Perlu UU Pencegahan Wabah Penyakit

Yunus-SupantoOleh :
Yunus Supanto
Wartawan senior penggiat dakwah sosial politik

Kado hari kesehatan sedunia, masih menjadi “boncengan” gratis wabah penyakit demam berdarah dengue (DBD) dan tipus. Walau sudah sering terjadi, tetapi korban jiwa masih cukup tinggi. Ironisnya, payung hukum untuk melindungi masyarakat dari wabah penyakit tidak cukup memadai. Regulasi berupa UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan maupun Penanggulangan Bencana, terasa hanya bagai retorika.
Secara nasional, sampai akhir tahun 2014 masih jatuh korban jiwa lebih dari 640 orang meninggal dunia. Angka kematian 0,89% dari total jumlah kasus, atau sekitar 9 dari 1000 suspect. Tergolong masih sangat tinggi. Sedangkan tahun (2013) lalu jumlah kasus sebanyak 112.500 suspect, dengan 871 korban jiwa (0,77%). Artinya persentase jumlah korban jiwa malah meningkat.
Itulah bukti, tidak memadainya regulasi bisa berakibat pada kualitas tindakan penanganan penyakit. Pencegahan penyakit, dalam UU Kesehatan, benar-benar hanya retorika. Simak misalnya, pasal 62 ayat (2) dinyatakan,  “Pencegahan penyakit merupakan segala bentuk upaya yang dilakukan oleh Pemerintah,  pemerintah daerah, dan/atau masyarakat untuk menghindari atau mengurangi risiko, masalah, dan dampak buruk akibat penyakit.”
Apa yang diharapkan dari klausul tersebut? Tak lebih sekadar definisi. Begitu pula pada pasal 152, tentang kewajiban pemerintah dan masyarakat terhadap pencegahan dan pemberantasan penyakit menular. Dalam ayat (2) dinyatakan, “Upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular … dilakukan untuk melindungi masyarakat dari tertularnya penyakit, menurunkan jumlah yang sakit, cacat dan/atau meninggal dunia, serta untuk mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat penyakit menular.”
Seluruh klausul (ayat-ayat) dalam pasal itu tidak lebih dari pelajaran untuk murid kelas 3 sekolah dasar (SD). Begitu pula pada ayat (4), dinyatakan,   “Pengendalian sumber penyakit menular … dilakukan terhadap lingkungan dan/atau orang dan sumber penularan lainnya.” Tidak dijelaskan bagaimana cara, dan sistem pengendalian. Hampir seluruh norma peraturan bergantung pada PP (Peraturan Pemerintah). Lalu PP pun masih menunggu Peraturan Menteri, sebagai penjelasan detil teknis pelaksanaan. Lazimnya, UU telah berlaku segera setelah disahkan DPR.
KLB tidak Wajib?
Wabah penyakit menular, diantisipasi oleh UU Kesehatan pada pasal 154 ayat (1), dinyatakan, “Pemerintah secara berkala menetapkan dan mengumumkan jenis dan persebaran penyakit yang berpotensi menular dan/atau menyebar dalam waktu yang singkat, serta menyebutkan daerah yang dapat menjadi sumber penularan.”
Namun pemerintah hanya diamanatkan “dapat” menyatakan kondisi wabah atau kejadian luar biasa (KLB), pada pasal 165 ayat (1). Kelemahannya, UU menggunakan frasa kata “dapat” bukan dengan kata “wajib.” Sehingga pemerintah (dan pemerintah daerah) bisa diam saja, walau suatu penyakit telah mewabah. Boleh jadi, hal itu untuk mengurangi trauma psikologis (ketakutan) masyarakat. Tetapi hal itu malah bisa melemahkan upaya bersama (masyarakat) untuk penanggulangan wabah penyakit.
Sebenarnya, wabah penyakit juga dicantumkan dalam UU Nomo 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Pasal 1 (Ketentuan Umum) definisi ke-3.  “Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian  peristiwa  nonalam  yang  antara  lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.” Namun UU Kebencanaan tidak memiliki norma pengaturan (pasal) yang lebih spesifik untuk menangani penyakit yang sedang mewabah.
Pemerintah daerah yang abai juga bisa diam saja, agar tidak perlu repot dan tidak perlu mengeluarkan anggaran untuk pencegahan penyakit menular. Syukur, Beberapa Pemerintah Kabupaten dan Kota (serta Pemprop Jawa Timur) memilih berterus-terang terhadap wabah penyakit. Lebih separuh wilayah Jawa Timur (dari 38 kabupaten dan kota) telah dinyatakan KLB (Kejadian Luar Biasa) terhadap penyakit demam berdarah. Jumlah korban meninggal telah lebih dari 50 orang.
Kewaspadaan terhadap wabah penyakit, memang masih memprihatinkan. Karena regulasi (UU) yang lemah, menyebabkan tanggap wabah juga kurang masif. Bahkan kewaspadaan itu pernah menjadi kegelisahan seorang guru besar Mikro-biologi Universitas Airlangga, Prof. Dr. Nidhom. Dalam orasi guru besar-nya, dinyatakan kemungkinan adanya unsur kesengajaan penyebaran virus yang membawa penyakit.
Wabah penyakit pada masa kini memang patut diwaspadai. Beberapa terorisme (dan perang) sejak akhir dekade 1990-an diduga menggunakan senjata biologi. Dampak pedihnya lebih kejam dibanding perang combatan (senjata api). Lebih kejam, karena penggunaan ekses mikro-biologi merupakan penyusupan secara intelijen. Yakni, menularkan penyakit pada teritorial tertentu (melewati batas negara).
Deteksi Wabah Virus
Misalnya flu burung (pada tahun 2012). Berdasar laporan WHO (badan kesehatan dunia), di Indonesia ditemukan suspect flu burung sebanyak 99 kasus. Sebanyak 79 diantaranya tak tertolong, meninggal dunia. Itu merupakan kasus suspect terbesar di dunia, sekaligus angka korban kematian tertinggi di dunia!  Sebagian terbesar tertular dari unggas, terutama ternak piaraan (ayam dan burung). Jumlah kasus dan korban melebihi asal-usul virus flu burung di China maupun Vietnam.
Darimana datangnya virus H5N1? Ini yang belum pernah diurai. Serangan virus (H5N1) yang membawa penyakit flu burung itu mula-mula menyerang Sumatra Utara, lalu merembet ke Jawa Barat dan Jawa Tengah. Bahkan, serangan flu burung juga telah merambah itik di wilayah Jawa Timur. Hampir seluruh daerah sudah terjangkiti virus flu burung. Dampaknya sangat pedih. Termasuk kerugian ke-ekonomi-an. Usaha unggas yang diusahakan oleh petani miskin, mengalami kegagalan dan trauma mendalam.
Di Jawa Timur bermula dari Blitar, Kediri, Tulungagung, Mojokerto. Di Kabupaten Kediri saja, penyebaran virus flu burung ini malah sudah dialami oleh 40% dari jumlah peternak. Jutaan ekor unggas harus dimusnahkan. Jika de-populasi dilakukan tanpa kompensasi, pastilah peternak itik akan mengalami kebangkrutan dan jatuh miskin. Sebagian terbesar peternak itik merupakan petani atau buruh tani dengan penghasilan dan tingkat prekonomian yang rendah.
Diperlukan regulasi khusus untuk tanggap darurat wabah penyakit. Penyusunan naskah akademik rancangan UU mestilah melibatkan berbagai ahli disiplin ilmu, termasuk mikro-biologi. Begitu pula norma UU (pasal-pasal dalam batang tubuh) harus pula memasukkan unsur intelijen negara. Sehingga sebaran virus bisa diruntut dari hilir (temuan suspect) sampai hulu (pembawa virus). Sedangkan ketentuan pidana bisa mencantumkan hukuman maksimal, diberlakukan seperti terorisme dan pengedar narkoba.
Aspek pencegahan penyakit menular, sesungguhnya telah diantisipasi oleh konstitusi. Yakni UUD pasal 28H ayat (1), dinyatakan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Seharusnya, regulasi (UU) dibawah konstitusi dasar negara (UUD) memiliki kandungan pengaturan lebih banyak dan detil.
Memang banyak keterbatasan pada beberapa UU. Hal itu terbukti, telah banyak UU diuji materi (judicial review). Hasilnya, beberapa pasal direvisi. Perubahan UU maupun uji materi, merupakan keniscayaan perjalanan regulasi agar lebih sesuai dengan rasa keadilan. Begitu pula UU khusus tentang wabah penyakit, akan memberikan manfaat (perlindungan) kepada masyarakat. Di ujungnya, akan diperoleh derajat kesehatan (IPM, Indeks Pembangunan Manusia) lebih baik.

                                                                                                           ————– *** —————

Rate this article!
Tags: