Perempuan Jawa dan Modernitas

Judul    : Dadi Wong Wadon; Representasi Sosial Perempuan Jawa di Era Modern
Penulis    : Risa Permanadeli
Alih bahasa  : Stephanus Aswar H.
Penerbit  : Pustaka Ifada
Tebal    : 442 halaman
ISBN    : 978-602-72250-1-5
Peresensi  : Al-Mahfud
Penikmat buku, tinggal di Pati.
Menulis artikel, esai, dan ulasan buku di berbagai media massa,
Buku yang merupakan terjemahan dari disertasi karya Risa Permanadeli yang diujikan di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHES) Paris ini menyuguhkan kajian tentang bagaimana peran perempuan dalam sistem sosial masyarakat Jawa, pandangannya tentang penampilan, kecantikan, dan bagaimana perempuan Jawa menyikapi modernisme. Berbekal hasil wawancara dan interpretasi representasi sosial,  penulis mengajukan pelbagai analisis menarik tentang bagaimana modernitas memberi pengaruh pada kebudayaan serta bagaimana kebudayaan menerima dan mengubah bentuk-bentuk modernitas.
Sebagaimana dikatakan Denise Jodelet dalam pengantarnya, Risa Permanadeli tidak memusatkan perhatiannya pada pengetahuan, konsep, dan pilihan sesuai kelangan elit. Penulis memilih mengamati kehidupan sehari-hari, sebagaimana yang diatur oleh norma-norma bersama dalam berbagai kelompok sosial. Pengamatan penulis terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa membawa kita pada pelbagai ritus yang sering dilakukan orang-orang Jawa.
Satu ritus atau upacara yang paling banyak dilakukan orang Jawa adalah slametan. Slametan, disamping ekspresi syukur, juga menyimpan fungsi sosial. Slametan membuat orang saling berinteraksi (srawung); mulai dari tahap persiapan (rewang), hingga prosesi syukuran itu sendiri. Di samping itu, dari slametan kita akan melihat bagaimana sistem nilai masyarakat Jawa terbentuk. Penulis bahkan mengatakan bahwa seluruh analisis yang dibuat sejak awal tentang aktivitas sosial yang mendefinisikan individu Jawa dalam kesehariannya, ternyata mendapatkan penjangkarannya dalam ruang praktik slametan tersebut.
Hal-hal penting yang mengkonstruksi sistem hidup orang Jawa banyak terbaca dari ritual slametan. Slametan menjadi wadah bagi penanaman norma-norma hidup Jawa, tanpa terkecuali bagi perempuan. Anak-anak perempuan sering diajak ibunya untuk rewang dalam rangka slametan. Di sana mereka mengamati bagaimana orang dari pelbagai kelas sosial datang berkumpul, bahu-membahu menyiapkan segala keperluan untuk slametan. Perempuan Jawa pun mulai memahami peran pentingnya sebagai perempuan yang harus bisa bergaul (srawung), menghormati yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, dan pelbagai pengalaman penting yang ia dapatkan dalam prosesi slametan (hlm 106).
Melalui slametan, tulis Risa, perempuan Jawa harus berpindah-pindah secara mental dan sosial, dari dapurnya ke tempat-tempat lain. Di sisi lain, perempuan Jawa harus mampu menjalankan fungsi mengatur rumah tangganya sendiri. Artinya, secara sosial perempuan dibenarkan terlibat di dunia luar dan sekaligus mengabdi dalam rumah tangganya, yang berarti dia melakukan perpindahan antara rumah tangganya dan “tempat lain”. Dalam konteks slematan itulah perempuan Jawa mendapatkan bentuk awal identitas keperempuanannya sekaligus identitas kulturalnya.
Pada gilirannnya, penulis menyimpulkan bahwa slametan dalam tradisi Jawa merupakan dunia acuan, yang menata baik dunia perempuan maupun sistem sosial masyarakat Jawa secara keseluruhan. Perlu ditegaskan, sebagai sistem sosial, slametan hanya bisa memainkankan peran ideal tersebut ketika perempuan sanggup membuat rumah tangganya berhubungan secara harmonis dengan lingkungan. Di sini, bisa dikatakan bahwa perempuanlah yang mendefinisikan batas-batas sistem sosial masyarakat Jawa (hlm 109-110).
Potret peran perempuan Jawa juga nampak dari konsep keluarga yang harmonis dan ideal di masyarakat Jawa. Penulis bahkan menegaskan bahwa harmoni keluarga terletak di tangan perempuan. Laki-laki bertugas bekerja, mengurus karirnya untuk dapat penghasilan. Namun, jika si istri boros, tak becus mengurus anak, tak bisa bergaul dengan tetangga, maka dia dianggap tak mampu berada di luar untuk srawung, sehingga keluarganya jauh dari harmoni (hlm 128).
Selain memaparkan fungsi dan peranan perempuan Jawa, penulis juga mengulas bagaimana orang Jawa merepresentasikan dan memandang modernitas dalam kehidupan sehari-hari. Berangkat dari pelbagai analisisnya, penulis berkesimpulan bahwa modernitas didefinisikan sebagai representasi kedewasaan Jawa untuk menjaga keselarasan atau prinsip rukun. Orang Jawa tidak menolak modernitas, namun justru menyatukan modernitas dengan kerangka keselarasan Jawa. Artinya, pemikiran modernitas tak direpresentasikan sebagai suatu keterpisahan atau hal asing yang memutus masyarakat Jawa dari tradisinya. Modernitas malah membuat orang Jawa secara utuh bisa melestarikan dan memperkuat identitas kulturalnya di tengah arus globalisasi; yakni memperkuat keseimbangan dan harmoni, yang menjadi karakter hidup masyarakat Jawa.
Misalnya, penulis menemukan bahwa tubuh merupakan tempat di mana orang Jawa melestarikan gagasan keseimbangan. Di kalangan perempuan, gagasan tersebut muncul dan dipraktikkan melalui kegiatan perawatan tubuh dan kecantikan, termasuk dengan alat dan bahan-bahan yang menjadi simbol modernitas. Namun, perempuan Jawa tetap menjaga makna atas tubuhnya agar bisa mewujudkan ideal keseimbangan antara kecantikan dari dalam (laku dan budi) dan kecantikan di luar. Penulis menyimpulkan bahwa perempuan Jawa menerima modernitas lewat perjalanan tubuh mereka (hlm 411).
Buku ini menyimpan gambaran tentang bagaimana pertemuan antara arus modern dengan tradisi lokal atau budaya masyarakat Jawa. Di tengah dominannya kajian-kajian tentang masyarakat Indonesia dari pandangan penulis-penulis Barat, buku karya Risa Permanadeli ini memberi angin segar bagi berkembangnya dinamika pemahaman dalam mempelajari masyarakat Indonesia.

                                                                                                           ———- *** ———–

Rate this article!
Tags: