Perokok Anak dan Ancaman Generasi Hilang

Daroe IswatiningsihOleh:
Daroe Iswatiningsih
Dosen FKIP Jurusan Bastra Indonesia Universitas  Muhammadiyah Malang

Rokok merupakan komoditas yang penuh kontroversi. Dari sisi ekonomi, industri rokok di Indonesia merupakan industri yang banyak menyerap tenaga kerja dan menjadi salah satu sumber penerimaan negara. Menurut Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), jumlah pekerja yang terkait dengan industri rokok, mulai petani tembakau dan cengkih, buruh pabrik,  pedagang, sampai pengecer rokok, mencapai 6,2 juta orang. Sementara itu, penerimaan negara dari cukai tembakau dan rokok mencapai Rp 103,5 triliun pada tahun 2013, meningkat 39 kali lipat selama 19 tahun terakhir dari Rp 2,65 trilyun pada tahun 1994. Besarnya cukai ini berkorelasi dengan produksi rokok Indonesia yang mencapai 341,9 miliar batang pada 2013, meningkat 15,1 miliar batang (4,1 persen) dibanding produksi 2012 sebesar 326,8 miliar.
Di balik nilai ekonomi tersebut, rokok juga ditengarai sebagai penyebab kemiskinan. Kemenkes mengungkapkan 60 persen (84,84 juta jiwa) dari 141,4 juta perokok aktif berasal dari keluarga miskin, sementara survei Indonesia Forum on Parlianmentarians for Population and Development (IFPPD) mencatat 12 juta ayah dari 19 juta keluarga miskin di Indonesia adalah perokok. Jika sehari rata-rata 10 batang rokok dihisap dengan harga Rp 1.000 per batang, maka 12 juta keluarga miskin telah membelanjakan Rp 44 triliun per tahun untuk rokok. Pada keluarga miskin, lebih dari seperlima (22 persen) pendapatan dikeluarkan untuk rokok, sedangkan pengeluaran untuk membeli beras yang merupakan kebutuhan pokok hanya sebesar 19 persen. Pada survei terakhir juga diketahui bahwa pengeluaran rokok rumah tangga miskin rata-rata Rp 113.000/bulan, lebih besar daripada bantuan langsung tunai (BLT) yang pernah diberikan kepada keluarga miskin sebesar Rp 100.000/bulan.
Dari sisi kesehatan, rokok merupakan penyebab berbagai penyakit mematikan. Asap rokok diketahui mengandung 4.000 macam zat kimia, yang 200 diantaranya beracun dan 43 jenis lainnya bersifat karsinogenik (menyebabkan kanker), antara lain tar, nikotin, dan karbon monoksida (CO), yang dapat mengakibatkan 25 jenis penyakit mematikan, seperti kanker paru-paru dan tenggorokan, jantung, hipertensi, impotensi, dan sebagainya. Di Indonesia, hampir 500 ribu (25 persen) dari sekitar 2 juta kematian setiap tahun disebabkan penyakit terkait tembakau (tobacco related diseases). Di dunia, WHO mencatat rokok telah membunuh lebih dari 5 juta orang per tahun, lebih banyak dibandingkan akibat HIV/AIDS, TBC, dan malaria. Kalau hal ini terus berlangsung, maka rokok akan membunuh lebih dari 8 juta orang per tahun sampai tahun 2030, dan lebih dari satu milyar orang pada abad 21 ini. Jumlah tersebut melonjak lebih dari sepuluh kali lipat dibandingkan korban meninggal akibat rokok pada abad 20 sebanyak 100 juta orang. Banyaknya jumlah korban rokok telah menobatkan rokok sebagai “Pembunuh Abad Ini” (Killer of the Century).
Sebuah fakta yang mengkhawatirkan adalah bahwa sebagian perokok aktif di Indonesia masih tergolong anak dan remaja. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat sebanyak 37 persen (25,9 juta) dari 70 juta anak Indonesia adalah perokok, dan sekitar 43 juta anak usia hingga 18 tahun terancam penyakit mematikan akibat rokok. Data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2009 menunjukkan 20,3 persen anak sekolah usia 13-15 tahun adalah perokok. Perokok pemula usia 10-14 tahun naik 2 kali lipat dalam 10 tahun terakhir dari 9,5 persen pada 2001 menjadi 17,5 persen pada 2010. Lebih dari 50 persen perokok remaja tergolong “perokok sedang” yang mengonsumsi lebih dari 10 batang per hari, sedangkan 2,6 persen sudah tergolong “perokok berat” dengan konsumsi lebih dari 20 batang per hari. Hal ini dapat menjadi bom waktu pada 25 tahun mendatang, mengingat timbulnya penyakit mematikan seperti kanker berhubungan dengan lamanya merokok dan banyaknya rokok yang dikonsumsi. Penelitian menunjukkan bahwa seseorang yang mulai merokok pada masa remaja  dan terus menerus merokok selama 20 tahun atau lebih akan meninggal 20 atau 25 tahun lebih awal dibanding mereka yang bukan perokok.
Beberapa motivasi yang melatarbelakangi anak dan remaja merokok adalah untuk mendapat  pengakuan (anticipatory  beliefs),  menghilangkan  kekecewaan  (reliefing beliefs), dan menganggap perbuatannya tidak melanggar norma (permissive beliefs/fasilitative). Kebiasaan merokok pada anak dan remaja juga disebabkan beberapa faktor, seperti ingin mencoba-coba atau mengikuti trend pada kelompoknya, adanya persepsi, kepercayaan atau mitos bahwa merokok dapat meningkatkan keperkasaan, dengan merokok akan kelihatan lebih gaul, penampilan lebih jantan dan lebih dewasa, atau merokok dapat menambah semangat belajar dan bekerja, serta merokok dapat menghilangkan stres. Selain itu, promosi dan sponsor rokok pada berbagai kegiatan seperti olah raga, musik, film, kebudayaan, pendidikan, dan bahkan keagamaan, juga merupakan faktor pelengkap yang berpengaruh nyata dalam memengaruhi perilaku anak dan remaja untuk merokok. Survei yang dilakukan KPAI pada 10.000 remaja dan anak beberapa waktu lalu menunjukkan, 93 persen anak melihat iklan rokok dari tayangan televisi, 50 persen dari baliho di jalan, dan 73 persen dari sponsor acara.
Permasalahan merokok pada anak dan remaja adalah bencana nasional yang harus segera ditangani. Kebiasaan merokok yang dimulai pada masa anak dan remaja lebih sulit untuk dihentikan, karena mereka tidak mampu menimbang bahaya merokok terhadap kesehatan sebagai akibat sifat nikotin yang sangat adiktif. Kalau hal ini dibiarkan tanpa membekali mereka pengetahuan tentang bahaya rokok, maka konsekuensi jangka panjang adalah prestasi sekolah buruk, kapasitas intelektual rendah, kemampuan fisik lemah, kemampuan kerja kurang, dan produktivitas rendah, sehingga menimbulkan ancaman terjadinya generasi hilang (lost generation).

—————— *** ——————-

Tags: