Perlindungan Film Lokal

Foto Ilustrasi

Per-film-an dalam negeri sedang mengalami “syok pulas” yang panjang. Pasar tontonan telah digantikan hampir mutlak oleh film impor. Dua tahun terakhir, kemandegan film domestik makin nampak parah. Gedung bioskop dengan kapasitas 500 tempat duduk, hanya di-isi belasan penonton. Di layar kaca, sinetron Indonesia gagal menarik minat iklan. Film Indonesia hanya mengeksploitasi kehidupan mewah, seksualitas dan horor rendahan.
Rumah produksi hanya menghasilkan film “secuil” berkisar komedi sosial Begitu pula produser layar lebar cuma menyuguhkan drama fiksi sosial yang jauh dari realita. Pengerjaan film juga jauh dari profesional. Banyak artis terpaksa beristirahat panjang. Tidak berprestasi, dan terjabak penggunaan obat-obatan terlarang (narkoba) pula. Bahkan isu prostitusi juga tak kalah santer beredar. Infotainment, yang menyasar berita kehidupan artis, hanya berisi keprihatinan.Dus, wajar tidak laku.
Indonesia memiliki pangsa pasar hiburan berkapasitas 200 juta penonton. Itu sangat menggiurkan produser dari segala penjuru dunia. Tak terkecuali, produser tetangga terdekat, India. Film (dan sinetron) asal “Bollywood,” kini merajai pangsa pasar tontonan, terutama di tiap rumah keluarga Indonesia. Bahkan artis Bollywood, bersedia tinggal lebih lama di Indonesia, mulai turut peng-garapan sinetron lokal. Itu bukti, bahwa Bollywood, telah memikat selera tontonan masyarakat Indonesia.
Maka benar, diperlukan “juru selamat” perfilman di Indonesia, terutama oleh kalangan budayawan, tokoh masyarakat, dan pemerintah. Budayawan dari berbagai daerah perlu diajak bicara, berkait kesenian daerah. Tokoh masyarakat juga perlu diminta pendapatnya tentang kebutuhan tontonan masyarakat. Seluruhnya untuk kepentingan “pasar” yang di-ingin-kan. Serta perlu pula fasilitasi pemerintah, karena berkait dengan ekonomi kreatif ke-wisata-an.
Konsep juru selamat, dibutuhkan segera, sebelum benar-benar “kiamat”per-film-an Indonesia. Karena hampir seluruh artis dan sutradara, seolah-olah hilang gagasan. Begitu pula penggantian oleh film impor akan semakin menggerus peran artis lokal. Sekaligus menggerus devisa, walau bisa digantikan dengan pajak (perikalanan, tontonan dan penghasilan artis asing) dan retribusi.
Proposal juru selamat perfilman, sedang digali oleh IFDC (Indonesian Film Directors Club). Kongres Besar yang dihadiri para sineas film Indonesia. Diantara agendanya berupa diskusi”ekosistem” perfilman Indonesia.Tetapi agenda IFDC masih memerlukan peserta diskusi lebih luas. Tidak cukup hanya kalangan sineas dan pengarah film. Terbukti terlalu lama kalangan internal per-film-an terlelap prestasi buruk.
Dunia perfilman sedang mencari jati-diri, agar bisa diterima dan bisa bersaing di pasar domestik (dalam negeri). Juga agar tidak tercerabut dari akar budaya lokal.Sebab selama tiga dekade sejak awal 1990-an, film Indonesia menunjukkan tren melorot drastis. Karena film Indonesia gagal mempersembahkan tontonan berbasis situasi sosial lokal.Hampir seluruh film (dan sinetron) kalangan sineas Indonesia dikategori “rendahan.”
Ingat misalnya, film “3 Hati Dua Dunia, Satu Cinta” yang memborong piala Citra (5 dari 6 piala utama) pada FFI tahun 2010. Tetapi film itu gagal meraih BEP (break event point) pada peredarannya. Keterpurukan”citra pasar”menimbulkan gagasan menolong perfilman Indonesia. Antaralain dengan menghadirkan kisah hidup tokoh-tokoh bangsa. Seperti film “Habibie dan Ainun,” sertafilmsemi-sejarah bertajuk “Sang Kyai.” Ternyata keduanyabox office.
Perfilman dalam negeri mulai coba bangkit (walau setengah hati), setelah hampir tiga dekade lesu. Konon, kelesuan ini dampak dari tutupnya gedung bioskop yang keok bersaing dengan teknologi CD player. Makin lebih terpuruk dengan murahnya downloadfilm terbaik, box office tingkat dunia melalui internet. Tetapi prestasi peran yang tepat, internet juga bisa dijadikan “pangsa pasar” maha luas

——— 000 ———

Rate this article!
Perlindungan Film Lokal,5 / 5 ( 1votes )
Tags: