Perjalanan 12 Hari untuk Singgah 15 Menit di Puncak

Dokumentasi pendakian Ekspedisi Salju Abadi Mera Peak, Nepal Pataga diambil dari ketinggian 6.461 mdpl.

Dokumentasi pendakian Ekspedisi Salju Abadi Mera Peak, Nepal Pataga diambil dari ketinggian 6.461 mdpl.

Cerita Pengalaman Mahasiswa Pataga Susuri Puncak Mera Peak, Nepal
Kota Surabaya, Bhirawa
Mera Peak merupakan salah satu gunung di kawasan pegunungan Himalaya dengan ketinggian 6.461 Mdpl. Untuk mencapai puncaknya, perjalanan harus ditempuh dengan persiapan fisik dan mental yang tidak biasa. Inilah cerita tiga mahasiswa Pecinta Alam Universitas 17 Agustus (Pataga) Surabaya setelah menyelesaikan ekspedisinya di pegunungan yang terletak di Nepal, India itu.
Lega rasanya bisa mengibarkan bendera Merah Putih, almamater dan Unit Kegiatan Mahasiswa Pataga di puncak Mera Peak. Ungkapan itu pertama kalinya terucap dari  mulut Soleman Bomen Wenda mewakili perasaannya setelah berhasil menyelesaikan ekspedisi salju abadi itu. “Banyak ilmu dan pengalaman selama perjalanan. Dan perjalanan ini adalah impian saya sejak pertama kalinya mengenal dunia pecinta alam,” terang dia kemarin.
Soleman tidak sendiri. Perjalanan selama 15 hari naik turun gungung itu dia tempuh bersama dua rekannya, Lanang Bumi Galuh dan Ezra Dwijoyo. Selama 12 hari mereka habiskan bertiga untuk menyusuri perjalanan sampai ke puncak. Sedangkan tiga hari untuk turun gunung. “Di puncak sendiri kita singgah selama 15 menit. Itu saja sudah cukup. Kalau terlalu lama juga bahaya,” tutur pria asal Papua ini.
Soleman mengakui selain medan yang ekstrim, perjalanan itu juga harus dihadapi dengan tipisnya lapisan oksigen ketika akan mencapai puncak. Situasi bahkan sempat tidak kondusif ketika semangat mulai turun, lelah dan nafas semakin sesak. “Sempat susah nafas waktu itu. Tapi terus ditahan hingga akhirnya mencapai puncak,” kata dia.
Lanang Bumi Galuh menambahkan, perjalanan memang membutuhkan waktu lebih lama saat berangkat ke puncak. Itu disebabkan adanya masa aklimatisasi yang harus dilalui pendaki. Waktu itu digunakan untuk seseorang beradaptasi dengan ketinggian yang tidak biasanya dia tinggali.
Pria yang tinggal di Rungkut ini menjelaskan, suhu normal di sana mencapai minus 5 derajat. Bahkan saat 600 meter menuju puncak, cuaca mencapai minus 21 derajat. Mereka juga harus beradaptasi dengan oksigen yang semakin menipis seiring dengan dataran yang semakin tinggi. “Morning sicknes pasti, rasanya tidak ingin makan tetapi ya kami paksakan,” lanjut mahasiswa jurusan Psikologi ini.
Lanang mengaku, hingga perjalanan memasuki hari ketujuh, dia masih menemukan perkampungan untuk bersinggah. Tidak kurang dari lima perkampungan sampai ke ketinggian 5.000 Mdpl itu. Selebihnya, dia harus bermalam di basecamp hingga memasuki hari ke sembilan. “Setelah itu barulah medan ekstrim mulai kita hadapi. Salju pertama kali kita temui pada hari ke-9. Perjalanan itu kita tempuh menuju highcamp,” kata dia.
Perjalanan menuju puncak, baru dimulai pada hari ke-10. Saat itu semua perlengkapan harus dipakai. Perjalanan menuju puncak ini sempat tertunda sehari karena badai salju yang tidak mungkin ditembus. “Info badai salju kita terima dari manajer di Surabaya yang juga memantau perjalanan kami. Komunikasi bisa kita lakukan dengan menggunakan telepon satelit ketika masih berada di perkampungan,” kata dia.
Perjalanan ke puncak merupakan tahap paling ekstrm. Selain peralatan, metode pendakian sudah harus menggunakan move together, seluruh pendaki berjalan bersama dengan diikat tali satu sama lain. Hal itu dilakukan untuk menghindari terperosok di lubang-lubang gunung. “Semakin di atas, semakin besar dan dalam lubangnya. Dan itu tidak terlihat karena tertutup salju. Jadi harus dipastikan jalur kita aman dulu,” kata Lanang.
Jika ada lubang, maka jalur pendakian harus memutar supaya aman. Tidak hanya lubang dan oksigen yang menipis, situasi semakin menegangkan dengan kemiringan jalur hingga 70 derajar.  “Saat itu emosi benar-benar tinggi. Suhu dingin, tubuh kelelahan, medan berat. Untungnya kita bisa saling memotivasi sehingga tidak sampai putus asa,” katanya.
Ekspedisi ini mendapatkan apresiasi yang positif dari pihak kampus. Bahkan Wakil Rektor 1 Untag  Andik Matulessy saat ini sedang mengajukan beasiswa bagi mahasiswa yang berhasil membawa nama Untag hingga ranah internasional. “Saat ini, kampus belum punya regulasi untuk mengatur beasiswa di bidang non akademik. Hal ini masih dalam tahap rencana agar bisa mendapat beasiswa penuh,” terangnya.
Dengan adanya beasiswa atas prestasi non akademik, menurutnya bisa menjadi model untuk pembelajaran. Agar mahasiswa tidak hanya berpaku prestasi akademik. “Kompetensi mahasiswa tidak hanya masalah akademik, masalah non akademik juga. Peringkat kami saat ini di posisi 112, karena belum ada prestasi internasional,” lanjutnya.
Ia pun berharap tahun depan, setelah memiliki dana kembali dari pihak universitas dan sponsor, Pataga mampu menciptakan prestasi-prestasi internasional lain. “Untuk kegiatan ini saja menghabiskan hingga Rp 200 juta, mungkin nanti bidang kegiatan yang lain juga bisa dikompetisikan,” terang pakar Psikologi sosial ini. [Adit Hananta Utama]

Tags: