Perda No 5 Tahun 2020 Dinilai Buka Peluang Toko Swalayan Berjejaring

Ketua Lembaga Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) Bondowoso, Miftahul Huda.

Bondowoso, Bhirawa
Lahirnya Peraturan Daerah (perda) Nomor 5 Tahun 2020 tentang pembinaan dan penataan pasar rakyat, toko swalayan dan pusat perbelanjaan, Ketua Lembaga Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) Bondowoso, Miftahul Huda menilai berpihak kepada pemilik modal.

Kata Miftahul Huda, Perda yang disahkan oleh Bupati dan DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Bondowoso, pada bulan Juli 2020 lalu itu akan semakin membuka peluang kepada toko swalayan berjejaring untuk memperbanyak toko-tokonya, sehingga secara langsung akan berdampak terhadap pendapatan pedagang yang memiliki toko-toko kecil.

“Jadi, dari 1000 meter itu sebenarnya memproteksi toko-toko kecil. Kalau jarak 50 meter, maka makin kepepet masyarakat pemilik toko kecil, yang modalnya hanya satu juta, bahkan seratus ribu. Tak hanya itu, peluang masyarakat yang memiliki toko kecil untuk berjualan terus menerus juga semakin sempit,” ujarnya.

Tak hanya itu kata mantan Ketua GP Ansor Bondowoso itu, bahwa Perda tersebut pun sangat melukai rasa keadilan bagi masyarakat.

“Kalau hanya 50 meter, ngapain itu diatur membuat perda. Sekalian saja tidak usah ada jarak, jadi sekalian saja buat toko swalayan itu berdempet-dempetan kalau hanya jaraknya diatur 50 meter,” ungkapnya, Jumat (19/2).

Dalam persoalan perda ini lanjut dia, jangan hanya menyalahkan bupati, namun DPRD juga harus bertanggung jawab. Karena tanpa DPR, bupati tidak bisa mengubah atau membuat peraturan daerah.

“Sehingga yang kita lihat, betapa pemerintahan Bondowoso sangat memihak kepada pemilik modal, khususnya toko swalayan,”paparnya.

Menurutnya, terdapat ketidakadilan dan ketidakmampuan pemerintahan Bondowoso dalam memproteksi masyarakatnya dari jeratan ekonomi global yang hanya dimiliki dan dinikmati oleh segelintir orang.

Namun yang perlu dipahami, siapa yang patut disalahkan dalam hal pembuatan perda ini adalah Pemerintah Bondowoso dan DPRD.

“Siapa pemerintahan Bondowoso, yaa bupati dengan jajaranya dan DPRD, karena perda ini diputuskan bersama,” jelasnya.

Lebih lanjut, Miftah mengatakan, semakin menjamurnya toko swalayan, maka toko-toko kecil pracangan semakin terhimpit, karena jarak tempuhnya yang sudah terlalu dekat. Karena setelah membaca secara umum, bahwa substansi dari perda itu ada di pemotongan jarak.

Jadi kalau memang perda ini melakukan pembelaan terhadap masyarakat kecil, seharusnya jarak itu jangan diubah-ubah, atau kalau perlu semakin dibuat lebih jauh lagi.

“Jika perda itu memang serius untuk membela masyarakat kecil, maka seharusnya jaraknya dibuat tetap 1000 meter,”imbaunya.

Kemudian, harus ada aturan secara ketat dengan memberikan kewajiban-kewajiban lain kepada toko swalayan, baru itu lah namanya membela pedagang kecil.

“Kalau pemangkasan 950 meter itu namanya bukan membela pedagang kecil, tapi membela toko swalayan, bahkan sangat membela terhadap keberadaan toko swalayan berjejaring,”terangnya.

Diterangkannya, jika jaraknya awalnya 1000 meter dan menjadi 5000 meter, hal itu baru membela rakyat kecil, akan tetapi jika dari jarak 1000 menjadi 50 meter, itu bukan membela rakyat pemilik toko kelontong.

“Ini malah menginjak-injak pedagang kita, ini sungguh naif menurut saya,” tegasnya.

Jika melihat keberadaan toko swalayan di Kabupaten Bondowoso, kata Miftah bisa lihat sendiri siapa yang terbanyak. Ia menyayangkan, padahal di kabupaten lain melakukan pengetatan, khususnya terkait dengan jarak, tapi di Bondowoso malah dibuka.

“Dengan perda ini, maka pedagang kecil disuruh berhadapan langsung dengan pemilik modal besar, yaa mereka keok pedagang kita. Seharusnya itu diproteksi oleh pemerintah,”ungkapnya.

Ia pun menilai, Perda yang baru disahkan ini juga sangat mengiris rasa keadilan bagi masyarakat kecil pemilik toko pracangan dan Kelontong. Apalagi kata dia, disaat pandemi Covid-19 ini, dimana daya beli masyarakat juga terpengaruh. Namun kemudian pemerintah menyodorkan perda yang tidak berpihak.

“Kegagalan perda ini substansinya adalah memotong jarak dari 1000 meter menjadi 50 meter. Kenapa ?, karena pemotongan jarak yang sangat signifikan,” tandasnya. [san]

Tags: