Perlindungan Data Pribadi Perlu UU

Prof Abu Bakar dari Malaya University saat menjadi narasumber dalam seminar internasional perlindungan hukum data pribadi- personal data protection policy di Garden Palace Surabaya, Kamis (31/3). [ adit hananta utama/bhirawa]

Prof Abu Bakar dari Malaya University saat menjadi narasumber dalam seminar internasional perlindungan hukum data pribadi- personal data protection policy di Garden Palace Surabaya, Kamis (31/3). [ adit hananta utama/bhirawa]

Surabaya, Bhirawa
Anda pernah ditelepon perusahaan asuransi atau marketing perusahaan lain yang tiba-tiba sudah tahu nama anda? Atau orang yang berusaha menipu dengan gaya sok kenal sok dekat. Itu artinya data pribadi anda sudah tercemar kemana-mana.
Perlindungan data pribadi di Indonesia sampai saat ini masih sangat minim. Padahal, kejahatan semacam ini berpotensi tidak hanya dilakukan dari dalam Indonesia, melainkan juga warga negara lain. Semakin ironis, Indonesia sampai saat ini belum memiliki kebijakan perlindungan data pribadi. Padahal, beberapa tetangga di wilayah ASEAN telah memilikinya.
Melihat persoalan itu, Fakultas Hukum (FH) Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya menginisiasi pertemuan tingkat internasional untuk mengetahui konsep perlindungan data pribadi di berbagai negara. Pembicara berasal dari negara Malaysia, Taiwan, Australia, dan Jerman.
“Acara ini diikuti 255 peserta dari berbagai kalangan. Seperti akademisi, advokat, perbankan, perusahaan, rumah sakit, mahasiswa dan kepolisian,” tutur panitia kegiatan Wiwik Afifah di sela seminar internasional Perlindungan Hukum Data Pribadi – Personal Data Protection Policy, di Hotel Garden Palace, Kamis (31/3).
Wiwik menjelaskan, kejahatan yang menggunakan data pribadi bisa bersifat lintas negara. Dengan begitu, dibutuhkan penyelesaian hukum lintas negara. Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) memposisikan Indonesia dan negara-negara lain mampu menjalin kerjasama dalam perlindungan data pribadi. Utamanya bagi warga negara masing-masing.
Menurut dia, Indonesia belum memiliki aturan khusus (lex specialis) dan umum terkait perlindungan data pribadi. Pengaturan masih terpisah di beberapa perundang-undangan dan mencerminkan aspek perlindungan data pribadi secara umum. Misalnya UU 7/1971 tentang ketentuan-ketentuan pokok kearsipan, UU 8/1997 tentang dokumen perusahaan, dan UU 10/1998 tentang perubahan atas UU 7/1992 tentang perbankan.
Selain itu masih ada UU 36/2009 tentang kesehatan, UU 36/1999 tentang telekomunikasi, serta UU 23/2006 tentang administrasi kependudukan. “Perlu satu kebijakan perlindungan data pribadi yang khusus,” jelasnya.
Wiwik mencontohkan beberapa kasus penggunaan data pribadi. Antara lain penyalahgunaan data nasabah perbankan untuk tujuan komersial pihak tertentu, dilakukannya peretasan (cracking), pembuatan identitas palsu untuk paspor, penyalahgunaan data kependudukan, dan lain sebagainya.
Prof IBR Supancana dalam kesempatan tersebut mengurai dua jenis data pribadi. Diantaranya ialah generik data dan sensitive personal data. Untuk mengklasifikasikannya, hal ini dapat bergantung pada budaya masing-masing negara. Misalnya pencantuman agama dalam kolom Kartu Tanda Penduduk (KTP). Di beberapa negara, pencantuman agama dianggap sangat sensitif. Sehingga tidak ada orang berani tanya agama orang lain. “Tapi di Indonesia, dari hasil konsultasi publik religion is not sensitive data (agama bukan data sensitif,” pungkas dia.[tam]

Rate this article!
Tags: