Nganjuk, Bhirawa.
Kabupaten Nganjuk memerlukan payung hukum untuk Lahan Pangan Pertanian Berkelanjutan di tengah fenomena kekeringan. Sat ini data dari Pemkab Nganjuk menyebut banyaknya perubahan tata guna lahan dari lahan pertanian aktif menjadi industri dan perumahan.
“Luas baku sawah yang terus berubah di Kabupaten Nganjuk karena dalam kurun waktu 5 ini banyak terjadi perubahan tata guna lahan, dari lahan sawah produktif menjadi pabrik-pabrik, perumahan-perumahan. Perlu kepastian hukum yang konsisten dalam penerapan peraturan daerah tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah”, ungkap Kepala Dinas Pertanian kabupaten Nganjuk, Moeslim, Senin (18/9).
Menuerut Moeslim, payung hukum ini di[erlukan untuk memberi arahan mana mana lahan yang boleh diubah peruntukannya dan mana yang tidak boleh. “Payung hukum ini merupakan syarat untuk tetap menjadikan Nganjuk sebagai salah satu penyangga lumbung padi nasional”, terangnya.
Kabupaten Nganjuk merupakan salah satu penyangga lumbung pangan nasional di wilayah Jawa Timur. Bagaimana tidak, di lansir dari portal Nganjukkab. go. Id, untuk tahun 2023 luas tanaman padi yang siap panen mencapai 24.138 hektar.
Untuk bulan Maret, per tanggal 11 ini saja seluas 1.000 sampai dengan 1.200 hektar siap panen. Sementara untuk komulatif dari tanggal 1 sampai 11 Maret seluas 6.489 hektare. Sehingga diasumsikan menghasilkan gabah mencapai lima puluh ribu ton.
Sementara menurut pemerhati lingkungan di Nganjuk, Iwan, pemerhati lungkungan selama Lahan Pangan Pertanian Berkelanjutan (LP2B) belum menjadi Perda maka alih fungsi sawah ke darat menjadi pabrik atau perumahan sangatlah mungkin.
Perlunya payung hukum LP2B juga diamini oleh anggota DPRd Nganjuk asal partai Gerindra , Prapto. Menurutnya , perlu kepastian hukum untuk LP2B disamping insentif dan disinsentifnya.
“Pendayagunaan dalam penatalaksaan dan penatagunaan sumber daya air yang terintegrasi dengan baik, ini yang harus di bangun, dengan adanya bendungan semantok perlu revitalisasi dan singkronisasi dengan bangunan-bangunan sumber daya air yang sudah ada”, terang anggota Komisi 1 asal Kedungsuko ini.
Potensi Nganjuk mempertahankan posisi sebagai lumbung panagan jawa Timur sendiri cukup terjaga mengingat masih ditunjang irigasi teknis dalam penatagunaannya.
Seperti yang ada di desa Talang kecamatan Rejoso, menurut Pak Sono, petani yang akrab di panggil Kliwon menyebut sebagian sawah di wilayah tersebut masih dialiri air dari Bendungan Semantok yang aliran airnya mengarah ke sungai Semantok dan di diesel untuk menaikan air ke areal persawahan, selain masih ada aliran air yang mengalir dari waduk Bening.
“Untuk bangunan-bangunan sumber daya air yang ada di bawah Bendungan Semantok, masih belum ada, mentok hanya berhenti di sungai Semantok, tidak bisa mengalir sampai jauh, sedang untuk waduk Senggowar yang dekat saja lho juga tidak bisa, padahal waduk tersebut mengaliri 1.400 hektar sawah” ujarnya.
Sawah hijau yang terhampar seluas mata memandang juga terlihat di Ngluyu sebelah barat, dimana warga dan petani memanfaatkan mata air Ubalan untuk sumber baku mutu air dengan sistem perpipaan, kolam renang yang segar karena menggunakan mata air pegunungan.
Luapan air kolam tersebut langsung menuju saluran irigasi dengan areal persawahan yang diatur secara terasiring memanfaatkan elevasi tanah. Menurut Tugino petani setempat.
“Hal ini sudah sejak lama berlangsung, dengan memanfaatkan mata air ubalan yang ada di KPH Nganjuk, sedang kolam renangnya dikelola oleh Disporbudpar”, ungkapnya. [Mg1.gat]