Pers dan Capres : Menuju Pilpres Berkualitas

Oleh :
Robi Setyanegara, S.IP
Alumni Prodi S1 Ilmu Politik Universitas Airlangga 

Di dalam negara yang menganut sistem politik demokrasi seperti Indonesia, keberadaan pers menempati posisi sangat penting. Keterbukaan informasi kepada publik menjadi salah satu tonggak utama sekaligus tolok ukur bagi sebuah negara demokratis. Di Indonesia, pers pernah berada pada posisi yang tersudutkan oleh rezim kekuasaan sebelum pada akhirnya – setelah reformasi 1998 – kebebasan pers itu terwujud sesuai dengan cita-cita demokrasi. Seiring dengan kran kebebasan pers yang terbuka lebar, muncul perdebatan mengenai takar objektivitas dan netralitas pers dalam memberitakan peristiwa atau tokoh politik tertentu.
Pers Tidak Objektif ?
Dalam hitungan empat bulan mendatang, Indonesia akan menghelat ajang kompetisi pemilihan presiden (pilpres) secara langsung, tepatnya pada 17 April 2019. Sejarah akan mencatat ajang tersebut sebagai pilpres pertama yang diselenggarakan bersamaan dengan pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD. Banyak kalangan menilai pemilu tahun depan akan berlangsung sangat seru karena menjadi pertaruhan “hidup dan mati”-nya partai politik peserta pemilu. Itulah barangkali mengapa jauh sebelum pesta demokrasi tersebut dilaksanakan, parpol mencari tameng terbaik yang dianggap mampu menyelamatkan perolehan suara mereka, yaitu pasangan capres-cawapres yang mereka dukung.
Pers, dalam hal ini, menempatkan diri sebagai penyalur informasi dan gagasan dari pasangan capres-cawapres kepada publik secara luas. Publik tidak akan mampu mengetahui gagasan apa yang dibawa oleh masing-masing pasangan calon jika pers tidak memainkan perannya, pun – sebaliknya – jika calon tidak terbuka kepada pers. Jadi, sangat wajar apabila pers berusaha mengejar banyak informasi, penjabaran gagasan, dan penjelasan dari seorang calon presiden agar publik bisa menilai kualitas calon pemimpin yang akan mereka pilih nantinya. Namun, sayangnya, hasil kerja pers seringkali didakwa tidak netral dan tidak objektif oleh segelintir oknum yang berkepentingan dalam pilpres.
Karena merasa hasil pemberitaan pers tidak objektif dalam melihat realitas momen tertentu, ada satu pimpinan parpol yang bahkan dengan tegas menolak diwawancarai oleh media yang menurutnya tidak objektif. Tidak hanya menolak secara pribadi, yang bersangkutan juga menghimbau kepada timya untuk tidak meladeni permintaan wawancara dari media yang dia sebutkan. Sikap tersebut mungkin dipilihnya sebagai ekspresi kecewa terhadap kerja pers yang terkesan tebang pilih dalam memberitakan sebuah kejadian atau momen tertentu. Tetapi, apakah sikap yang diambil tersebut cukup bijak bagi seorang pimpinan parpol, apalagi yang bersangkutan juga merupakan kandidat RI-1?
Urgensitas Objektivitas Pers
Pers memberikan jasa yang sangat penting dalam penyebaran informasi kepada publik. Bagaimanapun, sumber informasi publik sebagian besar berasal dari hasil pemberitaan pers. Seiring dengan itu, publik membangun opininya terhadap peristiwa tertentu berdasarkan pemberitaan yang dilakukan oleh pers. Oleh karenanya, menurut Siregar (1999), informasi jurnalistik oleh media pers menjadi sumber dalam proses pembentukan pendapat publik (public opinion). Pada titik inilah objektivitas pers diuji; seberapa objektif sebuah lembaga atau perusahaan pers dalam menyajikan informasi tertentu, terutama yang menyangkut isu-isu sensitif, seperti sosial dan politik.
Ketidakobjektifan pers bisa berpengaruh besar bagi publik. Pertama, publik tentu akan membangun opini berdasarkan pemberitaan atau penyajian informasi yang tidak sepenuhnya benar, cenderung dilebih-lebihkan, atau bahkan dikurang-kurangkan. Bisa dikatakan sesungguhnya itu adalah bagian dari penyesatan opini publik yang tidak bertumpu pada fakta yang sebenarnya terjadi. Kedua, jika opini publik yang keliru dalam merespon fakta tertentu itu telah mengkristal dan mewujud menjadi sikap publik, maka hal berikutnya yang bisa terjadi adalah kondisi kacau dengan perdebatan sengit pro dan kontra yang tidak kontrukstif. Dan ketiga – ini yang perlu menjadi perhatian bagi lembaga pers itu sendiri – yaitu timbulnya ketidakpercayaan publik (public distrust) kepada pers.
Di tengah euforia politik menjelang pemilihan umum 2019, pers memang diharapkan mampu berperan seobjektif mungkin. Publik berharap pers bisa menjadi representasi dirinya dalam melihat dan menyampaikan informasi. Apabila objektivitas itu bisa dijamin oleh lembaga pers, maka kemungkinan untuk terjadinya kegaduhan, baik di tingkat elite maupun massa, bisa ditutup. Dan tentu saja publik dapat menjadikan hasil kerja pers sebagai sumber informasi terpercaya dalam membangun opini mereka, terutama dalam menentukan preferensi politik mereka untuk disalurkan melalui hak pilih dalam pemilu nanti. Persoalannya – yang hingga kini belum ditemukan formula yang tepat – adalah bagaimana cara mengukur dan menjamin tingkat objektivitas lembaga pers. Apalagi beberapa lembaga (perusahaan) pers dimiliki oleh tokoh publik atau politik tertentu yang terang saja memiliki banyak kepentingan dalam penyajian berita.
Alat Mobilisasi Dukungan Massa
Karena posisinya yang amat strategis di dalam alam demokrasi, pers didapuk sebagai pilar keempat demokrasi di samping eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Predikat itu agaknya tidak berlebihan mengingat peran pers yang sangat fundamental sebagai penghubung khalayak dengan elite dalam konteks politik. Publik jadi bisa menilai secara jeli tokoh elite yang menjadi sorotan pers. Dan di saat yang bersamaan, publik menjadikan hasil kerja pers sebagai referensi untuk menentukan preferensinya dalam sebuah ajang kompetisi politik, dalam hal ini pilpres.
Menurut Norris (2001), ada tiga fungsi pers dalam demokrasi, yaitu, pertama, pers sebagai forum warga yang berarti segala uneg-uneg warga dapat ditampung oleh pers sehingga dianalogikan sebagai sebuah forum di mana keluhan, pendapat, kritikan, dan masukan dari warga bisa terkumpul dan disalurkan. Kedua, pers berfungsi sebagai pengawas lembaga publik. Dalam kaitannya dengan itu, pers seolah mewakili masyarakat untuk mengawasi dan mengkritisi kinerja lembaga publik. Fungsi tersebut tidak saja membantu publik dalam mengawasi lembaga publik, tetapi juga membuat lembaga publik lebih berhati-hati dalam bekerja. Dan ketiga, pers berfungsi sebagai tool untuk memobilisasi dukungan masyarakat terhadap posisi politik tertentu. Ini juga dapat dikaitkan dengan bagaimana pemberitaan oleh pers dapat menjadi penentu pendapat dan preferensi publik.
Jikalau kandidat presiden yang merasa kecewa terhadap pers tersebut memahami dengan baik fungsi pers sebagaimana yang diungkapkan oleh Norris, maka tidak seharusnya yang bersangkutan mengekspresikan kekecewaannya dengan cara menolak berinteraksi dengan media yang dia sebutkan. Pers, bagaimanapun, memiliki standar penyajian berita masing-masing berdasarkan kebijakan redaktur. Oleh karena itu, sebagai kandidat pemimpin negara, akan menjadi lebih bijak jika yang bersangkutan tetap terbuka kepada pers sembari menjelaskan pandangan, visi, dan gagasannya agar bisa diterima oleh publik dengan baik dan secara objektif. Dengan demikian, pemilu 2019 mendatang akan bisa menjadi pemilu berkualitas yang full of ideas.

———– *** ————

Tags: