Perguruan Tinggi Tak Bisa Seenak Sendiri Buka RS

RSSurabaya, Bhirawa
Perguruan Tinggi(PT) yang memiliki Fakultas kedokteran tidak bisa secara otomatis mendirikan rumah sakit sebagai salah satu sarana pelengkap. Lingkungan Hidup (BLH) Kota Surabaya menyebut pendirian rumah sakit  meski untuk pendidikan tetap harus memenuhi ketentuan, salah satunya penyediaan instalasi pengelolaan limbah (IPL) yang baik.
Kepala BLH Surabaya Musdiq Ali Suhudi , Rabu(13/1) mengatakan, pertumbuhan RS di Kota Pahlawan cukup banyak. Beberapa di antaranya didirikan PT atau universitas. Bila ada universitas dilengkapi dengan RS, lanjut Musdiq, maka perizinannya harus dilengkapi termasuk zoning dan penyediaan IPAL..
Dia mencontohkan, jika pengajuan awal hanya universitas, maka ketika akan mendirikan rumah sakit untuk pendidikan mereka harus memperbaiki perizinannya seperti (IMB) rumah sakit. Musdiq juga menyebut Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal)  juga diperbaiki ulang.
“Karena dampak yang ditimbulkan bakal berbeda, sisi lalu lintas dan lain sebagainya,” kata dia usai mengisi acara Kuliah Pakar Kesehatan Lingkungan ‘Pengelolaan Lingkungan Hidup Kota Surabaya’ di Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) kemarin.
Dari sisi aturan IPL, lanjut Musdiq, tidak hanya harus patuh dengan regulasi di Pemkot Surabaya. Melainkan juga menyesuaikan dengan regulasi di pusat. Misalnya RS harus menyediakan IPL cair, tempat penampungan sementara (TPS) bahan berbahaya dan beracun (B3). Kemudian jika RS ini bekerja sama dengan pihak ketiga, maka pihak ketiga itu harus berlisensi.
“Termasuk angkutan limbahnya, itu harus dicek betul,” jelasnya.
Musdiq menyatakan, jika kemudian hari diketahui pihak ketiga itu tidak memiliki lisensi, RS bisa terkena sanksi. Meskipun sudah bekerja sama dengan pihak ketiga dalam pengelolaan limbah, RS tetap kena. Angkutan juga kena. “Makanya semua perlu dicek dengan jelas,” tuturnya.
Di Kota Surabaya yang susah dikendalikan bukan pendirian RS oleh PT atau universitas. Menurut Musdiq, yang sulit diawasi yakni transformasi dari rumah ke restoran, rumah ke tempat cuci mobil atau laundry, rumah berubah menjadi penginapan, hotel, dan lain sebagainya.
Musdiq mencontohkan di daerah Kertajaya. Awalnya itu semua dulunya rumah. Kemudian seiring perkembangan kota, sebagian berubah menjadi tempat makan, show room mobil, dan lain sebagainya. Perubahan ini terkadang tanpa ada pergantian sepadan jalan, kemudian fasilitas pengelolaan limbahnya.
“Sepadan jalan tetap pakai ijin rumah, akhirnya tetap mepet dengan jalan. Sedangkan pengelolaan limbahnya tetap menggunakan rumah tangga,” jelasnya. Untuk itu dia meminta kepada aparat jajaran di tiap wilayah untuk membantu mengawasi. “Yang lebih tahu daerahnya kan lurah, camat, dan jajaran di sana. Jadi kami mereka untuk membantu mengawasi,” pungkasnya. (geh)

Tags: