Perlawanan Petani dalam Konflik Agraria

Umar Sholahudin(Refleksi Hari Tani Nasional 24 September)

Oleh :
Umar Sholahudin
Dosen Sosiologi Hukum Unmuh Surabaya, Sedang Menulis Disertasi tentang Relasi Kuasa Hukum Negara dan Hukum Rakyat dalam Konflik Tanah di Jawa Timur

Setiap tanggal 24 September, kita peringati sebagai Hari Tani Nasional. Namun seiring dengan peringaan hari Tani Nasional ini, kondisi dan nasib para petani justru memprihatinkan. Mereka saat ini sedang terperangkap dalam konflik agraria yang sudah berlangsung puluhan tahun dan belum terselesaaikan. Atas nama pembangunanisme dan kepentingan kaum pemodal, hak-hak (tanah) rakyat terampas dan kondisi kehidupan mereka bagiakan pengungsi di negeri sendiri.
Tak hanya itu, dan yang lebih parah lagi, kaum petani kerapkali menjadi korban konflik agraria, antara kepentingan investor atau kaum pemodal yang berkolusi dengan negara dalam melakukan perampasan hak-hak tanah rakyat di pedesan yang sampai saat ini berjalan secara struktural, masif dan sistematis. Dalam beberapa studi yang dilakukan, konflik agraria selalu melibatkan antara; negara, kaum pemodal dan masyarat. Dan masyarakat selalu pada pihak yang dikalahkan.
Persoalan konflik agraria pada umumnya berakar dari pengambil-alihan lahan yang dilakukan dengan cara-cara mal-prosedur dan tidak memerhatikan hak-hak masyarakat. Dalam setiap kesempatakan hak-hak masyarakat atas tanah mereka, senantiasa diabaikan oleh perusahaan, dengan alasan telah mendapat legitimasi “legal” dari pemerintah. Selain itu, dalam perjalanannya, dengan setiap pola yang diterapkan, perusahaan juga lebih banyak ingkar janji kepada masyarakat, sehingga muncul upaya dari masyarakat untuk menuntut kembali hak atas tanah yang digunakan untuk membuka perkebunan.
Dalam catatan akhir tahun 2015, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)  mencatat, sepanjang tahun 2015 terjadi 252 konflik agraria dengan luas 400.430 hektar dan konflik ini juga menyeret sedikitnya 108.714 keluarga. Jika di tahun 2014 sektor pembangunan infrastruktur menjadi penyumbang tertinggi konflik agraria, maka tahun 2015 ini bergeser ke sektor perkebunan, yaitu 127 kasus (50 persen). Kemudian disusul oleh pembangunan infrastruktur 70 kasus (28%), lalu di sektor kehutanan 24 kasus (9,60%), sektor pertambangan 14 kasus (5,2%), kemudian lain-lain 9 kasus (4%), serta pertanian dan pesisir 4 kasus.
Konflik agraria di tahun 2015 ini juga memakan korban. Korban tewas sebanyak 5 orang, tertembak 39 orang, dianiaya sebanyak 124 orang, dan ditahan 278 orang. Jika diakumulasi, dalam kurun waktu 11 tahun terakhir terjadi 1.772 konflik agraria pada luasan wilayah 6.942.381 hektar yang melibatkan 1.085.817 keluarga. Artinya, dalam dua hari sekali terjadi konflik agraria di Indonesia.
Selaunjutnya, jika dilihat sebaran teritorinya, ada 7 provinsi yang menyumbang konflik agraria paling banyak, yakni Riau (36 konflik), Jawa Timur (34 konflik), Sumatra Selatan (23 konflik), Sulawesi Tenggara (16 konflik), Jawa Barat dan Sumatra Utara menyumbang masing-masing 15 konflik. Berbagai upaya dilakukan negara -yang berkolusi dengan kaum pemodal- dalam meredam perlawanan kaum petani di berbagai daerah konflik agraria. Meminjam Louis Althusser (1971), negara menggunakan apa yang dikenal dengan, yakni Idiological State Aparatus (ISA) dan Repressive State Aparatus (RSA). ISA; Dengan dalih idiologi pembangunisme untuk rakyat, rakyat dipersuasi dengan idiologi pembangunan untuk rakyat, melawan pembangunan sama dengan melawan rakyat. Tak cukup dengan ISA, negara juga menggunakan instrumennya, baik hukum dan politik kekuasaannya, yakni melakukan tindakan kekerasan dengan mengusir mereka (petnai) yang dianggap menduduki tanah negara atau tanah illegal, bahkan jika perlu dilakukan kriminaslisasi. Hal ini sebagaimana yang terjadi di kasus Wongsorejo Banyuwangi, petani rembang, dan sebagainya.
Perlawanan Petani
Neokolonialisasi negara atas tanah rakyat terus dilakukan negara yang berkolusi dengan kaum pemodal dan rakyatpun tak tinggal diam, kaum petani dengan kesadaran kolektifnya, bahwa “penjajahan negara harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Meski dalam posisi dan pihak yang lemah dihadapan negara dan kaum pemodal, bukan berarti lemah dalam melawan ketidakadilan. Berbagai perlawanan fisik dan simbolik terus dilakukan kaum petani di berbagai daerah konflik (agrariaa), sebut saja misalnya perlawanan gigih kaum ibu-ibu petani Rembang yang melakukan ketidakadilan negara dan kaum pemodal atas eksploitasi sumber daya air di kawasan gunung Kendeng.
Bahkan perlawanan kaum petani sudah sangat radikal, sebagaimana yang dilakukan ibu-ibu petani yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng, dengan memasung kakinya dengan semen, sebagai perlawanan simbolik kepada pabrik semen yang akan didirikan di kawanan tersebut.
Radikalisasi merupakan gambaran gerakan tindakan yang dilakukan oleh kaum petani. Tindakan kekerasan dapat dilakukan karena beberapa asumsi antara lain, perasaan kecewa yang terakumulasi karena system yang dianggap tidak memberikan nilai keadilan. Dari ketidakadilan tersebut memunculkan kesenjangan social dan terakumulasi menjadi sebuah moment anarkis para pelaku kerusuhan, pendudukan, dan penguasaan. Meminjam istilah yang digunakan Anton Lucas dalam bukunya Peristiwa Tiga Daerah; Revolusi Dalam Revolusi (1989), model gerakan radikalisasi yang ditampilkan petani diatas adalah model gerakan Perlawanan nekad, walaupun perlawanan mereka tergolong pasif namun seringkali juga menampilkan dengan model gerakan fisik dengan melakukan upaya-upaya menentang, pendudukan perusahaan, pengumpulan massa dengan jumlah ribuan orang.
Konflik agraria hanya dapat diselesaikan, jika negara dalam hal ini pemerintah harus menempatkan berbagai kasus sengketa tanah dalam kerangka keadilan transisional (transitional justice). Dalam kerangka itulah konflik-konflik pertanahan yang terjadi di berbagai daerah diselesaikan secara tuntas dan sekaligus, tidak sepotong-potong. Ini butuh komitmen politik yang mungkin tidak populer. Pemerintah mesti memberikan akses kepada masyarakat untuk memanfaatkan sumber daya agraria secara adil, komprehensif, dan dialogis. Selain itu, pemerintah perlu didorong untuk meggunakan affirmative plicy, yakni kebijakan-kebijakan konflik agraria yang lebih berpihak pada kepentingan rakyat, bukan kaum pemodal.

                                                                                                                   ———– *** ————-

Tags: