Pers Banyuwangi Diminta Profesional

karikatur persBanyuwangi, Bhirawa.
Pekerja media di Kabupaten Banyuwangi diminta untuk bekerja secara profesional sesuai kode etik jurnalistik. Kabid Budaya Politik dan HAM Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Banyuwangi, Adnan Kohar, mengatakan seruan ini seiring banyaknya fenomena awak wartawan yang bekerja menyimpang dari kaidah UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Ada oknum LSM yang ngaku-ngaku sebagai wartawan. Nah ini sudah tidak benar, seolah-olah profesi wartawan untuk menakut-nakuti,” kata Adnan Kohar kepada puluhan wartawan dalam sarasehan bertema “Menyikapi Wartawan Gentayangan”, Rabu (19/11).
Ia mengakui tidak mempunyai wewenang untuk mendata tiap awak redaksi media di Banyuwangi. Karena itu, Kohar mendorong awak redaksi proaktif untuk menyetorkan daftar nama resmi struktur keredaksian kepada Bakesbangpol Banyuwangi. Data ini, kata Kohar, sebatas untuk mempermudah pihaknya untuk memilah oknum wartawan profesional dan bukan. Menurut dia, arus kebebasan informasi ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi memberikan akses bagi siapapun untuk bersuara. “Tapi bisa juga digunakan pihak-pihak tertentu mencari keuntungan pribadi mengatasnamakan kebebasan pers,” ujarnya.
Kohar berharap wartawan bisa menjaga nama baik profesi. Tindakan negatif yang dilakukan oknum wartawan, kata Kohar, biasanya berdampak luas pada wartawan lain yang telah bersikap sesuai UU Pers.
Kasatbinmas Polres Banyuwangi, AKP Mahmud, mengatakan wartawan merupakan mitra strategis bagi kepolisian. Mahmud tidak bisa serta merta menyeret oknum wartawan yang diduga melakukan tindak pemerasan. Sebab, wartawan dilindungi UU Pers. Ia meminta wartawan ikut berkontribusi positif di tengah masyarakat.
Menurutnya, kehadiran wartawan tetap dibutuhkan di tengah masyarakat. “Namun kalau terbukti melakukan tindak kriminal, wartawan tetap bisa diproses sesuai hukum yang berlaku. Tidak ada yang kebal hukum,” kata AKP Mahmud.
Setali tiga uang, Ketua AJI Jember, Ika Ningtyas, menyerukan para wartawan untuk bekerja secara profesional. Praktek wartawan bodrek, kata Ika, muncul karena pemilik media tidak sanggup menggaji para wartawannya dengan upah layak. Bahkan pemilik media tak segan menjual kartu pers dengan sejumlah uang. “Biasanya mereka datang bergerombol. Awalnya wawancara tapi setelah itu minta uang bahkan menawarkan barang ke narasumber,” kata Ika.
Seorang wartawan tabloid mingguan, Hari, mengakui tidak digaji oleh perusahaan media dimana ia bekerja. Ia hanya menggantungkan pemasukan bulanan dari iklan atau berita yang ditulis untuk kemudian dibarter dengan sejumlah duit. “Potongan iklannya enggak banyak. kalau enggak dapat iklan, ya gak dapat uang. Mau bagaimana lagi?” kata dia. [nan]

Rate this article!
Tags: