Perempuan Melawan Stigma Lemah

Judul : NENG KOALA
Penulis : Melati, dkk
Terbit : Cetakan pertama, April 2018
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Halaman : XX + 254 halaman
ISBN : 9786020384009
Peresensi : Khoimatun Nikmah
Mahasiswi Teknik Sipil Universitas Semarang. 

Salah satu konsen dan ciri kemajuan sebuah bangsa ialah ketika perempuan dan laki-laki memiliki hak sama dalam segala hal. Pekerjaan, pendidikan, termasuk perlakuan di masyarakat. Dicontohkan oleh RA Kartini dengan semangat emansipasi, bahwa perempuan memiliki hak sepenuhnya dalam menentukan hidupnya sendiri. Termasuk dalam hal pendidikan.
Meski tidak sedikit, pertanyaan-pertanyaan bernada merendahkan dan mengingatkan kodrat perempuan. Apalagi bila perempuan harus memilih untuk sekolah di luar negeri, jauh dari pengawan orang tua, dituntut kemandirian. Ngapain jauh-jauh sekolah ke luar negeri? Apa tidak takut sendiria di negeri orang? Kira-kira dua pertanyaan ini menjadi pertanyaan yanag kerap dilontarkan bila perempuan berniat menuntut pendidikan lebih tinggi di luar negeri.
Namun tidak dengan kisah Melati dan teman-teman dalam buku Neng Koala. Dari judulnya saja, kita sudah dapat menebak bahwa buku ini akan berkisah tentang perempuan-perempuan super-pemberani-dan-inspiratif yang menerabas batasan dan kemudian belajar di Luar Negeri, yakni Negara Koala, Australia.
Ellis, salah satu perempuan dalam buku ini, menuturkan bahwa keinginannya sekolah ke Australia awalnya ditentang oleh ayah Ellis. Bukan karena khawatir, melainkan karena masalah ekonomi. “Kalau Papa kirim kamu belajar ke Australia, konsekuensinya adik-adikmu tidak kuliah,” ucap ayah, saat Ellis bilang mau kuliah di luar negeri, selepas lulus SMA. Dengan berat hati, gadis berusia 16 tahun itu pun melepas bayangannya untuk sekolah di ‘Negeri Kanguru’. Brosur-brosur kampus di Australia yang digenggamnya, dia tatap lekat-lekat.
“Suatu saat saya yakin, bagaimanapun caranya saya akan bisa belajar di sana. I do believe in miracles. It does exist and there are three words for miracles to happen.”
Begitulah Ellis merapal mantra. Hingga keajaiban pun muncul. Pegawai negeri sipil (PNS) Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta itu mendapat tawaran beasiswa G to G dari pemerintah Australia melalui Australian Development Scholarship (ADS) untuk bisa melanjutkan ke jenjang S-2. Meski sudah mendaftar sejak 2006, ia baru lulus tes empat tahun kemudian.
Respon negatif tidak berhenti di sana. Kecaman dan komentar negatif yang cenderung menakut-nakuti terus saja Ellis dapati. Status lajang yang melekat di dirinya menjadi penyebab begitu banyak komentar miring dari keluarga maupun rekan sekantornya. Lebih banyak yang pesimistis daripada yang optimistis.
“Umur kamu sudah waktunya menikah. Jodohmu pasti makin jauh saja!”
“Sudahlah. Perempuan itu enggak usah sekolah tinggi-tinggi. Paling, jatuh-jatuhnya masak, manak (beranak), macak (dandan).”
Semakin membuat mental Ellis ciut ketika hubungan asmaranya kandas, dan kedua orangtuanya sakit menjelang keberangkatannya ke Australia. Dalam kondisi itu, ia pun kembali merapal mantra ajab, “Jodoh, rezeki, dan maut berada di tangan Tuhan. Kalau memang hubungan saya kandas, bukan berarti dunia saya menjadi abu. Dengan pengobatan, saya yakin orangtua saya bisa pulih. Theres’s always a miracle in hope…”
Kisah Ellis menjadi kisah pembuka dari buku Neng Koala. Perempuan memiliki peran ganda yang dapat dikatakan berlipat dibandingkan laki-laki. Terlebih ketika seperti Ellis dan Melati, yang menuntut ilmu di Australia. Mereka adalah pelajar, sekaligus ibu, sekaligus istri, bahkan bisa jadi juga masih sebagai pekerja/karyawan. Sebuah beban yang tidak ringan.
Kadang tumpang-tindih peran ini menimbulkan banyak dilema dan pilihan yang sama-sama susah. Misalkan kisah Nadia yang harus memilih mengurus keluarga atau melanjutkan kuliah.
“Saat itu saya sudah menikah dan memiliki anak perempuan berusia dua tahun yang sedang lucu-lucunya,” kata Nadia. Meski belum dapat gambaran akan seperti apa, suami dan ibu mendukung Nadia untuk tetap melanjutkan niatnya kuliah, berbekal beasiswa dari ADS. “Jalani saja. Ada Mama. Anakmu akan baik-bak saja,” begitu sang ibu memotivasi Nadia.
“Anak kok ditinggal? Jangan egois. Nanti dapat mama baru loh. Nanti pulang, anakmu enggak mau sama kamu loh,” begitulah segelintir omongan orang saat tahu dirinya lulus dan mendapatkan beasiswa.
Dengan berat hati Nadia harus meninggalkan anaknya di Tanah Air. Belum lagi cobaan datang ketika ibunya masuk ICU dan kritis. Terpaksa Nadia harus pulang lebih dahulu ke Tanah Air, padahal dia baru masuk semester pertama di Australia.
Jika Nadia terpaksa meninggalkan buah hatinya di Tanah Air, Efalia Lumban Gaol nekat membawa serta Billy, anaknya yang baru berusia satu setengah tahun ke Canberra. Sebelum merealisasikannya, Efalia melakukan survei singkat selama enam bulan pertama dan berusaha mencari tahu dukungan fasilitas yang tersedia di Australia, untuk anak-anak.
Lain lagi dengan kisah Sri Murni. Menjelang keberangkatannya ke Canberra, dia terganjal oleh pemeriksaan kesehatan. Hasil laboratorium menyebutkan dirinya tengah berbadan dua, dengan usia kandungan sekitar empat minggu. Sri akhirnya tidak bisa melakukan X-Ray paru sebagai bagian dari syarat pemeriksaan kesehatan.
Butet Manurung, Direktur SOKOLA yang juga alumnus Australian National University mengatakan, keinginan para perempuan untuk tetap melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang tertingi bukan bermaksud untuk melampaui laki-laki. Pun bukan untuk meninggalkan tanggung jawab mereka sebagai ibu dan istri di rumah.
“Saya sangat menikmati membaca Neng Koala ini. Model tuturan yang jauh dari model tulisan akademis ini sangat menyenangkan. Seakan kita sedang membaca surat dari sesama sahabat perempuan yang dari lembar ke lembarnya, semakin mengatkan semangat,” kata Butet seperti tertulis di halaman awal buku.
Melati, penulis buku Neng Koala mengatakan, kisah-kisah di dalam buku itu telah diterbitkan di laman www.nengkoala.id. “Terlepas dari segala tantangan yang dihadapi perempuan Indonesia pada zaman modern ini, peluang bagi mereka untuk melanjutkan pendidikannya sangatlah besar,” sebut Melati.
Gaya bertuturnya membuat pembacanya bisa dengan mudah memahami situasi yang terjadi. Meskipun kisahnya sebelas dua belas miripnya, tetap saja ada yang unik pada setiap kalimat yang dituturkan. Secara keseluruhan, buku ini memberikan perspektif lengkap suka duka perburuan beasiswa dan realitas kehidupan sehari-hari para mahasiswi Indonesia di ‘Negeri Koala’.
Sekaligus menebalkan pesan bahwa perempuan tidak bisa selalu dianggap lemah, di baris nomor dua di belakang laki-laki, kemudian tak berambisi kuat dalam meraih pendidikan tinggi. Pendidikan hak semua bangsa dan jenis kelamin, termasuk perempuan.
——— *** ———–

 

 

Rate this article!
Tags: