkan Bappenas membagi kategori tingkat perkembangan desa berdasarkan pemahaman kebijakan programnya menjadi desa tertinggal, desa berkembang, desa mandiri, desa maju, dan desa sejahtera. Lantaran itu sungguh diperlukan studi yang difokuskan pada penyerasian tipologi desa berdasarkan tingkat perkembangannya.
Penentuan tipologi desa sangat penting untuk menentukan kebijakan yang seharusnya diambil. Hal itu dikarenakan desa sangat variatif dan terdiri dari banyak karakter. Dengan basis informasi data yang sama, maka akan lebih mudah untuk menghasilkan kebijakan. Selama ini, kebijakan yang diambil para pemangku kepentingan banyak yang tidak berdasarkan riset, tapi berdasarkan pandangan masyarakat. Padahal untuk menyelesaikan berbagai persoalan desa yang berjumlah 74.093 di Tanah Air, yang mempunyai banyak perbedaan karakter, maka perlu adanya peta yang sama.
Saat ini, ada sekitar 74 ribu desa, dengan kondisi sangat tertinggal 63 persen dan yang masuk kategori desa mandiri hanya sekitar 104 desa. Nah, kita ingin agar UU No 6 tahun 2014 tentang Desa ini tidak semata dokumen hukum tapi dipastikan menjelma di tengah masyarakat. Untuk itulah, perlu dilakukan berbagai upaya untuk mendata desa baik dari segi batas wilayah administratif yang dilakukan dengan peluncuran Badan Informasi Geospasial (BIG) yang melakukan pendataan secara langsung tentang batas wilayah desa. BIG melakukan pelacakan langsung terhadap masing-masing desa. da ribuan desa yang tidak memiliki batas wilayah yang jelas. Khusus dalam pemetaan ini, diharapkan peran serta masyarakat desa dan diutamakan musyawarah untuk mufakat di antara desa yang berbatasan.
Kedepannya diharapkan dapat dihasilkan  sistem IG pedesaan yang dapat mensinergikan data spasial untuk pembangunan, mulai dari tingkat pusat hingga desa, dan memberikan akses kepada masyarakat pedesaan terhadap data spasial untuk pembangunan desa, sehingga masyarakat pun dapat ikut berpartisipasi dalam pembangunan pedesaan.
Pembangunan tanpa perencanaan dapat menyebabkan pembangunan tersebut menjadi tidak terkendali. Sesuai dengan Undang-Undang No.27 Tahun 2007 pasal 3 tentang tujuan penyelenggaraan penataan ruang yaitu mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Informasi geospasial yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan mutlak dibutuhkan dalam rangka pengendalian rencana tata ruang untuk mengidentifikasi konflik-konflik spasial. IG juga berpengaruh terhadap kualitas tata ruang, informasi geospasial yang berkualitas dapat menghasilkan produk tata ruang yang berkualitas pula. Oleh karena itu, perlu ditetapkan standar dalam pemetaan rencana tata ruang pada semua jenjang agar dapat terintegrasi secara nasional.
Manfaat Peta Desa
Dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, desa diberi kewenangan bukan sebagai objek pembangunan, tetapi sebagai subjek dari pembangunan. Pendekatannya adalah bottom-up, partisipatif.  Maka, ia diberi kewenangan untuk mengatur dirinya sendiri sebagai self-governing community dengan berkolaborasi dengan pemerintah di atasnya.
Sebagaimana amanat Undang-undang (UU) Desa, bahwa untuk mengelola potensi desa maka dibentuk Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang manfaatnya dapat dirasakan masyarakat dan keuntungannya dapat masuk ke desa. Meski begitu, pemerintah pusat tidak dapat serta merta membentuk BUMDes secara top down. Pasalnya sebagaimana yang diatur dalam UU Desa bahwa dalam pembentukan BUMDes haruslah melalui musyawarah desa. Jadi sifatnya bottom up. Jika sudah terbentuk yang mengelola pun masyarakat setempat.
Dalam mendorong pembentukan BUMDes, pemerintah pusat harus lebih berperan melakukan stimulus-stimulus. Stimulus inilah yang nantinya dapat memancing masyarakat desa untuk membentuk lalu mengelola BUMDes. Bahwa selama ini BUMDes memang tidak berkembang secara maksimal. Hanya beberapa desa saja yang membentuk BUMDes. Dalam konteks  pembentukan BUMDes inilah pemetaan desa semakin menemukan relevansinya.
Di wilayah lain, keberadaan peta desa juga bisa menjadi instrumen dalam melakukan evaluasi terhadap penggunaan dana desa. Sebagai catatan, penyaluran dana desa periode tahun 2016 hingga saat ini mencapai Rp 11,5 triliun untuk 179 kabupaten dan kota yang tersebar diseluruh Indonesia. Pemetaan desa dalam konteks ini juga dapat digunakan untuk untuk mengetahui sejauh mana efektivitas penyaluran dana stimulus terhadap pertumbuhan pembangunan di desa.
Bagi desa yang tertinggal, infrastruktur dan sanitasi menjadi isu penting. Namun, seiring perkembangan pada tahap berikutnya, agar dana desa digunakan untuk mengaktifkan kegiatan ekonomi dan menciptakan masyarakat yang mandiri. Di sini, perlu pengawasan dan masukan dari unsur-unsur desa sehingga ke depan penggunaan anggaran ini tepat sasaran. Karena dana desa program baru, sehingga perangkat desa butuh sosialisasi, penguatan, pendalaman dan pengetahuan untuk memaksimalkan penggunaan anggaran tersebut.
Penggunana dana desa sepenuhnya sesuai dengan hasil musyawarah desa (Musdes) yaitu untuk pembangunan dan pemberdayan desa. Lantaran itu, teknologi informasi dan peta tata ruang perlu dipahami warga desa. Supaya memahami rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang akan dilaksanakan di desanya masing-masing.  Teknologi informasi, wilayah desa dapat digambarkan melalui simulasi dari hasil sistem informasi geografis, teknologi visualisasi, serta telemetrik lainnya.
Melalui pemahaman RTRW desa dapat menjadi perhitungan utama dalam refleksi dan pembuatan kebijakan rencana pembangunannya. Ketika warga desa memahami geografi, populasi, dan sumberdaya alam, melalui observasi detail dari jarak jauh pengenalan ulang obyek, berbagai perencanaan pembangunan desa diharapkan bagi kemaslahatan khalayak ramai.
Wallahu’alam Bhis-shawwab

                                                                                                               ———- *** ———-

Tags: