Perlindungan Terhadap Guru di Masa Pandemi

Di tengah gencar-gencarnya Jawa Timur, khususnya Kota Surabaya akan melakukan uji coba sekolah tatap muka. Rupanya, rencana tinggallah rencana. Pro dan kontra pun masih sulit untuk dihindari atau dibendung. Namun, patut disayangkan jika di tengah polemik pro dan kontra akan dimulainya pembelajaran tatap muka tesebut, harus ditebus atau diwarnai dengan berita hoax.

Malah justu berita hoax yang terbiarkan akan memperkeruh suasana sekaligus menambah kepanikan warga terkait penyebaran dan penularan Covid-19. Seperti halnya yang akhir-akhir ini terjadi, menyoal simpang siur tentang puluhan jumlah guru yang terpapar dan meninggal karena Covid-19 di Surabaya. Padahal, sampai saat ini belum ada data yang pasti dari Satgas terkait hasil para guru yang terpapar dan meninggal karena Covid-19. Memang, kita publik sadar bahwa penyebaran dan penularan Covid-19 di Kota Surabaya belum ada kata usai.

Namun, bukan berarti harus terbumbuhi dengan berita tanpa data alias hoax. Jadi, kalaupun ada surat yang beredar di masyarakat dari Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), nomor 46/Org/Kot/XXII/2020. Tepatnya, perihal permintaan kegiatan belajar dari rumah. Sebenarnya, jika kita cermati surat edaran PGRI itu bermasud baik, yakni memberikan perlindungan terhadap guru di masa pandemi. Sebab, bisa kita simak bahwa selama ini ada sejumlah kebijakan yang mengindikasikan lemahnya perlindungan terhadap tenaga pendidik terhadap Covid-19. Misalnya, sebagai pemerintah daerah (pemda) mewajibkan guru tetap hadir ke sekolah setiap hari untuk melakukan absen sidik jari.

Detailnya, kewajiban tersebut, tertera jelas dalam Permendikbud Nomor 15 Tahun 2018 dimana setiap guru memiliki ketentuan 37,5 jam kerja efektif, yang hingga akhirnya, ketentuan tersebut telah diubah melalui Surat Edaran Menteri PAN-RB Nomor 58 Tahun 2020 yang memberikan fleksibilitas lokasi kerja baik dari kantor maupun rumah di tengah pandemi.

Asri Kusuma Dewanti
Pengajar Universitas Muhammadiyah Malang

Tags: