Perda Dibatalkan Didominasi Bukan Kewenangan Lagi

Suprapto SPt , MMA

Suprapto SPt , MMA

Tulungagung, Bhirawa
Perda Kabupaten Tulungagung yang dibatalkan atau direvisi oleh Pemerintah Pusat dan Pemprov Jatim dinilai kalangan DPRD Tulungagung bukan karena diskrimatif atau menghambat investasi. Namun lebih didominasi karena bukan lagi kewenangan kabupaten/kota.
“Lihat saja perda yang dibatalkan oleh Pemprov Jatim. Tiga-tiganya karena bukan lagi kewenangan kabupaten. Semuanya kini menjadi kewenangan provinsi,” ujar anggota DPRD Tulungagung Suprapto SPt, MMA pada Bhirawa, Rabu (22/6).
Seperti yang dirilis dari website Kemendagri tercatat ada tujuh Perda Kabupaten Tulungagung yang dibatalkan/direvisi. Tujuh perda itu adalah Perda No 8 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah, Perda No 16 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah, Perda No 11 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara, Perda No 18 Tahun 2010 tentang Pengendalian Menara Telekomunikasi, Perda No 10 Tahun 2012 tentang Perlindungan Mata Air, Perda No 17 Tahun 2010 tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan, Perda No 21 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Izin Gangguan.
Sedang yang dibatalkan/direvisi oleh Pemprov Jatim masing-masing adalah Perda No 11 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara, Perda No 24 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Air Tanah dan Perda No 27 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Berbasis Masyarakat.
Menurut Suprapto yang mantan Ketua Badan Legislasi (Banleg) DPRD Tulungagung 2009-2014 hanya ada dua perda yang perlu dipertanyakan atau dikaji apakah memang dibatalkan karena menghambat investasi. “Kedua perda itu memang kewenangan kabupaten. Yakni Perda tentang IMB dan Perda tentang Penyelenggaraan Izin Gangguan,” terangnya.
Dijelaskannya Perda No 8 Tahun 2009 tentang Pengadaan Barang Milik Daerah bukan dibatalkan tetapi direvisi. Masalahnya, ada aturan baru di Permendagri No 19 Tahun 2016. Begitupun dengan Perda No 16 Tahun 2010 dibatalkan karena ada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).
“Jadi dari 10 perda yang dibatalkan/direvisi kesimpulannya dibatalkan bukan karena diskriminatif atau menghambat investasi. Perda tentang Penyelenggaraan Izin Gangguan pun saya kira dibatalkan karena ada kebijakan baru dari pemerintah pusat terkait izin HO,” papar Suprapto.
Sebelumnya, Sekretaris Daerah (Sekda) Tulungagung Ir Indra Fauzi MM ketika dikonfirmasi mengungkapkan belum mendapat surat resmi terkait pembatalan perda. Baik itu dari Pemrov Jatim atau dari Kemendagri.
“Karena itu kami belum mengetahui. Apa memang ada perda Tulungagung yang dibatalkan,” akunya.

Mayoritas Terkait Investasi
Sebelumnya Mendagri Tjahjo Kumolo memastikan tidak ada Perda bernuansa syariat Islam yang masuk di antara 3.143 perda yang telah dibatalkan pemerintah pusat. Menurut Mendagri, semua peraturan yang dibatalkan tersebut hanya terkait investasi, retribusi, pelayanan birokrasi dan masalah perizinan.
“Siapa yang hapus. Tidak ada yang hapus,” kata Tjahjo di Jakarta.
Mendagri menjelaskan, bila harus mendalami perda-perda yang cenderung intoleran atau diskriminatif serta berpotensi menimbulkan keresahan masyarakat, pihaknya akan mengundang organisasi keagamaan. Hal ini dilakukan untuk menyelaraskan regulasi itu, apalagi untuk daerah otonomi khusus.
“Misalnya, Aceh mau terapkan syariat Islam di daerahnya, itu boleh. Namun penerapan di sana, mau diterapkan juga di Jakarta, tentu tidak bisa,” tegas Tjahjo.
Selama ini, lanjut Mendagri, pemerintah mengikuti pertimbangan dan fatwa dari organisasi keagamaan seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI). Karena itu, pemerintah juga akan melakukan klarifikasi dan berdialog dengan tokoh agama jika melakukan evaluasi dan pendalaman perda bermasalah yang bernuansa Islam.
Untuk mendukung pernyataannya, Mendagri berjanji akan mempublikasikan ribuan perda yang telah dibatalkan pemerintah itu.
Sesuai data yang diperolehnya, menurut Mendagri, dari 3.143 perda yang dibatalkan pemerintah pusat, terdiri atas 2.227 perda provinsi, 306 perda yang secara mandiri dicabut Kemendari, serta 61- perda yang dibatalkan kabupaten/kota dibatalkan provinsi.
Dirjen Otonomi Daerah Sumarsono juga menuturkan hanya 65,7 persen dari perda yang dihapus terkait investasi. Sebanyak 15 persen lainnya terkait diskriminasi dan lainnya dirasa tak perlu karena merupakan norma yang awam berlaku di masyarakat.
Sementara mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengatakan Kemendagri memang mempunyai kewenangan mengevaluasi perda. Namun, tambah Mahfud, evaluasi harus sesuai prosedur hukum yang berlaku.
Mahfud menjelaskan, setiap pemerintah daerah yang membuat perda harus disampaikan ke Kemendagri dan dievaluasi selama 60 hari. Jika selama 60 hari tidak ada evaluasi apa pun, perda tersebut dinyatakan sah.
“Kalau dicabut, harus melalui judicial review atau political review. DPRD nya yang diminta mengevaluasi,” kata Mahfud.
Mahfud mengatakan, secara hukum pemerintah daerah bisa mengabaikan pencabutan perda yang dilakukan oleh Kemendagri. Aturan ini sudah jelas pada Pasal 145 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. “Kecuali undang-undangnya diubah,” kata Mahfud.
Namun, menurut Mahfud, tidak ada perubahan undang-undang yang menyangkut hal ini. Mahfud mengatakan, prosedur ini tidak hanya berlaku pada perda intoleran, tetapi pada semua perda yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah daerah. [wed,ira]

Tags: