Perlu Perppu Kedaulatan Rupiah

Yunus-SupantoOleh :
Yunus Supanto
Wartawan senior penggiat dakwah sosial politik

Apakah tim reaksi (super) cepat untuk merespons nilai rupiah, masih efektif? Itulah yang harus segera dilakukan pemerintah (melalui Menteri Koordinator Perekonomian), walau agak terlambat. Nilai Rupiah terus melorot melampaui ambang psikologis (mencemaskan). Bahkan lebih sebulan setelah Idul Firi, nilai rupiah terasa terjun bebas. Memasuki ambang kritis, mendekati Rp 14 ribu per-US$. Maka harus segera dibuka “payung” penyelamat.
Setidaknya sejak tahun 2012, pemerintah (dan DPR-RI) tidak tepat dalam menentukan nilai tukar rupiah pada APBN. Walau sudah diupayakan “mengejar” nilai tukar yang memadai. Sebagaimana terjadi hari akhir pekan (sekaligus penutupan pasar uang bulan Agustus, pada Jumat 28 Agustus 2015) jatuh ke level Rp 14.050,-per-US$. Nilai tersebut merupakan yang terendah sejak awal kebangkitan dari krisis moneter tahun 1998.
Pada bulan Agustus 1998 nilai rupiah Rp 13.550,- per-US$ dan terus menguat. Puncaknya terjadi pada bulan Juli 1999, dengan nilai Rp 7.080,- per-US$. Nampaknya, dunia memandang kinerja presiden BJ Habibie, bisa dipercaya. Namun ketika gus Dur menggantikan Habibie, dolar naik-turun fluktuatif, sampai melaju pada nilai Rp 12.215,- per-US$ (April 2001). Begitu pula ketika Megawati menggantikan gus Dur, sejak Agustus 2001, rupiah selalu fluktuatif.
Ketika SBY menjadi presiden, pernah pontang-panting ketika nilai dolar menembus Rp 11.000,- (Agustus 2013). Saat itu APBN mengasumsi nilai tukar dolar sebesar Rp 9.600,- (selisih Rp 1.400,- dengan realitas). Menyebabkan harga pangan utama, naik me-liar. Beras, susu, daging, dan kedelai melonjak. Pemerintah merespons melalui PKPE (Paket Kebijakan Penyelamatan Ekonomi) dengan 13 paket. Pada akhir kepemimpinan SBY (akhir September 2014), rupiah bertengger pada Rp 12.200–an per-US$.
Indonesia sebagai negara dengan penduduk sebanyak 256 juta-an, sebenarnya bisa berfungsi ganda. Yakni, menjadi pasar besar (pangsa konsumen) bisa, menjadi pemasok sumber daya alam juga bisa. Posisi sementara, masih condong sebagai pangsa pasar. Hal itu terbukti dengan masih besarnya defisit transaksi nilai neraca perdagangan. Sedangkan posisi sebagai pemasok sumber daya alam, juga memerlukan reorientasi agar lebih menguntungkan kepentingan nasional.
Defisit vs Reshuffle
Dua peran (ganda) itu wajib dihadapi Indonesia, yang harus ditata ulang oleh presiden Jokowi. Karena itu dalam berbagai forum pergaulan internasional, banyak yang menunggu pidato presiden Jokowi, yang diyakini membawa ekspektasi amanat rakyat Indonesia. Lebih lagi pelantikannya menandai gebyar branding kelas dunia. Pesta rakyat pada saat pelantikan Jokowi disebut-sebut tidak kalah branding dengan pelantikan Barack Obama.
Pergaulan ekonomi  dunia, hingga kini belum menguntungkan kepentingan nasional. Misalnya, Indonesia memiliki sumber daya alam berupa minyak dan gas bumi (migas) terbesar keempat di dunia, tetapi “defisit” terhadap Singapura. Perdagangan dengan Singapura terhadap migas, lebih banyak impor Indonesia. Ini disebabkan Singapura berperan sebagai makelar migas. Terhadap negara tetangga lainnya, Thailand misalnya, Indonesia juga defisit karena kebanyakan impor mobil.
Defisit neraca perdagangan, itulah yang menyebabkan kedaulatan rupiah sering goyah. Meng-antisipasi melorotnya rupiah, pemerintah Jokowi saat ini coba melakukan reshuffle kabinet. Diantaranya, memasukkan mantan Gubernur BI Darmin Nasution (sebagai Menteri Koordinator bidang Perekonomian). Serta Rizal Ramli, sebagai Menteri Koordinator Kemaritiman. Juga tokoh (jenderal) cukup senior, Luhut Binsar Pandjaitan, sebgai Menko politik hukum dan keamanan.
Tetapi ketiga tokoh yang direkrut presiden Jokowi, nampaknya belum cukup memperoleh respons positif.  Sebelumnya, pemerintah coba menanggulangi dengan 8 paket. Meliputi kebijakan jangka panjang sampai yang ke-kini-an. Diantaranya, in-efisiensi logistik, serta mendorong penggunaan rupiah untuk bertransaksi di dalam negeri. Pemerintah juga membentuk BUMN ke-asuransi-an, yakni re-asuransi untuk mengurangi defisit neraca bidang jasa.
Pemerintah juga berjanji memberi insentif perpajakan, khususnya untuk pelayaran. Logistik dan distribusi akan menjadi perhatian, agar harga bahan pangan tidak terimbas pelemahan nilai rupiah. Tetapi harga beberapa komponen pangan belum  bisa dibendung. Beberapa harga bahan pangan, antaralain, susu akan naik, karena 65% susu masih bergantung pada impor. Begitu pula harga tahu dan tempe (lauk-pauk “wajib” Indonesia), akan membuat panik pasar tradisional. Maklum, 70% kedelai masih impor.
Bahan pangan impor menjadi penyokong peringkat ketiga defisit neraca perdagangan. Bahan pangan yang masih suka di-impor dan menjadi permainan kartel, adalah daging dan buah. Harganya daging dan buah, akan melambung, sampai pada posisi termahal di dunia, menggerogoti devisa transaksi perdagangan. Melemahnya rupiah akan semakin menyulitkan usaha swasta membayar utang. Di dalam negeri,  harga barang eks impor biasa “diayun-ayun” pedagang besar. Karena itu diperlukan kebijakan untuk mengendalikan impor bahan pangan.
Perppu Kurs Rupiah
Dan yang tak dapat dielakkan seiring kenaikan kurs dolar, adalah harga suku cadang seluruh moda transportasi akan naik. Termasuk harga suku cadang pesawat (angkutan penumpang, maupun alutsista militer). Sedangkan industri manufaktur akan lebih terpukul, menyebabkan kendaraan alat berat turut naik. Harga sewa angkutan alat berat naik, maka harga proyek infrastruktur turut terdongkrak lebih mahal.
Nilai dolar naik, utang pemerintah juga bertambah besar. Utang swasta (yang ber-sumber dari impor bahan pangan), juga wajib diwaspadai. Defisit transaksi (tahun) berjalan, selama tahun 2014 masih sebesar US$ 25 milyar. Ambang kritis, karena defisit semakin mendekati 4% total PDB (Produk Domestik Bruto). Serta dampak berantai terhadap harga bahan pangan impor akan melonjak.
Beruntung neraca perdagangan bulan Januari dan Pebruari 2015 surplus US$ 1,2 milyar. Ini jarang terjadi. Lebih lagi kinerja ekspor menyurut jika dibanding periode yang sama tahun 2014. Seharusnya, surplus perdagangan dapat  mencegah melorotnya nilai rupiah. Karena itu kelebihan devisa mesti dijaga. Namun anehnya, nilai rupiah makin melorot. Sejak akhir Maret 2015, rupiah mulai memasuki masa lunglai, menembus ambang psikologis (Rp 13 ribu per-US$).
Pemerintah sudah merugi karena merosotnya nilai tukar rupiah. Kalkulasinya, secara ke-dolar-an,  menggunakan patokan P-APBN 2015 (sebesar Rp 12.500,- per-US$), akan setara dengan US$ 158,731 milyar. Namun jika menggunakan kurs riil yang berlaku (Rp 13.900, per-US$) maka P-APBN hanya sebesar US$ 142,744 milyar. Dus, sudah tekor (lost value) sebesar US$ 15,987 milyar. Itu bukan nilai yang kecil, karena setara dengan Rp 222,219 trilyun, atau sekitar 11,20% dari total APBN.
Dengan paradigma kebencanaan, bagai status “siaga satu.” Pemerintah niscaya, tak bisa bekerja sendiri. DPR juga tidak bisa hanya berkomentar miring. Pemerintah (dan Bank Indonesia) harus berembug dengan DPR. Jika perlu, sangat patut dibuat Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang). Konstitusi memberi amanat kepada penyelenggara negara untuk mengatur keuangan, termasuk macam (jenis) dan harga mata uang.
Sebagaimana UUD pasal 23B, dinyatakan, “Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang.” Amanat ini masih disambung dengan pasal 23C, dinyatakan, “Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang.” Bahkan dengan amanat itu, Kepala Negara bisa mem-pagu nilai rupiah secara fix. Misalnya senilai Rp 9 ribu-an per-US$. Nilai kurs fix, dibolehkan dalam peraturan internasional. Asal logis.
Dalam penjelasan UUD pasal 23B dan 23C (sebelum amandemen disebut ayat 3, dan ayat 4), dinyatakan “Barang yang menjadi pengukur harga itu mestilah tetap harganya, jangan naik turun karena keadaan uang yang tidak teratur … .” Anehnya, belum ada presiden Indonesia yang coba melaksanakan amanat ini, walau sudah pontang-panting. Rakyat juga kelimpungan akibat harga kemahalan.

                                                                                                         ———- 000 ———-

Rate this article!
Tags: