Perjuangan Syafiya Menghadapi Tantangan Hidup

Syafiya, saat menjajakan sapu lidi di pinggir jalan Situbondo. Selain miskin Syafiya kini tidak memiliki rumah. [sawawi]

Tak Punya Rumah, Enggan Meminta, Pilih Berjualan Sapu Lidi
Kabupaten Situbondo, Bhirawa
Di dunia ini tidak ada seorang pun yang ingin hidup miskin. Namun berbeda dengan nasib Syafiya, perempuan berusia 54 tahun itu sudah cukup lama bergelut dengan seribu kekurangan. Syafiya semakin tersiksa, ketika suami tercintanya memilih untuk bercerai. Kini nasib ia hanya seorang diri tanpa saudara dan anak yang ikut mendampingi. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan makan, Syafiya hanya bisa menggantungkan kepada sapu lidi, jualan andalannya dan enggan menjadi peminta-minta.
Syafiya mengaku suaminya sekitar enam tahun yang lalu nekat meninggalkan hidup seorang diri. Dia menceraikan Syafiya karena perbedaan prinsip. Dia tidak memiliki anak dari hasil pernikahan tersebut. Sedangkan kedua orang tuanya sudah lama meninggal dunia.
Ketika masih berkeluarga, Syafiya bersama sang suami, tinggal di sebuah rumah kontrakan di Desa Talkandang, Kecamatan Kota Situbondo.”Sejak ditinggal suami saya tidak mampu membayar kontrakan lagi karena itu, saya memilih hidup di jalan dengan cara berjualan sapu lidi. Saya bertekat akan terus berjualan selama masih mampu berjalan,” tutur Syafiya.
Siang kemarin, Kamis (23/4), Syafiya sedang membawa sepeda ontelnya di Jalan Wijayakusuma, Kelurahan Dawuhan Kecamatan Kota Situbondo. Perempuan yang sehari hari memakai jarik itu membawa sejumlah sapu lidi. Ada juga sapu yang terbuat dari serabut kelapa. Itulah keseharian yang dijalani Syafiya untuk bisa memenuhi kebutuhan hidunya. Meski terpancar rasa lelah, Syafiya tetap penuh optimis agar dagangannya cepat laku. “Ya saya hanya bisanya menjual sapu ini mas karena sudah tidak punya apa apa lagi,” katanya.
Syafiya juga memandang harta satu satunya yang dianggap paling berharga adalah sepeda ontel. Sebab kemana saja pergi dan beraktifitas, hanya sepeda tersebut yang selalu dibawa. Selain paling mahal, dimata Syafiya seped ontel miliknya menjadi multi guna. Sebab, di samping sebagai alat untuk mencari nafkah, sepeda ontel itu juga bisa dijadikan tempat menaruh makanan dan pakaian. “Ini satu satunya harta milik saya,” ujar Syafiya.
Biasanya disaat capek, sepeda ontel Syafiya diparkir di sejumlah jalan protokol Kota Situbondo. Mulai Jalan PB Sudirman, Jalan Kenanga, Jalan WR Supratman, Jalan Wijayakusuma, Jalan Sucipto dan Jalan Ahmad Yani. Diatas sepeda ontel itu pula tampak ada beberapa ikat sapu lidi. “Saya kalau istirahat selalu duduk didekat sepeda ontel, ketika diparkir di beberapa pinggir jalan raya,” ucapnya.
Karena miskin, Syafiya sehari hari saat bekerja tidak memakai pakaian bagus layaknya perempuan lain. Setiap hari Syafiya hanya memakai baju yang lusuh. Perempuan itu sehari-hari, kian memprihatinkan, karena ternyata tidak punya rumah. Karena itu, ketika malam tiba, Syafiya biasanya tidur berpindah pindah di sejumlah emperan toko. “Ya toko toko yang saya tempati tidur itu milik masyarakat yang biasanya sudah tutup,” akunya.
Syafiya kembali mengatakan, tempat istirahatnya tidak menentu. Tetapi, lebih sering tidur di depan toko-toko sekitar perkotaan. Profesinya sebagai pedagang sapu lidi biasanya dilakukan mulai pagi hingga sore hari dengan cara berkeliling.
Syafiya mengaku sebagai perempuan tunawisma memiliki dampak yang kurang bagus dalam pandangan masyarakat. “Hasil penjualan sapu ini menjadi satu-satunya sumber pendapatan saya. Meski penghasilannya tidak seberapa, tapi saya sudah merasa cukup untuk memenuhi kebutuhan sehar-sehari. Apalagi saya hidup sendirian. Jadi, kalau untuk memenuhi makan dan minum, penghasilan dari menjual sapu sudah sangat cukup,” ungkapnya.
Ia mengakui, ukuran kebutuhan hidup dirinya tidak seberapa besar. Hanya, membutuhkan untuk membeli nasi bungkus setap hari. Syafiya tidak perlu membayar tagihan listrik atau air PDAM karena memang tidak punya tempat tinggal. Namun menurut Syafiya, untuk memenuhi kebutuhan hidup itu tidak mudah ia dapatkan. “Saya pasrah dengan hidup seperti ini di pinggir jalan. Tapi kalau sudah cukup persediaan makan, saya cukup lega,” akunya.
Syafiya menuturkan, ia tidur dengan berpindah pindah dari depan pertokoan satu ke pertokoan yang lain. Hidup Syafiya diakui penuh resiko karena sangat rentan mengalami masalah dengan kesehatan tubuhnya. Ini karena belakangan ini Syafiya kerapkali mengeluh sakit dibagian tubuhnya. “Kalau sudah capek tensi badan saya mulai panas. Mungkin karena tidurnya kena angin malam diemperan toko,” ungkap Syafiya.
Di samping itu, Syafiya juga mengaku kerap kali terancam keselamatan jiwanya. Sebab, beberapa kali sempat menjadi korban kejahatan. Akibatnya uang pribadinya diambil saat tidur di depan salah satu pertokoan. Tetapi, lanjutnya,
Syafiya semakin pasrah karena Allah SWT punya maksud lain. Syafiya kembali mengaku, dirinya selama ini tidak pernah mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah. “Kami sangat memaklumi mungkin karena tidak punya tempat tinggal yang tetap. Sampai saat ini saya juga belum memiliki e-KTP,” urainya.
Salah satu warga Kelurahan Dawuhan, Mukti Sari, mengaku terenyuh melihat nasib yang menimpa Syafiya yang hidup miskin dan sebatangkara. Setiap ada rejeki, aku Mukti Sari, ia tak jarang membantu sesuatu yang dibutuhkan Syafiya. Yang paling memprihatinkan, terang Mukti Sari, wanita sabar itu tidak punya rumah sebagai tempat beristirahat. “Saya berharap kepada warga yang mempunya rejeki untuk ikut menyalurkan bantuan. Minimal nasi bungkus,” pungkas Mukti Sari. [sawawi]

Tags: