Perda Bentukan Eksekutif Dinilai Membebani Masyarakat

Foto Ilustrasi

DPRD Jatim, Bhirawa
Masih banyak Peraturan Daerah (Perda) yang terkesan tidak berjalan meskipun sudah disahkan. Terutama Perda yang berkaitan langsung dengan masyarakat. Bahkan perda yang dibentuk oleh eksekutif dinilai membebani masyarakat.
Hal ini disampaikan Wakil Ketua DPRD Jatim Kusnadi, Senin (26/8) kemarin. Ia memberikan contoh seperti Perda bantuan hukum kepada masyarakat miskin. Perda ini diakui sudah lama tidak berjalan sebagaimana mestinya.
“Contoh Perda bantuan hukum kepada masyarakat miskin. Perda ini sudah lama tidak berjalan. Masih banyak lagi perda-perda lainnya yang tidak berjalan,” tegasnya.
Politisi PDI Perjuangan ini membeberkan, apalagi jika Perda itu tidak diikuti dengan Peraturan Gubernur (Pergub). Menurutnya, Perda-perda tersebut selama ini dianggap selesai ketika usai disahkan. “Ada yang harus diketahui yakni Perda yang dilahirkan oleh eksekutif dan legislatif memiliki perbedaan subtansi,” jelasnya.
Secara rinci, Kusnadi menyebutkan jika perda yang dilahirkan eksekutif itu biasanya membebani masyarakat dan memberikan kenikmatan kepada eksekutif. Sebaliknya, kalau perda yang dibuat legislatif umumnya melindungi masyarakat dan menekan eksekutif. “Contoh perda yang membebani masyarakat itu seperti retribusi misalnya,” ujar Ketua DPD PDIP Jatim ini.
Kusnadi menjelaskan, DPRD selalu melakukan evaluasi terhadap Perda-perda yang sudah disahkan. Selain itu, menurutnya Perda-perda yang sudah dibuat ini tidak boleh dicabut oleh pemerintah.
“Artinya perda yang sudah disahkan ini kan sudah lolos evaluasi dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Ya seharusnya tinggal menjalankan saja perda tersebut, jangan terkesan perda yang dibuat ini hanya sebagai popularitas saja,” katanya.
Sementara itu Ketua Badan Perencanaan Pembentukan Perda (Bapperda) DPRD Jatim Achmad Heri mengatakan pembahasan perda harus substantif dan bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Ia mengaku tidak ingin asal pembahasan rancangan perda tuntas, tapi tidak berjalan di masyarakat.
“Ada beberapa raperda yang bisa dilanjutkan anggota DPRD Jatim baru, yakni pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2020. Selain itu, yang juga penting, raperda desa wisata, pengelolaan pertambangan, pengelolaan sampah regional, masalah irigasi, penyelenggaraan keamanan makanan, dan perlindungan terhadap obat tradisional,” jelasnya.
Ketua Parliament Watch yakni Umar Sholahudin juga mengungkapkan, tidak hanya perda bantuan hukum bagi masyarakat miskin, perda lainnya seperti Perda perlindungan petani dan nelayan, perda perlindungan anak dan perempuan juga tidak berjalan efektif atau disfungsional. “Penegakan perdanya lemah. Ini bisa karena pada sisi susbtansi perdanya, atau pada penegakannya. Orientasi jumlah lebih penting daripada kualitas perda,” ungkap Umar.
Selain itu, lanjut Umar, bisa juga aturan pelaksananya yakni pergub belum dibuat. Normatifnya kalau menurut UU 12 tahun 2011 itu tiga bulan setelah perda disahkan, pergub harus sudah diterbitkan.
“Pemprov harus evaluasi kenapa perda yg sudah dibuat tidak berjalan dengan baik, bahkan disfungsional. Pemprov punya institusi penegak perda yakni Satpol PP. Kepala Satpol PP harus dievalusi kinerjanya, selama ini bagaimana. Termasuk fungsi kontrol dewan harus ditegakkan,” jelasnya.
Menurut Umar, Pemprov Jatim cenderung semangat kalau perda ada kaitannya dengan kebutuhan elit dan membebani masyarakat seperti perda retribusi dan pajak, baru cepat fungsional dan ditegakkan. “Tapi, kalau yang terkait dengan kebutuhan masyarakat, perda sulit ditegakkan,” pungkasnya. [geh]

Tags: