Judul : Lost in Ningxia
Pengarang : Asma Nadia
Penerbit : Republika
Tebal : viii + 340 halaman
Cetakan : Pertama, September 2023
ISBN : 978-623-279-199-2
Peresensi : Thomas Utomo
Guru SD Negeri 1 Karangbanjar, Purbalingga
Tuntutlah ilmu hingga Negeri Cina, demikian bunyi pepatah masyur. Tapi, bagaimana jika: kejarlah cinta hingga Negeri Cina? Inilah yang terjadi pada Rani, seorang stuntwoman yang dijangkiti budak cinta-bucin-parah pada Arief, kekasihnya. Rani rela melakukan apa saja, termasuk mengirimi uang dalam jumlah besar, secara rutin, kepada sang pacar yang tengah menempuh studi S2 di Ningxia, Cina. Tanpa sepengetahuan kekasih, Rani bahkan bersedia pindah keyakinan ke Islam.
Menjelang hari ulang tahun kekasih, Rani terbang ke Ningxia. Dia berharap bisa memberi kejutan hadiah ulang tahun berupa keislamannya. Nyatanya? Setelah menempuh perjalanan berliku, di tengah kendala bahasa dan tersesat berbilang kali, Rani-yang mengganti nama menjadi Aisha-justru menjumpai kenyataan berbeda. Harapan bisa menikah dan hidup berbahagia bersama pujaan hati, hancur berkeping.
.
Seperti tidak cukup, di Ningxia, Aisha masih mengalami beberapa masalah: paspor hilang, hingga dilema untuk tetap memeluk keyakinan baru atau melepasnya sama sekali?
Di tengah kegamanangan, Aisha bersua Baba Rahman, pemilik kedai bakmi di Mingzhu Road, Ningxia. Keramahan lelaki tua beserta Mo dan Saabira, kedua anaknya, mengantarkan Aisha pada perjalanan baru. Tak hanya perjalanan fisik, tapi juga ruhani.
Lost in Ningxia adalah seri kedua novel Assalamualaikum Beijing-pertama terbit tahun 2013. Tokoh maupun jalan cerita kedua novel, tidak berhubungan sama sekali, namun mengambil latar sama; Negeri Tirai Bambu. Jika sebagian Assalamualaikum Beijing berlatar ibukota Cina, di Lost in Ningxia, 80% latar tempatnya adalah Ningxia, satu teritori Muslim di negara komunis tersebut.
Membaca Lost in Ningxia adalah menekuri lembar demi lembar diskusi seputar cinta dan pengorbanan, iman dan pengejawantahan. Apakah cinta bisa, bahkan boleh, menjadi pembenaran untuk pengorbanan paling besar sekalipun? Apakah cinta itu seklise lagu hanya memberi tak harap kembali? Atau cinta justru adalah sebuah kesalingan dari kedua belah pihak?
Bagaimana dengan iman? Apakah seperti cinta, yang idealnya tak hanya diyakini di lubuk sanubari, iman juga diejawantahkan dalam perbuatan nyata? Bagaimana jika pindah agama dilakukan semata demi menyenangkan pacar? Bukan atas keyakinan dan kesadaran sendiri?
“Salahkah jika ia ingin membuat langkah konkret akan hubungannya dengan Arief? … Salahkah jika ia ingin menyingkirkan satu dinding tebal yang selama ini menghalangi mereka untuk benar-benar tak terpisahkan? Agar mereka akhirnya mampu melangkah sama-sama, memasuki babak baru.” (halaman 27).
Membaca Lost in Ningxia adalah juga menelusuri jejak Islam di negara komunis terbesar di dunia. Menjenguk sekelumit perjuangan Sa’ad bin Abi Waqqash saat ditugaskan Khalifah Utsman bin Affan ke Cina, hingga mendirikan Masjid Huaisheng tahun 747, dan menyimak aktivitas keagamaan di muslim village.
Bukan Asma Nadia jika novelnya tidak disisipi lembut kalimat mutiara, di sana-sini, seperti, “Kenikmatan shalat akan berbeda tergantung berapa banyak hati yang kamu letakkan di hamparan sajadah.” (halaman 295).
———– *** ————