Perlindungan Hukum Korban Bencana

Janpatar SimamoraOleh: Janpatar Simamora, SH. MH
Penulis adalah Pengajar di Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan; Dewan Pendiri Lembaga Pemberdayaan Media dan Komunikasi (LAPiK).

Musibah longsor yang melanda Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Banjarnegara, Jawa Tengah beberapa waktu lalu kembali mengingatkan negeri ini akan tingkat kerawanan bencana yang begitu tinggi di tanah air. Bencana longsor yang diperkirakan telah mengakibatkan ratusan orang tertimbun di sekitar wilayah bencana juga patut dijadikan pe lajaran berharga bagi semua pihak, khususnya pemerintah akan kesiap-siagaan dalam mengantisipasi terjadi musibah, khususnya bencana alam. Setiap bencana melanda, maka pemikiran bahwa Indonesia adalah merupakan salah satu negara yang sangat rentan dengan bencana menjadi bahan perbincangan berkepanjangan.
Baik bencana yang ditimbulkan oleh alam itu sendiri maupun bencana yang bersumber sebagai implikasi dari tindakan manusia yang sering menguras kandungan alam tanpa mempertimbangkan resiko yang akan timbul dikemudian hari adalah merupakan musibah yang patut diwaspadai. Oleh sebab itu pula, maka sikap kewaspadaan dan kesiap-siagaan dan kehati-hatian dalam membaca situasi alam menjadi suatu hal yang mutlak dibutuhkan dalam rangka menghindarkan diri dari dampak buruk suatu bencana, setidaknya sebagai upaya meminimalisir dampak buruk dimaksud.
Harus diakui bahwa selama ini, beragam persepsi terkait pemahaman tentang bencana selalu mencuat ke permukaan, khususnya ketika terjadi suatu bencana di tanah air. Oleh sebab itu, maka kiranya pemahaman mengenai bencana perlu diletakkan dalam satu persepsi agar tidak menimbulkan pemahaman beragam. Patut dicatat bahwa sesungguhnya, bencana, khususnya kejadian alam seperti gempa bumi, gunung meletus, tsunami, musibah longsor pada umumnya baru akan disebut bencana jika kemudian menimbulkan akibat tertentu bagi manusia, misalnya terdapat korban meninggal atau kerusakan bangunan yang menyebabkan kerugian.
Sebagaimana dikemukakan oleh Frederick C Cuny (1983) dalam sebuah karyanya yang berjudul Disaster and Development menjelaskan bahwa bencana mestinya dipahami dan dipahami sebagai akibat yang dialami oleh manusia karena suatu peristiwa atau kejadian alam dan bukan kejadian alam itu sendiri. Penjelasan Frederick tersebut pada prinsipnya hendak menegaskan bahwa yang dimaksud dengan bencana adalah akibat yang dialami oleh manusia karena terjadinya suatu peristiwa alam atau akibat yang ditimbulkan oleh suatu bencana terhadap kehidupan manusia. Dengan demikian, maka dapat digarisbawahi bahwa sesungguhnya bencana bukanlah kejadian itu sendiri. Suatu peristiwa alam yang sama sekali tidak menimbulkan akibat bagi manusia bukanlah sebuah bencana.
Terkait dengan faktor penyebab timbulnya suatu bencana umumnya disebabkan oleh dua hal, pertama adalah bencana yang disebabkan oleh alam itu sendiri dan manusia tidak mampu untuk membaca gejala-gejala alam yang timbul. Kedua adalah bencana yang terjadi karena kelalaian manusia. Faktor kedua ini bisa dikategorikan sebagai jenis tindak kriminal atau kejahatan karena ditemukan adanya unsur kelalaian dan bahkan kesengajaan di dalamnya. Dalam praktik kehidupan manusia saat ini, kedua faktor dimaksud sama-sama memiliki potensi mengakibatkan terjadinya suatu bencana dalam suatu wilayah tertentu.
Perangkat Hukum
Setiap kali bencana terjadi, maka tuntutan publik terhadap peran serta pemerintah dalam menanggulanginya selalu menjadi pertanyaan mendasar. Pemerintah dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam rangka menangani bencana, mulai dari masalah antisipasi dini sampai pada proses penanganan dampak yang ditimbulkannya. Dalam rangka melakukan pemenuhan terhadap tanggung jawab itulah maka kemudian pemerintah melakukan pembenahan perangkat hukum dalam bidang penanganan bencana. Salah satu bukti nyata pembenahan dimaksud adalah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana sebagai perangkat hukum perlindungan bagi korban bencana.
Salah satu faktor penting yang melatarbelakangi lahirnya undang-undang dimaksud adalah bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupan termasuk perlindungan atas bencana, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum yang berlandaskan Pancasila, sebagaimana diamanatkan dalam UUD NKRI Tahun 1945. Kendati demikian, fakta menunjukkan selama ini bahwa kehadiran undang-undang dimaksud belum sepenuhnya mampu mengakomodir hak-hak warga negara yang dilanda bencana.
Menurut undang-undang ini, bencana didefinisikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Sedangkan penyelenggaraan penanggulangan bencana diartikan sebagai rangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
Tanggung Jawab Mendasar
Dilihat dari defisini dimaksud, sesungguhnya upaya penanggulangan bencana menjadi tanggung jawab mendasar pemerintah. Namun kenyataan menunjukkan bahwa negara sering terlambat dan bahkan lalai dalam melakukan pemenuhan tanggungjawabnya terhadap persoalan-persoalan berdimensi bencana. Padahal, situasi bencana alam (natural disaster) ataupun bencana karena manusia, tetap tidak akan bisa menghilangkan aspek pertanggungjawaban negara, khususnya menyangkut hak azasi manusia. Hak asasi manusia dalam konteks bencana meletakkan pemahaman yang jelas terhadap perlindungan korban bencana dimana para korban tetap harus dijamin haknya oleh negara. Hak tersebut harus bisa diklaim kepada penyelenggara negara dan negara harus menjamin sepenuhnya agar hak tersebut dapat diklaim oleh para korban bencana jika seumpama negara lalai dan bahkan mengabaikan hak-hak dimaksud.
Jika kemudian negara mengabaikan jaminan terhadap hak azasi manusia, maka masyarakat yang menjadi korban akibat suatu peristiwa bencana sangat beresiko kehilangan hak untuk pulih dari kondisi seperti sebelum gempa serta sangat rentan terdorong dalam situasi yang lebih buruk. Selain itu, juga patut dicatat bahwa para korban bencana akan mengalami beragam rentetan resiko berkepanjangan manakala negara tidak segera hadir dalam memberikan perlindungan maksimal. Sebut saja misalnya kemungkinan hilangnya hak-hak dasar penduduk yang tinggal di daerah rawan bencana, khususnya hak atas kepemilikan (rumah, tanah), pekerjaan dan hak dasar lainnya.
Jika kemudian kita merefleksikan penanganan berbagai bencana yang selama ini terjadi di tanah air, begitu banyak korban yang mengalami luka parah, kemudian mengalami cacat permanen yang salah satu faktor penyebabnya ditengarai lambannya penanganan medis oleh negara dan bahkan tidak tertutup kemungkinan berujung pada hilangnya nyawa manusia. Kegagalan-kegagalan semacam ini tentunya tidak bisa dituntut atau diklaim oleh para korban sekalipun sesungguhnya mengandung unsur pertanggungjawaban dari aparat penyelenggara negara. Bahkan yang lebih memprihatinkan lagi, otoritas negara justru lebih sering terjebak pada aspek pelaksanaan teknis prosedural dan koordinasi semata, termasuk dalam menentukan daerah rawan bencana.
Jika kemudian situasi semacam ini masih saja berlanjut dalam menangani sejumlah bencana yang melanda tanah air, termasuk bencana longsor yang terjadi di Banjarnegara, maka upaya pencapaian perbaikan kehidupan rakyat akan sulit untuk direalisasikan.
Oleh sebab itu, maka dalam rangka meningkatkan perlindungan korban bencana, khususnya dalam perspektif hukum, maka negara harus mampu menjalankan tugas dan tanggungjawabnya secara maksimal.
Sekalipun perangkat hukum yang berhubungan dengan penanggulangan bencana telah dibentuk sedemikian rupa dengan lebih akomodatif dan aspiratif terhadap nasib para korban bencana, namun sepanjang belum ditemukan keseriusan pemerintah dalam rangka pemenuhan tanggungjawabnya, maka bencana yang terjadi di tanah air akan selalu menimbulkan beragam bentuk implikasi buruk, termasuk hilangnya nyawa manusia seperti yang terjadi di Banjarnegara.

                                                                      ————————- *** ————————-

Rate this article!
Tags: