Perokok Anak Mengancam Masa Depan Bangsa

Oleh :
Sutawi
Guru Besar Agribisnis Universitas Muhammadiyah Malang

Rokok bagaikan buah simalakama bagi penduduk Indonesia. Sebagian orang membenci rokok karena menilai rokok membahayakan kehidupan. Sebagian lainnya menikmati rokok karena menganggap rokok bermanfaat bagi kehidupan. Rokok telah menjadi kebutuhan dasar setara dengan makanan pokok. BPS (2021) mencatat pengeluaran rata-rata per kapita sebulan kelompok makanan sebesar Rp 603.236. Pengeluaran tersebut digunakan untuk membeli rokok Rp 73.442 (12,17%), mengalahkan pengeluaran untuk pangan seperti beras Rp 66.789 (11,07%), ikan Rp 46.570 (7,72%), telur dan susu Rp 34.860 (5,78%), dan daging Rp 26.441 (4,38%). Survei Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) pada Juli 2021 menyebutkan pengeluaran untuk konsumsi rokok keluarga miskin bahkan mencapai Rp 364.000 per bulan. Pengeluaran rokok keluarga miskin setara dengan sepertiga pengeluaran untuk makan sehari-hari dan 2,5 kali lebih besar dari tagihan listrik. Fakta tersebut membuktikan bahwa penduduk Indonesia lebih mengutamakan konsumsi racun nikotin rokok penyebab penyakit jantung, paru-paru, kanker, dan gangguan kehamilan dan janin itu daripada protein hewani yang menyehatkan badan dan mencerdaskan otak anggota keluarganya.

Dari sisi kesehatan, bahaya rokok sudah dibuktikan oleh lebih dari 70 artikel ilmiah. Balagh (2007) menyatakan dalam kepulan asap rokok terkandung 4.000 macam bahan kimia, 200 di antaranya beracun dan 43 jenis lainnya bersifat karsinogenik (penyebab kanker). Beberapa zat yang sangat berbahaya antara lain tar, nikotin, dan karbon monoksida (CO). Asap rokok mengandung tiga kali lipat bahan pemicu kanker di udara dan 50 kali mengandung bahan pengiritasi pernapasan dan mata. Akibatnya, berbagai penyakit kanker mengintai, seperti kanker paru-paru (90% kanker paru-paru pada laki-laki dan 70% untuk perempuan disebabkan oleh rokok), kanker mulut, kanker leher rahim, kanker darah, kanker hati, jantung koroner, darah tinggi, stroke, asma, bronchitis, impotensi pada pria, bahkan rusaknya kesuburan wanita. Risiko peningkatan penderita kanker paru-paru pada perokok pasif mencapai 20-30%, dan risiko penderita penyakit jantung sebanyak 25-35%. Rokok kretek menghasilkan 1,9-2,6 mg nikotin. Efek langsung nikotin ke otak hanya memerlukan waktu dalam hitungan detik yakni 10-16 detik. Merokok sebungkus per hari dapat menyerap nikotin 20-420 mg nikotin/hari yang dapat meningkatkan plasma 23-35 ng/ml (Sofianty, 2010).

Di Indonesia, kebiasaan merokok merupakan salah satu risiko kedua terbesar penyebab kematian (17,3%) setelah hipertensi (28%), disusul diet tidak sehat (16,4%), diabetes (15,2%), obesitas (10,9%), dan kurang aktivitas fisik (1,4%). WHO (2020) mencatat sekitar 225.700 orang Indonesia setiap tahun (618 orang setiap hari) meninggal akibat merokok atau penyakit lain berkaitan dengan tembakau. WHO juga melaporkan penggunaan tembakau membunuh lebih dari 8 juta orang setiap tahun (15 orang per menit) di dunia, terdiri 7 juta pengguna aktif tembakau dan 1,2 juta orang perokok pasif. Jika kesadaran tentang bahaya merokok tidak tumbuh, diprediksikan pada 2025 tercatat 10 juta perokok akan meregang nyawa. Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) pada 2019 menyatakan merokok dikaitkan dengan 1,7 juta kematian akibat penyakit jantung iskemik, 1,6 juta kematian akibat penyakit paru obstruktif kronik, 1,3 juta kematian akibat kanker trakea, bronkus dan paru-paru, serta hampir 1 juta kematian akibat stroke. Perokok memiliki harapan hidup rata-rata 10 tahun lebih rendah daripada mereka yang tidak merokok.

Dari sisi ekonomi, rokok memberi sumbangan besar pada kas negara. Di Indonesia terdapat 374 pabrik rokok yang menyediakan lapangan pekerjaan dari hulu sampai hilir untuk sekitar 6,1 juta orang, termasuk di antaranya 1,8 juta petani tembakau dan cengkeh. Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) mencatat produksi rokok mencapai 297,53 miliar batang (2021), menurun dari 363,56 miliar batang (2019) dan 330,59 miliar batang (2020). Jika dihitung dengan harga Rp 1.500 per batang, maka nilai produksi rokok tahun 2021 mencapai Rp 446,295 triliun. Ini berarti uang yang dibakar perokok Indonesia mencapai Rp 1,22 triliun per hari. Produksi rokok tersebut menyumbang penerimaan negara dari Cukai Hasil Tembakau sebesar Rp 188,81 triliun (setara 6,87% dari APBN 2021), naik dari Rp 170,24 triliun (2020). Namun, industri rokok memiliki dampak negatif yang tidak murah. Menurut kajian Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) tahun 2022, biaya kesehatan akibat merokok mencapai Rp 17,9 triliun hingga Rp 27,7 triliun setahun. BPJS Kesehatan harus menanggung Rp 10,5-15,6 triliun dari total biaya kesehatan penyakit akibat rokok. Sementara alokasi penerimaan cukai rokok untuk BPJS Kesehatan membiayai penyakit peserta terkait rokok hanya Rp 7,4 triliun.

Riskesdas (2018) melaporkan 33,8% (89,570 juta) penduduk Indonesia (62,9% laki-laki dan 4,8% perempuan) adalah perokok. Angka tersebut menjadikan Indonesia negara dengan jumlah perokok terbanyak ketiga di dunia setelah Cina dan India, dan terbanyak pertama di Asean, jauh melebihi Philipina (16,62%), Vietnam (14,11%), Myanmar (8,73), Thailand (7,74), Malaysia (2,90%), Kamboja (2,07%), Laos (1,23%), Singapura (0,39%), dan Brunei (0,04%). Riskesdas juga mencatat angka perokok anak di Indonesia cukup tinggi, bahkan mengalami kenaikan dari 7,2% per 2013 menjadi 9,1% (7,235 juta) dari 79,5 juta anak per 2018. Di antara perokok anak, 1,5% mulai merokok pada usia yang sangat muda yaitu usia 5 sampai 9 tahun sehingga Indonesia mendapat julukan “baby smoker country”. Lebih dari 30% perokok anak mengonsumsi lebih dari 10 batang per hari dan 2,6% mengkonsumsi lebih dari 20 batang per hari. Konsumsi rokok oleh anak telah membakar percuma uang sebesar Rp 68,14 miliar per hari (Rp 24,87 triliun per tahun). Hal ini dapat menjadi bom waktu pada 20-25 tahun mendatang, mengingat timbulnya penyakit seperti kanker berhubungan dengan lamanya merokok dan banyaknya rokok yang dikonsumsi. Penelitian menunjukkan bahwa seseorang yang mulai merokok pada awal masa remaja dan terus menerus merokok selama 20 tahun atau lebih akan meninggal 20 atau 25 tahun lebih muda dibanding mereka yang bukan perokok. Konsumsi rokok juga meningkatkan risiko stunting (balita kerdil) pada anak yang saat ini jumlahnya mencapai 24,4% (SGSI, 2021).

Perokok anak terjadi karena pengaruh orang tua, guru sekolah, guru ngaji, teman sebaya, kepribadian, iklan, lemahnya aturan, mitos, dan harga rokok murah. Perokok anak menjadi ancaman serius bagi kesehatan masyarakat, perekonomian, dan masa depan bangsa. Kebanyakan anak belum memahami bahaya rokok sehingga masih mencoba merokok, baik rokok konvensional maupun rokok elektrik. Hal ini juga menjadi tantangan dalam mewujudkan SDM unggul dan berdaya saing. Salah satu indikator keberhasilan pembangunan SDM dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 adalah penurunan persentase perokok usia 0-18 tahun dari 9,1% menjadi 8,7% pada 2024. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia tahun 2021 sebesar 72,29, lebih rendah dari Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia dan Thailand, dan menempati posisi ke 107 dari 189 negara di dunia.

———- *** ———-

Tags: