Perpres Anti-bullying Anak

Karikatur Premanekerasan pada anak semakin memprihatinkan, dengan berbagai modus. Hingga tindak pidana cyber-crime pun, juga melibatkan anak. Yang paling memprihatinkan, lebih separuh kekerasan pada anak terjadi pada masalah peng-asuhan. Ini sudah diluar nalar pikiran sehat kemanusiaan. Orang terdekat anak-anak yang seharusnya melindungi, malah menjadi pelaku kekerasan! Diperlukan “kehadiran” negara untuk lebih menjamin ketenteraman anak.
“Kehadiran” negara lebih kongkret, akan diupayakan pemerintah melalui penerbitan Perpres (Peraturan Presiden) anti-bullying, khususnya di sekolah. Regulasi pencegahan terhadap bullying (peng-gertakan) sebelumnya telah diatur melalui Permendikbud (Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan). Pepres akan diberlakukan pada seluruh jenjang satuan pendidikan, mulai TK hingga perguruan tinggi. Tak terkecuali madrasah diniyah.
Perpres maupun Permendikbud anti-bullying, dimaksudkan sebagai pengganti hukuman oleh sekolah. Sebab biasanya (masa kini) hukuman oleh guru kepada siswa dianggap tidak relevan. Bahkan guru yang memberi hukuman fisik bisa dilaporkan ke polisi. Boleh jadi, karena mengendur-nya “hukuman” di sekolah maupun di rumah, menyebabkan kekerasan pada anak semakin meningkat. Pada tahun 2014 lalu terjadi 6000 kasus lebih.
Tahun 2015, kekerasan pada anak mencapai puncak dengan terutangkapnya kasus Engeline, di Bali. Pulau “dewata” yang seharusnya nyaman  untuk anak. Sehingga di tempat lain, patut diduga lebih tidak nyaman untuk anak. Terbukti (kejadian lebih keji) dengan terungkapnya kasus Putri Nur Fauziyah, di Jakarta Barat. Serta tragedi Amelia, yang terjadi di dalam kelas SD Negeri di Kendal (Jawa Tengah).
Tahun 2015 yang baru lalu, juga menandai makin beragamnya modus dan eksesnya. Kejadian dengan pemberatan (hingga korban meninggal) cenderung meningkat. Anak-anak, bukan hanya menjadi korban, melainkan juga menjadi pelaku tindak kekerasan pada teman sebaya. Di dalam kelas (sekolah) pula! Meningkatnya tindak kekerasan pada anak, sungguh  sangat ironis, karena Indonesia telah menjamin hak asasi anak dalam konstitusi dasarnya.
Ini sesuai dengan pasal 28-B ayat (2) hasil amandemen kedua UUD 1945 yang berbunyi: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dan kekerasan dan diskriminasi.” Tetapi penegakan hukum terhadap tindak kekerasan seksual pada anak masih menggunakan KUHP. Hukumannya tak seberapa, sehingga menyebabkan banyak kasus serupa terulang.
Indonesia telah memiliki undang-undang yang lebih lex-specialist. UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, telah cukup memiliki peraturan, termasuk sanksi pidana. Meski belum memadai dalam implementasi aksi, setidaknya bisa menjadi “tongkat” penuntun ke arah kebijakan kepada pemerintah dan pemerintah daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota).
Secara kenegaraan maupun pemerintahan, telah dibentuk institusi perlindungan anak. Yakni KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) dan Komnas Anak. Beruntung kedua instutusi cukup getol memperjuangkan hak-hak anak, terutama keamanan dan garansi tumbuh kembang anak. Bahkan KPAI menganggap telah terjadi situasi “darurat perlindungan anak,” karena banyak tindak kriminal yang dialami anak.
Sehingga dianalisis oleh KPAI bahwa kejahatan seksual pada anak sudah pada titik sadistis. Karena itu ke-seksama-an perhatian terhadap sistem perlindungan anak, menjadi sangat urgen, strategis dan kritis. Diperkirakan jumlah anak di Indonesia mencapai 30-an persen total jumlah penduduk, atau sebanyak 85 juta-an. Memang bukan hal mudah.
Konsekuensinya, harus dibuat peraturan yang lebih melindungi anak. Termasuk melalui Perpres dan Permendikbud. Juga pengawasan usaha warnet (warung internet). Sebab, pembukaan situs porno, menyumbang 38% kekerasan terhadap anak. Juga sangat urgen dibuat “peta” rawan kejahatan terhadap anak. Biasanya, lokasi rawan berada di daerah kantong-kantong kemiskinan. Syukur Polisi di tiap Polres juga telah memiliki unit Perlindungan Perempuan dan Anak.

                                                                                                          ———   000   ———

Rate this article!
Tags: