Perjuangan Mendirikan Sekolah Cendekia

Resensi buku :

Judul Buku  : Guru Para Pemimpi
Penulis          : Hadi Surya
Penerbit        : Qanita
Cetakan        : I, Oktober 2013  
Tebal             : 376 halaman
ISBN              : 978-602-1637-04-3
Perensi         : Siti Wahyuni
Mahasiswa Tarbiyah UMM, pegiat klub pecinta buku Booklicious Malang

Memoar inspiratif ini berkisah tentang perjuangan penulis mendirikan sekolah gratis bagi anak-anak pinggiran. Bermula pada awal April 2002, saat mahasiswa Fakultas Pendidikan angkatan pertama (1997) STIMI Depok mengadakan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Ketika semua temannya ingin lekas-lekas menyelesaikan kuliah, wisuda, dan mencari kerja, Hadi malah kembali ke desa tempatnya KKN. Keprihatinan atas sumber daya manusia, kepedulian karena melihat kondisi sekolah yang parah, dan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat desa Babakan, kecamatan Ciseeng, kabupaten Bogor itulah yang menariknya untuk kembali.
Untuk menuju desa Babakan, dilewati banyak sekali gedung-gedung sekolah unggulan. Sekolah-sekolah itu adalah School of Universe, Dwi Warna Boarding School, Daarul Muttaqien (TK sampai Universitas), Sekolah Madina yang terkenal dengan ikon Cak Nurnya (sekarang pindah ke Telaga Kahirupan), dan Smart Excellensia (hal. 23-24). Tak jauh dari gedung-gedung mewah tempat orang-orang pintar dari berbagai pelosok negeri itu berkumpul, jalanan yang tak berwajah mulai ditemui dan di sinilah masyarakat Babakan hidup dengan ketertinggalan. Sebuah ironi!
Di desa itu, anak-anak selepas SD tak sedikit yang menikah (hal. 32). Anak-anak yang melanjutkan ke SMP bisa dihitung jari, apalagi SMA. Kaya sumber daya alam (SDA), namun miskin sumber daya manusia (SDM). Karena SDM yang lemah itulah, SDA yang subur bukan diolah, melainkan dijual murah kepada investor berduit. Lima puluh persen dari total luas desa (lebih dari 450 hektare) bukan lagi milik penduduk asli. Hal ini menyebabkan penduduk menjadikan perikanan sebagai mata pencaharian (hal. 25). Sedikit saja sawah yang terdapat di sana. Selain tanah milik penduduk yang tidak lagi luas, pupuk yang mahal dan hama tikus yang banyak juga mengurungkan niat mereka untuk bertani. Belum lagi pengetahuan tentang pengolahan pupuk organik belum mereka dapatkan. Maka, bertani bagi mereka sama saja dengan bunuh diri.
Hadi memutuskan untuk tinggal di sana. Mula-mula ia ikut mengajar ngaji di rumah Kyai Bahrul, lalu menjadi guru di sekolah swasta, membuka sanggar belajar yang bernama Cinta Ilmu (hal. 82), mendirikan TK karena penduduk didominasi oleh anak-anak tapi tak ada TK satu pun (hal. 148), dan mendirikan SMP (hal. 199) dan SMA Cendekia.
Tentu saja bukan hal mudah untuk mendirikan sekolah, apalagi di tempat yang penduduknya jumud. Jatuh bangun ia menghadapi cobaan yang menghampiri. Mulai dari kekurangan dana, sangkaan aneh dari penduduk, seperti; menjadikan penduduk sebagai barang komoditas, sekolah yang didanai oleh orang non Islam, sekolah yang tak jelas, sampai pada permasalahan skripsi dan wisudanya. Walaupun tertinggal dari teman-temannya, Hadi tetap lulus S1 dengan nilai skripsi B. Skripsinya pun membahas tentang desa tersebut, yaitu berjudul “Persepsi Masyarakat Desa terhadap Dunia Pendidikan Formal” (hal. 165). Namun tidak seberuntung saat menempuh S1, kesibukannya mengurusi sekolah di desa Ciseeng membuatnya diDO dari pasca sarjana setelah lebih dari dua tahun tidak masuk kuliah (hal. 361). Berkat kerja kerasnya dan bantuan berbagai pihak dalam mendirikan sekolah tersebut, akhirnya sekolah Cendekia diliput oleh TV swasta. Tak lama kemudian, gedung sekolah terbangun karena donatur berdatangan setelah melihat acara tersebut.
Hadi, pemuda asal Rembang, Jawa Tengah ini bukanlah anak dari orang kaya, kuliahnya pun didanai oleh orang tua asuh. Pesan yang sangat ditekankan dalam memoar ini adalah bahwa siapa pun yang menginginkan perubahan tak akan meraih hasil yang baik jika hanya menitik beratkan pada bidang materi: uang, beras, gula, kecap, dan seterusnya (hal. 166). Menurutnya, bakti seperti itu hanya akan membentuk jiwa peminta-minta atau membuat mereka tersinggung. Hadi menjelaskan bahwa kitab suci pun menyebutkan bi anfusihim (jiwa-jiwa mereka). Maka jika menginginkan perubahan, mulailah dengan pendidikan. Selamat membaca!

Tags: