Periskop Mulut dan Jempol Netizen

Data buku:
Judul: Metode Netnografi: Pendekatan Kualitatif dalam Memahami Budaya Pengguna Media Sosial
Penulis: Dr. Eriyanto
Penerbit: Rosda, Bandung
Cetakan: Desember, 2021
Tebal: 378 halaman
ISBN: 978-602-446-603-9
Peresensi: Muhammad Itsbatun Najih
Bergiat di Muria Pustaka, Kudus

Membincang media sosial tidak terlepas dari pelbagai karakteristik yang melekatinya sebagai kekhasan. Meskipun pada hakikatnya, percakapan di dunia maya tidak berbeda dengan pergumulan pada kehidupan rill sehari-hari. Namun bila ditilik mendalam, bahwa hipotesa macam ini senyatanya kurang tepat. Kehadiran dunia permedsosan ternyata jauh lebih kompleks ketimbang dunia nyata-keseharian. Karenanya, menarik bila terus bermunculan fenomena yang ganjil tapi tetap dimaklumi meski berdalih hiburan.

Simak misalnya sajian konten makan super banyak-porsi jumbo alias mukbang; apa patut dan sehatkah seperti yang dilakoni Youtuber Amerika Serikat, Nicokado Avocado? Demi atensi, eksistensi, dan pamrih adsense, Nicokado kini mengalami obesitas tersebab laku mukbang-nya. Semakin konten videonya mendapat banyak like dan menjadi viral, dirinya serasa mendapat pembenaran untuk terus melakukan mukbang. Dan, kita mafhum, ternyata mukbang menjadi tren di seluruh dunia. Sebuah tren ganjil yang nirfaedah.

Buku berjenis referensi ini hendak mengajak pembaca untuk menyingkap laku para netizen/warganet alias kita semua. Ya, bersandar pada temuan lembaga riset bisnis, We Are Social, pada tahun 2021, setidaknya 170 juta penduduk Indonesia menggunakan medsos. Sementara angka penetrasinya sebesar 61.8 persen (halaman: iii). Itu artinya, netizen Indonesia cukup aktif men-scroll lini masa. Pun, kita meyakini, jumlah tersebut bakal bertambah seiring meluasnya penetrasi gawai di lingkup usia remaja dan kalangan bocah.

Konsekuensi dari jumlah netizen yang amat besar, membawa realitas bahwa saban hari setidaknya akan ada ribuan postingan di pelbagai platform medsos. Dari puluhan ribu posting-an; baik teks, gambar, maupun video, kemungkinan sama banyaknya atau bahkan lebih, jumlah para penanggap; entah berkomentar, me-like, dan men-share. Interaksi hangat yang biasanya dijumpa di warung kopi berganti di layar gawai. Ironisnya, disangkal atau tidak, interaksi di dunia medsos kerap menghasilkan seteru dan terkikisnya kesantunan.

Tidak sedikit perilaku netizen mengumbar kata-kata kasar, cacian, celaan kepada sesama netizen. Padahal, kita mungkin berdalih bahwa sikap banal semacam ini amat sukar/jarang terjadi pada percakapan riil di kehidupan keseharian. Mengapa netizen begitu berani dan tanpa sungkan seakan-akan berbalik karakter atau punya karakter ganda? Eriyanto selaku penulis buku bertajuk Metode Netnografi ini, mewedarkan jawaban rigid kepada pembaca melalui jalur pengkajian. Ringkasnya, meskipun dunia digital beserta netizen sebagai penghuninya sulit tervalidasi dan kerap anonim, toh tetap bisa diteliti.

Metode Netnografi sejatinya melanjutkan aspek kebudayaan yang terdapat dalam kajian Etnografi. Bila Etnografi membidik manusia riil pada kehidupan keseharian yang berbasis etnis/suku bangsa, Netnografi menyasar netizen yang tentunya beragam etnis. Ditambah dengan kompleksitas sebuah akun medsos dengan segala pernak-perniknya macam akun palsu, misalnya, Netnografi membawa tantangan tersendiri yang rumit sekaligus unik. Jumlah netizen Indonesia yang hari ini mencapai jutaan tersebut tetaplah berpunya dan membentuk nilai “kebudayaan” tersendiri pula.

Secara menukik, Eriyanto membabar sejumlah tahapan penelitian Netnografi atas suatu kasus yang sempat viral/trending. Menariknya, kasus yang dijadikan tamsil buku ini, menghasilkan fakta, bahwa suara netizen cukup problematis. Dengan kata lain, kasus dugaan kekerasan seksual dan perundungan, tidak serta merta membawa netizen pada satu suara: mengecam terduga pelaku dan bersimpati atas korban, misalnya. Justru, tak sedikit netizen bersikap sebaliknya.

Cerminan beragam suara netizen pada kasus di atas, seyogianya membawa kemafhuman bahwa di realitas kehidupan keseharian pula, akan tetap ada suara pro-kontra dalam penyikapan atas suatu kasus/isu. Apakah hal ini bisa dikatakan bahwa perangai netizen merupakan representasi atas perangai sesungguhnya pada kehidupan riil-nya? Sememangnya tidak sepenuhnya benar. Pembaca bisa mengacu kepada umbaran cacian dan kata kasar netizen yang intens digunakan di medsos tetapi minim terlihat pada kehidupan keseharian. Fenomena budaya netizen macam inilah yang sekali lagi kian menarik diulik lewat studi Netnografi dengan pendekatan kualitatif pada buku ini.

Ringkas uraian, kajian atas budaya manusia melalui Etnografi merupakan modal dasar untuk dilanjutkan dengan metode Netnografi yang seturut dengan perkembangan interaksi manusia di ranah digital. Buku tebal ini mencoba menyibak dan mendorong pembaca bersikap kritis atas pelbagai fenomena di ranah medsos yang berkembang begitu cepat. Sorongan atas hal ini agar sikap “jatidiri” netizen bisa secara tepat dan bijak untuk tidak terombang-ambing oleh kemunculan isu-isu baru, daya rusak pedengung (buzzer), serta aneka konten berdiktum viral dan prank -yang teranggap banyak nirfaedah.

———– *** ————

Rate this article!
Tags: