Perjalanan Mulus Pakde Karwo Tanpa Mahar Politik

Ketua Umum MUI yang juga Rais ‘Aam PBNU KH Ma’ruf Amin, didampingi Ketua Yayasan Rumah Sakit Islam Surabaya (Yarsis) Mohammad Nuh, memberikan keterangan pers disela rapat pleno Yarsis, di Universitas Nahdatul Ulama Surabaya, Jatim, Rabu (17/1) kemarin. [Gegeh Bagus Setiadi]

Mahar dengan Politik Uang Tak Ada bedanya

Surabaya, Bhirawa
Isu mahar politik kembali mencuat menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2018. Bahkan, fatwa mengharamkan politik uang dan undang-undang sudah jelas mengaturnya. Pasalnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun membenarkan bahwa mahar politik dan politik uang Tidak Ada bedanya.
Gubernur Soekarwo menyebut tidak ada mahar politik ketika dirinya mengikuti kontestasi Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jatim selama dua periode. Bahkan orang nomer satu di Jatim ini juga menceritakan kondisi pencalonan waktu itu hingga pendaftaran tanpa mengeluarkan biaya dan merasa diuntungkan.
Pada awalnya, Pakde Karwo sapaan akrab Soekarwo menceritakan bahwa semua itu harus ada hubungannya dengan sejarah. Betapa tidak, pada waktu ikut dalam konvensi PDI-Perjuangan mendapatkan suara paling banyak, yakni 22 suara dan Soetjipto (almarhum) mendapat 11 suara.
Meski dari segi suara menang, namun internal partai lebih memilih almarhum Soetjipto Sekjen PDI P waktu itu. “Itu harus ada hubungannya dengan sejarah. Begitu saya ikut konfensi PDIP dapat 22 dan Pak Cip (Soetjipto almarhum, red) dapat 11. Tapi saya tidak dicalonkan oleh DPP,” terangnya, Rabu (17/1).
Kemudian, justru Partai Demokrat-lah yang mendukung dirinya. Atas dasar kepentingan satu yakni membesarkan organisasi itulah menjadi kesempatan juga untuk dicalonkannya menjadi Gubernur Jatim. Waktu mendekati pemilihan, kata dia, Saifullah Yusuf (Gus Ipul) datang bersama pimpinan PAN. “Nah, Jadi saya sudah jalan baru mendekati kurang 4 bulan itu Gus Ipul gabung. Jadi tidak ada di proses itu (mahar politik, red), apalagi membayar saksi,” imbuhnya.
Waktu berjalan sampai dua periode memimpin Jatim membuat Gubernur Soekarwo paham akan kondisi peta politik wilayahnya. Bahkan Soekarwo menceritakan proses pencalonannya waktu itu tanpa diimbangi adanya mahar politik.
Bahkan, Pakde menuturkan, selama kembali maju di periode dua hampir tidak ada aktivitas kampanye sama sekali. Hanya saja mendatangi daerah-daerah seperti Malang, Madura dan Jember yang dinilainya belum maksimal dalam perolehan suaranya. “Jadi, saya datang di daerah yang banyak No-nya, yang Yes-nya tidak saya datangi,” jelasnya.
Sementara itu Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta semua pihak yang terjun di dunia politik menghentikan kebiasaan setor mahar politik karena dinilai sama saja dengan politik uang. Ketua Umum MUI KH Ma’ruf Amin menyatakan tidak akan mengeluarkan fatwa haram soal mahar politik. Terlebih, sudah ada undang-undang yang mengatur soal politik uang.
“MUI sudah mengeluarkan fatwanya (fatwa haram politik uang, red) di Pilkada, sudah ada aturannya (undang-undang). Sekarang tinggal penegakan hukumnya (law enforcement). Jadi tidak perlu ada fatwa lagi,” kata Ma’ruf Amin saat ditemui Bhirawa di Tower Unusa Kampus B Jalan Jemur Sari Surabaya, Rabu (17/1) kemarin.
Masih banyaknya permintaan mahar politik, M’aruf Amin meminta agar bisa diselesaikan secara aturan yang ada. Menurut dia, hal tersebut akan menjadi percuma jika diperbanyak aturan atau soal pelarangan politik uang kalau penegakannya tidak berjalan sesuai harapan.
“Kalau ternyata dia menggunakan mahar politik kan tidak boleh mencalonkan. Tinggal bisa dibuktikan atau enggak. kalau tidak bisa ditegakkan tidak bisa dieksekusi kan,” terangnya.
Ditanya konteks mahar politik dengan politik uang apakah sama, M’aruf Amin membenarkan. “Iya, ya sama,” jelasnya.
Sementara saat ditanya terkait kebijakan antarpasangan calon yang melantunkan syair Arab untuk menggunggulkan masing-masing calon, dirinya menegaskan hal itu tidak apa-apa asalkan tidak menghina. “Kalau memuji sendiri itu tidak apa-apa. Tapi kalau mencaci dan menghina tetap tidak boleh. Untuk memuji bagus karena menggunakan syair Arab. Itu menarik,” pungkasnya.
Seperti diketahui, rumor soal adanya mahar politik di Pilkada 2018 kembali menjadi perbincangan. Itu sejak La Nyalla Mattalitti mengaku diminta uang ratusan miliar oleh Ketua Umum Prabowo Subianto, sebagai syarat mendapatkan rekomendasi agar diusung Gerindra di Pilgub Jatim 2018.
Kemudian di Pilkada Jabar, Dedi Mulyadi mengaku diminta uang Rp 10 miliar oleh oknum di Partai Golkar. Ini terjadi saat Golkar masih dipimpin Setya Novanto. Begitu pun di Pilkada Cirebon, di mana Brigjen Polisi Siswandi mengaku gagal dicalonkan oleh Partai Keadilan Sejahtera karena diminta mahar.  [geh]

Tags: