Perlindungan Nelayan Vs TPI

Oki LukitoOleh :
Oki Lukito,
Ketua Forum Masyarakat Kelautan, Maritim dan Perikanan,
Aktivis LBH Maritim “Insan Bahari”

Sepak terjang Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang kontroversialdanmencuatkan pro kontra, berdampakposisitif bagi nelayan. Lahirnya Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir sejatinya tidak terlepas dari regulasi yang dikeluarkan Menteri Kelautan dan Perikanansoal pembatasan penangkanpan lobster, kepiting laut (rajungan) serta larangan penggunaan jaring yang tidak ramah lingkungan.
Undang-Undang tersebut juga menginspirasi DPRD Provinsi Jawa Timur untuk membuat Perda Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan. Inti dua payung hukum tersebut sama-sama memberikan jaminan hukum kepada masyarakat pesisir yang selama ini terabaikan. Diantaranya, jaminan keberlangsungan sumber daya ikan, jaminan mendapat asuransi kecelakaan serta perlindungan berusaha akan difasilitasi oleh pemerintah, termasuk fasilitasi pemberdayaan agar masyarakat pesisir bisa mandiri.
Dalam perjalanannnya Peraturan Meneri (Permen) KP 01 dan 02  tersebut memang menggelisahkan nelayan yang sudah mapan dengan kebiasaan menangkap ikan secara turun temurun. Saat ini pun gelombang protes nelayan menentang kebijakan pemerintah masih berlangsung di daerah maupun di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Ceritanya akan happy ending jika saja sejak awal pemerintah meredam kegelisahan yang menyangkut isi perut masyarakat pesisir itu, dengan meluncurkan pula regulasi alternatip yang berdampak langsung dengan Permen KP tersebut.
Menangkap ikan dengan jaring cantrang, dogol, payang, sudu atau colok misalnya, secara kuantitas, jaring trawl modifikasi tersebut sangat efektif dan menguntungkan nelayan. Tanpa disadari kebiasaan menangkap ikan menggunakan jaring yang dianggap tidak ramah lingkungan itu, mendatangkan kerugian baik langsung maupun tidak langsung.
Faktanya sejumlah fishing ground yang tadinya melimpah ikan menjadi over fishing karena rusaknya ekositem. Akibatnya konflik antarnelayan sering terjadi, demikian pula penangkapan ikan secara illegal menggunakan alat peledak dan potasium marak di hampir semuafishing ground. Hanya saja regulasi Permen KP tersebut terlalu tergesa diberlakukan dan tidak memberi alternatip sehingga menimbulkan dampak sosial dan ekonomi bagi masyarakat pesisir.
TPI Tidak Fungsi
Faktor yang alot dibahasadalah silang sengkarut perijinan pembuatan dokumen kapal ikan, fakta membuktikan proses perijinan itumemakan waktu panjang dan uang besar serta melanggengkan mafia perijinan. Pengurusan dokumen kapal ikan dan ijin usaha perikanan melibatkan Kementerian perhubungan (Syahbandar) dan Kementeraian Kelautan dan Perikanan,akan tetapi prosedur yang singkat dalam pengurusannya belum terjawab dalam UU maupun di Perda Perlindungan dan Pemberdayaan nelayan.
Demikian pula tidak berfungsinya sebagian besar tempat pelelangan ikan (TPI) di Pelabuhan Perikanan yang menjadi urat nadi  perekonomian nelayan, menyebabkan semakin kokohnya cengkeraman para pedagang merangkap tengkulak di sentra-sentra perikanan tangkap. Kepastian pembayaran ikan yang dibeli oleh pabrik pengolah ikan juga belum dilindungi payung hukum. Praktek si miskin mensubsidi si kaya tetap saja tidak bisa dihindari.
Jerih payah nelayan tidak pernah akan dihargai layak jika TPI tidak berfungsi dan hanya sekedar sarana pelengkap pelabuhan perikanan yang umumnya dibangun cukup mewah itu. Dari 12 pelabuhan Perikanan di Jawa Timur, hanya TPI Pondok Dadap, Sendang biru saja yang bisa menjalankan lelang rutin, sementara lainnya hanya berfungsi sebagai tempat penimbangan ikan.
Permasalah menahun ini sampai kapan pun tidak akan mampu menghidupkan TPI jika ego sektoral pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten tidak pernah kompak menangani lelang ikan. Harus diakui Jawa Timur kalah dari Jawa Tengah soal lelang ikan ini. Semua TPI di Jawa Tengah sudah mampu melaksanakan lelang dan hasilnya membawa manfaat bagi nelayan.
Ironisnya, ditengah pembahasan Raperda Perlindungan dan Pembedayaan nelayan, di Pelabuhan Perikanan Pondok Dadap, Kabupaten Malang, nelayannyamemprotes dan menolak menempati gedung TPI baru yang selesai direnovasi tahun lalu karena dianggap tidak layak untuk tempat lelang ikan.
Lelang pun digelar di tenda darurat, gedung TPI mewah itu ditinggalkan pelaku utama yaitu nelayan. Ikan tuna kualitas ekspor asal Jatim terpuruk.
Insiden di Sendang Biru tersebut mencoreng perikanan Jawa Timur serta menunjukan adanya ketidak harmonisan hubungan antara nelayan dengan Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi. Pola menejemen top down yang ditetapkan dalam pembangunan fasilitas untuk masyarakat pesisir, seharusnya sudah lama ditinggalkan dan yang harus disepakati adalah ‘mengharamkan’ nelayan menjadi obyek pembangunan.

                                                                                               ———————– *** ———————-

Rate this article!
Tags: