Perppu 1/2020 dan Praktek Demo-Crazy

Umar Sholahudin

Oleh :
Umar Sholahudin
Pengurus Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS) Jatim,
Dosen Sosiologi Hukum FISIP UWK Surabaya.

Meskipun diprotes keras dan menimbulkan kontroversi di ranah publik, akhirnya secara aklamasi semua fraksi di DPR RI – kecuali F-PKS, menyetuji dan mengesahkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2020 tentang Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan atau dikenal dengan Perppu Covid 19 menjadi undang-udang. Dengan demikian, secara yuridis, pemerintah memiliki dasar atau legalitas hukum yang lebih kuat, khususnya dalam menangani dampak sosial-ekonomi dari pandemik Covid 19. Suara-suara protes yang menolak PERPPU dari publik terhadap DPR, dianggap angin lalu.
Catatan Kritis
Namun demikian, ada beberapa pasal yang menjadi sorotan keras. Pertama, terkait perubahan postur APBN yang dilegalisasi dengan peraturan presiden (Perpres) dan yang dibajak oleh pihak eksekutif, tanpa mengikutsertakan peran dan fungsi DPR. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam PERPPU di Pasal 12 ayat 2, bahwa Perubahan postur dan/atau rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara hanya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Presiden. Pasal ini secara eksplisit; satu sisi telah memberikan kekuasaan yang absolut (powerfull) kepada eksekutif, sebaliknya pada sisi lain telah menghilangkan fungsi kontrol DPR dalam menyusun APBN dan tata kelola angaran yang baik. Pihak eksekutif dapat mengotak-atik postur APBN sesuai dengan selera politiknya sendiri atau “semau gue” tanpa kontrol parlemen. Secara yuridis, Pasal ini dinilai melanggar UUD 1945, Pasal 23 ayat 1, menyatakan bahwa kedudukan dan status APBN adalah UU yang ditetapkan setiap tahun. Selain itu, RAPBN harus diajukan oleh Presiden untuk dibahas dan disetujui oleh DPR sebagaimana ditegaskan Pasal 23 ayat 2 dan ayat 3 UUD 1945. Prinsip checks and balances dalam sistem demorkasi menjadi ambyaar dan sangat berkarakter eksekutive heavy.
Kedua, terkait dengan kKerugian yang terjadi dalam kebijakan keuangan dan stabilitasi sistem keuangan tersebut, bukan dinilai sebagai kerugian negara. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam PERPPU Pasal 27 ayat 1 menyatakan bahwa biaya yang telah dikeluarkan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara. Pasal ini sangat rawan melahirkan praktek moral hazard dari para pejabat negara, terutama yang memanfaatkan situasi dan kondisi (free rider). Pasal berasumsi; seolah-olah para pejabat negara kita adalah “para malaikat”, “orang suci” yang tak bisa salah. Para pejabat negara adalah manusia yang sangat mungkin “imannya” lemah ketika ada kesempatan korupsi datang. Kejahatan korupsi terjadi, bukan hanya karena ada niat pelakunya, tapi adanya kesempatan. Pasal ini, akan memberi “ruang bebas” bagi para pejabat negara. Kita mustinya harus belajar dari kasus mega korupsi ; Bailout Century.
Ketiga, terkait dengan “hak imunitas hukum” bagi para pejabat negara. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 27 ayat 2; bahwa Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kemenkeu, Bank Indonesia, OJK, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Perppu ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, Pasal 27 ayat 3 yang menyatakan segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan PERPPU ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara. Pasal ini secara eksplisit, bertentangan dengan prinsip prinsip supermasi dan negara hukum (equality before the law). Pasal ini secara nyata akan memberikan “hak imunitas hukum” bagi para pejabat negara, jika melakukan kesalahan/penyimpangan. Pasal ini juga memberi asumsi; para pelaksana kebijakan adalah “para malaikat”, “orang suci” yang tak bisa disentuh oleh hukum sekalipun. Pasal ini, juga semakin membuka peluang lahirnya dan berlakunya machstaaat, sebaliknya emmatikan rechstaat.
Keempat, terkait dengan angka defisit APBD atas PDB yang tidak ada batas atasnya. PERPPU Pasal 2 menyatakan bahwa defisit anggaran: “(1) melampaui 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun
Anggaran 2022”. Pasal ini tidak memberikan batas atas atas defisit APBD (atas PDB). Normatifnya adalah 3% (UU keuangan negara). Dengan pasal ini, pemerintah dapat berdalih, atas nama statbilitas dan keselamatan ekonomi nasional dari Pandemik Covid 19, pemerintah dapat melakukan belanja negara lebih dari 3% atau sesukanya. Pasal ini nir-prudensialitas. Pasal ini, lagi-lagi akan berpeluang melahirkan praktek moral hazard dan free rider.
Praktek Demo-CRAZY
Lahirnya Perppu dan pengesahan Perppu No. 1 tahun 2020 menjadi undang-undang, telah melabrak etika, prinsip-prinsip negara demokrasi yang berdasarkan hukum. Negara ini surplus politisi, namun defisit negarawan (demokrat sejati). Para elit negara bukan menjalan prinsip-prinsip demorkasi yang dilandasi pada aturan main (hukum), tapi demo-crazy; demokrasi tanpa aturan main atau demokrasi semau gue atau demokrasi gila, dengan mengangkangi hukum.
Akhirnya Perppu tersebut setidaknya mengandung tiga cacat secara komulatif, yakni catat etik-moral, cacat sosial, dan cacat hukum. Cacat moral; Lahirnya Perppu dari kemauan, kepentingan, suka-suka pemerintah, tanpa konsultasi publik, tidak menghormati tata kelola sistem demokrasi dan suara rakyat dianggap tidak ada. Cacat moral melahirkan cacat sosial; melawan aspirasi publik dan karenanya Perppu (UU) tersebut kehilangan daya legitimasi sosial di mata masyarakat dan melahitkan social distrust. Selanjutnya, secara yuridis, Perppu tersebut secara meteriil dan formil bertentangan dengan UUD 1945. Karena itu, sangat wajat jika ada elemen masyarakat yang mengajukan judicial review ke Makkamah Konstitusi

Rate this article!
Tags: