Perempuan Urban dan Suara Gugatannya

Judul  : MAKRAMÉ
Penulis  : Dias Novita Wuri
Penerbit  : Gramedia Pustaka Utama
Tebal  : 176 hal
Terbit  : Pertama, Agustus 2017
ISBN  : 9786020375809
Peresensi : Teguh Afandi
Editor buku, mukim di Jakarta.

Jatuhnya orde baru dan beralihnya ke era reformasi membuat jalan kekebasan bersuara semakin lapang, tanpa perlu takut bayang-bayang pembredelan. Pun dalam sastra. Reformasi membuat banyak prosa besutan perumpuan urban, yang kelak lebih seksi dinamakan sastra wangi. Mereka menyuarakan kegelisahan perempuan dengan sesekali gaya nakal.
Kini, dua dekade setelahnya, muncul kembali penulis-penulis perempuan urban bagian dari sastra wangi. Setidaknya karena dua alasan pokok, dia perempuan urban yang menulis dan produk sastra yang dihasilkan adalah tak jauh dari perihal perempuan. Dalam diskusi sekaligus peluncuran di Salihara, Ayu Utami menyebut mereka sebagai Sastra Wangi 2.0.
Dias Novita Wuri penulis perempuan generasi mileneal mencoba masuk ke dalam gerbong sastra wangi dengan kumpulan cerpen perdananya berjudul Makramé. Sebagai penulis mileneal, Dias tidak bisa lepas dari kehidupan mileneal dan problematika urban. Dan utamanya adalah kisah-kisah perempuan.
Dalam cerpen pembuka, Dias menjadikan perempuan bernama Rena begitu berani melawan aturan. Suasana dibangun dengan begitu datar, menggambarkan suasana ambiguitas rumah tangga keduanya. Hingga itu berefek pada pekerjaan masing-masing. Hariku di kantor seperti biasanya. Membosankan. Membuatku ingin bunuh diri.(hal.14)
Nuansa dingin dan sepi dalam teks Dias benar-benar menguatkan problematika yang dihadapi manusia perkotaan. Rena dan Ricardo adalah gambaran dari sekian banyak manusia perkotaan yang asing di tengah keramaian.
Kesepian juga menjadi nuansa latar dalam cerpen-cerpen lainnya. Misalkan bagaimana Dias mengunggah kegundahan orang-orang tua dalam cerpen Duiven. Penghuni panti jompo menjadi simbol pengasingan sekaligus pembuangan orang-orang tua. Anak-anak tidak lagi membutuhkan kehadiran mereka.
Tinggal di panti jompo membuat kami jadi filosofis. Kami tidak lagi mempertanyakan apa arti hidup, karena kami sudah menjalani hidup lama sekali dan sedang bersiap-siap menyambut ujungnya. (hal.29)
Lain lagi sepi yang dirasakan Julie, pelacur dalam cerpen Julliet de Julie. Dias benar-benar menyanyat pembaca dengan rasa sepi tragis namun romantis.  Tanyai aku soal rasa sepi. Rasa sepi dan dirinya adalah sepasang kekasih. (hal.42)
Dias sebagai generasi mileneal pasti merasakan laju dunia semakin unlimited, teknologi semakin tak terkendali. Namun momen-momen puitik seorang sastrawan mampu menangkap keresahan manusia modern sekarang, yakni merasa nafsi-nafsi di tengah hingar bingar dunia. Menjadi tidak peduli sesama dan abai pada kehalusan rasa. Dan ujungnya seperti, sudah lama sekali rasanya aku tidak menangis. (hal.45)
Perempuan vs Lelaki
Membicarakan sastra wangi tidak boleh melewatkan posisi perempuan dan lelaki dalam karya sastra. Apakah pilihan Dias tidak jauh berbeda dengan apa yang telah dimulai Djenar Maesa Ayu dan Ayu Utami, bahwa perempuan akan selalu menjadi korban di tengah dunia yang sangat patriarki seperti saat ini.
Dalam beberapa cerpen, Dias menempatkan perempuan menjadi sosok yang bebas dan mampu menentukan pilihannya sendiri. Tidak terikat pada apa yang dijadikan patokan kaum lelaki. Misalkan Dias menggunakan wanita karir (dalam cerpen Com a Luz de Dia), nenek-nenek (dalam cerpen Duiven), pelacur (dalam cerpen Julliet de Julie), seorang waria (cerpen Donna, si Gadis), atau bahkan sebuah artificial intelegent dalam cerpen 2.0.
Memang Dias tidak bisa lepas bahwa sosok perempuan haruslah selalu memesona secara fisik, cantik. Stigma ini menjalar dan diakui oleh Ayu Saraswati dalam bukunya berjudul Putih, bahwa perempuan lebih banyak menerima komentar tentang fisik dibanding laki-laki. Laki-laki tidak diminta baik oleh orang lain maupun kepatutan sosial untuk mempergunakan riasan wajah.
Perempuan memang sudah seharusnya cantik. Kita tidak cantik dari sananya saja, tapi juga harus berusaha. (hal.93)
Pendekatan eksistensi perempuan yang hanya di dasari pada fisik seperti dalam cerpen-cerpen Dias, menjadi ganjalan yang dikritik para feminis. Bila perempuan selalu dijadikan objek, sampai kapan pun dunia akan menjadi patriarki.
Dias juga beberapa kali menempatkan sosok lelaki yang lemah dalam ceritanya. Lelaki tidak melulu sebagai yang gagah, berkuasa, dan kuat semata. Lelaki-lelaki dalam cerpen Dias, sesekali menjadi sosok yang lemah tergantung pada perempuan bahkan bisa dikatakan menjadi korban.
Misalkan dalam cerpen Com a Luz de Dia, Ricardo harus merelakan istrinya bermain serong. Dengan sebuah keputusan palsu, cerita yang direkayasa, bahwa Ricardo juga bermain serong sebagaimana istrinya. Ia kesepian dan tidak bahagia, tapi ia sudah membuat istrinya bahagia. Jadi tidak apa-apa. (hal.24)
Atau lebih sadis lagi, dalam cerpen Dapur yang Bersih dan Lapang, kematian istrinya membuat tokoh aku dalam cerpen ini tidak bisa apa-apa. Bahkan untuk sekadar urusan memasak kebutuhan sehari-hari. Bisa apa kau tanpa aku, demikian arwah istrinya bersuara.
Namun paling mencolok adalah kakek bernama Tuan Hojo dalam cerpen 2.0 yang justru mencintai sosok artificial, jenis Geminoid rumi generasi kedua bernama Mii-chan, yang sejatinya dapat disebut sebagai robot. Listrik mati dan Geminoid Rumi itu juga mati (hal.54). Cerpen ini membawa ingatan kita dalam film Her (2013), di mana lelaki bernama Theodore Twomby jatuh cinta pada sebuah sistem operasi bernama Samantha Morton yang sejatinya adalah makhluk artifisial. Kisah cinta ‘sakit’ demikian, memang jamak terjadi dalam manusia urban-mileneal.
Sastra wangi selalu lekat hubungannya dengan seks. Namun dalam prosa Dias, setidaknya hanya ada satu cerpen yang begitu lugas membahas hal demikian. Yakni dalam Malam Pertama. Dias memakai simbol-simbol perlawanan stigma tubuh perempuan. Mengapa ia tidak perawan? Demikian pikiran sang suami pasca malam pertama. Sekali lagi, Dias kembali menggugat akan dominasi laki-laki dan posisi perempuan yang hanya menjadi objek.
Capaian utama dalam buku Makramé bukan saja soal bagaimana Dias menggugat posisi perempuan. Dias juga menunjukkan bagaimana perempuan menulis bukan sekadar menyuarakan tubuh. Prosa-prosa Dias adalah sebuah bendungan tenang, tidak meletup-letup. Alirannya tanpa ambisi untuk membuat sebuah akhir mengejutkan. Membaca cerpen Dias akan mendapatkan pengalaman serupa membaca cerpen-cerpen terjamahan. Dingin dan tenang penuh kedalaman.
Sastra wangi 2.0 mungkin sudah tidak lagi menonjolkan eksplorasi seks dan tubuh perempuan. Lebih bagaimana perempuan merespon problematika manusia dan perempuan era sekarang yang diliputi sepi, pencarian jati diri, dan sesekali memikirkan kematian.

                                                                                                       ————– *** —————

Rate this article!
Tags: