Perppu Berpeluang Batalkan UU Pilkada

3-perpuJakarta, Bhirawa
Pengamat hukum tata negara Refly Harun berpendapat peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang akan diterbitkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpeluang membatalkan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah, meskipun kelak ditolak DPR.
“Kalau ditolak kita masih punya peluang membatalkan UU Pilkada,” kata Refly di Jakarta, Kamis (2/10) kemarin.
Menurut Refly, bila perppu itu ditolak oleh DPR, UU Pilkada akan mencuat lagi dan kelompok yang keberatan dapat meminta judicial review ke Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan apakah UU tersebut bertentangan dengan konstitusi atau tidak.
Refly menyatakan yakin ada banyak argumen untuk menyatakan UU tesebut bertentangan dengan konstitusi baik secara formal maupuan material.
“Secara formil tidak memenuhi kuorum persetujuan. Seharusnya 249 karena yang hadir kemarin 496, tapi ternyata hanya 226,” kata Refly.
Keberadaan perppu, menurut dia, akan membuat kelompok propilkada langsung dapat berjaga-jaga dengan memajukan perppu terlebih dulu.
Bila perppu disetujui DPR, maka akan muncul risiko kelompok yang tidak setuju terhadap pilkada langsung akan melakukan pengujian ke MK.
“Kewajiban kita mengawal pengujian,” kata Refly.
Bila tidak ada perppu, satu-satunya jalan untuk membatalkan UU Pilkada adalah dengan judicial review ke MK.
“Tapi, itu cuma satu jalan. Kalau ditolak, selesai.” Pilkada secara tidak langsung menurut Refly akan berdampak buruk karena akan muncul oligarki elit di Jakarta yang berpotensi mengubah haluan negara dari demokrasi menjadi sebuah rezim dengan kekuasaan yang sangat individualis.
“Demokrasi kita terancam luar biasa,” katanya.
Siapkan Opsi Jika Ditolak
Pemerintah telah menyiapkan opsi lain jika Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu Pilkada ditolak oleh DPR RI, kata Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi di Jakarta, Kamis.
“Sebelum Perppu itu terbit, tentu kami sudah mempertimbangkan dari berbagai aspek. Yang pasti, Perppu itu secara subjektif menjadi hak Presiden dan secara objektif ada di DPR. Biarlah objektif DPR itu kita lihat nanti setelah Perppu terbit,” kata Gamawan.
Ia menjelaskan penyusunan draf Perppu Pilkada didasarkan pada keputusan Mahkamah Konstitusi yang memuat tiga kriteria, yakni kebutuhan mendesak, kekosongan hukum dan perlunya kepastian hukum. Ketiga kriteria tersebut terdapat dalam Putusan MK Nomor 138 Tahun 2009 atas permohonan pengujian Perppu Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK terhadap UUD 1945.
“Kami berusaha memenuhi tiga kriteria tersebut, minimal Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memperhatikan tiga kriteria itu,” tambahnya.
Terkait kekosongan hukum yang dikhawatirkan akan terjadi jika nanti DPR menolak Perppu tersebut, Gamawan menjelaskan akan ada alternatif lain untuk mengupayakan agar pelaksanaan pilkada pada tahun 2015 memiliki payung hukum.
“Kalau Perppu itu ditolak DPR, ya kita lihat nanti. Penolakan itu bukan berarti tidak ada rekomendasi, pasti akan ada tindakan atau solusi. Kalau ada kekosongan hukum akan terbit lagi Perppu,” jelasnya.
Materi draf Perppu Pilkada yang disusun oleh Kemendagri tidak akan sama persis dengan draf Rancangan Undang-Undang Pilkada secara langsung yang pernah ditawarkan ke DPR RI.
“Pemerintah bisa menambah atau mengurangi seperti perbaikan yang disampaikan Partai Demokrat. Setidak-tidaknya satu hal ada yang berbeda, yakni terkait uji publik kandidat calon kepala daerah,” jelas Mendagri.
Terkait uji publik kandidat calon kepala daerah, Fraksi Partai Demokrat mengusulkan dalam rapat paripurna DPR RI akan menyetujui mekanisme pilkada langsung, namun dengan sepuluh syarat perbaikan. Kesembilan syarat tersebut sebelumnya telah diakomodasi Kemendagri dalam draf RUU Pilkada langsung, hanya satu pasal mengenai uji publik yang bertentangan. Partai Demokrat menginginkan dalam pasal uji publik tersebut, kandidat calon kepala daerah harus memiliki sertifikat keterangan “lulus”, untuk kemudian dicalonkan dalam bursa pemilihan. Namun, menurut Kemendagri, syarat uji publik tidak perlu mencantumkan keterangan “lulus” atau “tidak lulus”. Sepanjang kandidat telah mengikuti uji publik dan memenuhi syarat administratif, maka dapat dicalonkan dalam pilkada.
“Ini kan bukan opsi Partai Demokrat lagi, tetapi ini opsi pemerintah. Kita lihat saja nanti,” ujar Mendagri. [ant]

Keterangan Foto : Para Pakar Tata Negara dari Universitas Indonesia Refly Harun (kiri), Saldi Isra dari Universitas Andalas (kedua kiri), Zainal Arifin Mochtar dari Universitas Gajah Mada (tengah) dan Koordinator LSM LIMA Ray Rangkuti (kanan) dalam Diskusi “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Pilkada SBY; Solusi atau Jebakan?” yang digelar di Jakarta, Kamis (2/10) kemarin.

Rate this article!
Tags: