Permendikti Picu Polemik di Kalangan Perguruan Tinggi

Prof Masdar Hilmy

Anggap Masuknya Organisasi Ekstra Bukan Solusi
Surabaya, Bhirawa
Disahkannya Permenristekdikti no 55 tahun 2018 tentang Pembinaan Ideologi Bangsa (PIB) justru memantik polemik dilingkungan kampus. Sebab, salah satu pernyataan Mendikbud Prof Nasir yang memperbolehkan organisasi ekstra kampus seperti Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dapat masuk kampus dan bersinergi dengan organisasi intra kampus di bawah pengawasan pimpinan perguruan tinggi.
Sayangnya, hal itu justru mendapat sorotan tajam dari berbagai pimpinan perguruan tinggi. Salah satunya dari Universitas Islam Negeri Sunan Ample (UINSA) Surabaya. diungkapkan Rektor UINSA Prof Masdar Hilmy mengungkapkan pihaknya menyoroti dua hal dalam penerapan Permenristekdikti nomor 55 tahun 2018. Ia menganggap pihak Kemenristekdikti terlalu gegabah dalam menerapkan peraturan tersebut. Sebab, tidak adanya komunikasi yang dilakukan antara pihak Kemenristekdikti dengan pimpinan Perguruan Tinggi. Sehingga dikhawatirkan akan terjadi resistensi dikalangan para rektor.
“Dalam prosedur implementasinya ini tidak melalui konsultasi dengan pimpinan perguruan tinggi. Langsung diterapkan. Rektor tidak diajak bicara. Ini bisa menimbulkan resistensi di kalangan rektor,” ungkap dia.
Jika alasannya untuk pembinaan ideology bangsa, lanjut dia, mestinya melalui kampus saja sudah cukup. Di mana pihak kampus yang bertanggung jawab untuk melakukan pembinaan melalui kurikulum dan kegiatan yang memang dirancang untuk itu. “Jadi tidak perlu langsung drastis mendatangkan organisasi ekstra masuk kampus. Ini cara berpikir jumping konklusion namanya,” imbuh dia. Jika Pembinaan ideology bangsa untuk mahasiswa, sambung dia, kenapa solusinya dengan menghadirkan organisasi-organisasi mahasiswa ekstra. “Apakah ini sudah melewati kajian, Kan belum pernah?” lanjut dia
Di sisi lain dengan kemampuan perangkat kelembagaan kampus saja, pihaknya menilai jika tidak bisa seratus persen dalam melakukan pembinaan. Seperti SEMA (Senat Mahasiswa) dan DEMA (Dewan Eksekutif Mahasiswa) yang belum bisa tertangani dengan baik. Sehingga sebagai institusi di bawah naungan Kemenag (Kementerian Agama), pihaknya menunggu instruksi langsung dari Dirjen Kementerian Agama.
“Kita tunggu instruksi dari Dirjen Kemenag. Jika disuruh membuka kesempatan bagi organisasi tersebut masuk kampus, kami lakukan dialog dulu. Tidak langsung implementasi,” kata Prof Masdar Hilmy.
Berbeda dengan UINSA, Universitas Airlangga (UNAIR) justru menyambut baik peraturan tersebut. Akan tetapi, pihaknya menganggap pembinaan ideology tersebut bukan dalam bentuk Unit Kegiaan Mahasiswa Pembinaan Ideology Bangsa (UKM PIB). Melainkan forum komunikasi organisasi kemahasiswa intra dan ekstra kampus.
“Dalam forum yang kami sebut Forum komunikasi bukan UKM PIB kita saling sharing, saling melakukan pembinaan dan lainnya. Dan itu akan berkaitan dengan kegiatan organisasi kampus. Bukan kegiatan yang mereka bawa dari luar,”tegas Rektor Unair Prof Nasih ketika dihubungi oleh Bhirawa, beberapa waktu yang lalu.
Seperti dalam melakukan pembinaan dan pelatihan terkait Kepancasilaan dan Kebangsaan, ini menjadi sebuah hal yang menarik jika organisasi ekstra kampus juga bisa nimbrung.
Sementara itu, disinggung perihal tidak adanya komunikasi anatar Kemenristekdikti dengan pihak perguruan tinggi, Prof Nasih menjelaskan jika sinyal-sinyal yang mengarah pada Permendikti no 55 tahun 2018 tentang PIB sudah terlihat di berbagai kesempatan.
“Yang jelas dengan diberlakukannya peraturan tersebut Rektor punya tugas untuk membina ideology bangsa bagi mahasiswa. baik mahasiswa diorganisasi intra maupun ekstra. Jika mahasiswa menjadi ekstrimis maupun komunis, ini tanggung jawab rektor. Karena rektor berhak untuk membina mahasiswanya,” pungkas Prof Nasih. [ina]

Tags: