Pers Penguat Optimisme

Oleh :
Nurudin
Penulis adalah dosen Ilmu Komunikasi, Fisip, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).

Pada masa pandemi covid-19 ini, pers kita menghadapi masalah pelik untuk kali kedua. Pertama, pandemi telah memberikan peluang pengetatan anggaran dan memangkas sejumlah karyawan. Berdasarkan data dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan LBH Pers, hingga November 2020, ada 133 pengaduan. 46 diantaranya tentang pemutusan hubungan kerja.

Kedua, pers kita dihadapkan – atau sering tertuduh – menyebarkan berita bohong. Meskipun berita-berita bohong tersebut ulah oknum media tertentu. Berdasar data dari Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) yang dipublikasikan 21 November 2020, setidaknya ada berita hoaks kesehatan mencapai 519 (56%) dari total 926 kasus pada 6 bulan pertama tahun 2020. Angka persentasi itu meningkat sekitar 49 persen dibandingkan tahun 2019. Dari 519 hoaks soal kesehatan di atas, 94,8 diantaranya informasi tentang covid-19.

Kenyataan di atas tentu menjadi pukulan telak bagi pers. Hanya ulah oknum media tertentu semua media dipukul rata memberitakan hoaks kesehatan. Mengapa itu semua terjadi? Era online telah memberikan peluang besar akses informasi, apalagi saat pandemi ini.

Bagaimana potret akses media masyarakat saat pandemi covid-19? Berdasar data Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), sejak Maret 2020 kunjungan ke situs meningkat tajam 50-60 persen. Pada pertengahan Maret 2020 penonton televisi meningkat sekitar 25 persen berdasar data dari Nielsen Indonesia. Data ini menunjukkan “kehausan” masyarakat akan informasi sedemikian tinggi. Itu menjadi indikator meningkatnya konsumsi berita pada masyarakat.

Masalah

Lalu apa yang menjadi masalah dengan kecenderungan di atas? Masalah utama kita adalah konsumsi masyarakat akan informasi meluap tajam. Sebut saja terjadi banjir informasi. Menjadi lebih bermasalah karena konsumsi itu berkaitan dengan kuantitas dan bukan kualitas. Oleh karena itu, peredaran informasi hoaks sebagaimana dikemukakan Mafindo berbanding lurus dengan banjir informasi ini.

Kenyataan di atas tentu menjadi tantangan berat bagi pers kita. Bukan menuduh bahwa pers kita menyajikan hoaks, tetapi tuduhan bahwa pers menyebar hoaks tak kalah pentingnya untuk dianalisis. Ini penting kiranya karena menyangkut jati diri dan kredibiitas pers di masa datang.

Sejelek apapun pers, harus tetap hidup dan pemerintah yang demokratis punya kewajiban untuk mendukungnya. Pentingnya pers dalam kehidupan demokrasi pernah secara vulgar dikatakan oleh Thomas Jefferson, “Jika saya harus memilih antara ada pers tanpa ada pemerintah dengan ada pemerintah tanpa ada ada pers, saya tidak ragu-ragu lagi akan memilih yang pertama”.

Namun harus diakui bahwa tuduhan pers yang masih asal memberitakan soal covid-19 masih terjadi. Misalnya, beberapa media hanya fokus memberitakan angka kematian mereka yang terkena virus covid-19. Berita ini bukan tidak penting, tetapi bisa membuat masyarakat semakin ketakutan. Informasi keamtian memang penting untuk membuat bahwa mereka sadar dan lebih hati-hati. Namun sekadar menyebarkan informasi satu pihak bisa membuat pers sebagai pihak yang tertuduh memperkeruh suasana.

Kemudian, berita pers juga masih didominasi sumber-sumber resmi pemeritah dan aparat lain. Bukan tidak boleh tetapi kutipan hanya dari satu sumber resmi ini tentu akan membuat pers dituduh sebagai “corong” pemerintah saja. Ini bukan berarti kita tidak percaya pada pemerintah, tetapi pemerintah tentu mempunyai kepentingan tertentu terkait ini. Misalnya, apakah pers membabi buta memberitakan pernyataan mantan Menteri Kesehatan Terawan saat mengatakan di Indonesia virus covid-19 belum masuk di awal tahun 2020? Di sinilah pentingnya pers tak hanya memberitakan dari satu sudut pandang semata.

Kalau mau jujur sebenarnya, kasus yang sudah terjangkit covid-19 dua atau tiga kali lipat yang kita bisa baca di media. Coba saja pemerintah sigap dan cepat mengantisipasi. Misalnya dengan menyediakan alat deteksi virus dengan mudah didapat dan cepat. Maka hasilnya tentu akan mencengangkan dengan jumlah yang berlipat.

Jumlah yang terpapar sedikit karena yang diperiksa memang orangnya sedikit. Coba masing-masing pemerintah daerah secara masif melakukan tes swab. Apakah berani? Tentu itu berkaitan dengan citra pemerintah. Pemerintah daerah tak mau dituduh bahwa wilayahnya banyak yang terjangkit. Padahal jika wabah ini mau segera diselesaikan maka harus dibuka lebar-lebar pemeriksaan. Perkara ada tuduhan-tuduhan miring tidak perlu diurusi karena ini menyangkut kemanusiaan.

Hal demikian juga terjadi pada pemerintah pusat. Sejak awal pandemi ini pemerintah tidak sigap dan cepat mengantisipasinya. Sehingga wabah sudah mulai menjalar kemana-mana. Setelah mewabah dengan peningkatan tinggi pemerintah menyalahkan rakyatnya yang tidak patuh pada kebijakan seperti menjaga jarak, memakai masker dan menghindari kerumunan. Padahal sumber utama awalnya bisa jadi ketidaktegasan pemerintah. Jika pers hanya memberitakan dari satu sumber pemerintah maka itu sama saja tidak ikut mengatasi masalah dasarnya. Kita tidak berharap pada pers seperti itu, meskipun tidak bisa dipukul rata.

Lalu Apa?

Pertama, pers perlu perlu lebih banyak membangkitkan optimisme bahwa pandemi covid-19 ini bisa diatasi. Hal demikian bisa dilakukan dengan pemberitaan-pemberitaan alternatif yang mengarahkan pada usaha pencegahan dan mengatasi. Pers tidak usah terlalu banyak berkaca pada informasi resmi pemerintah dengan beberapa pertimbangan kepentingannya. Jika terjadi berita yang justru mengarah pada kepentingan pemerintah semata, maka media harus mengiritisi.

Selama ini media tengah euforia dengan datangnya vaksin. Padahal pro kontra vaksin masih terjadi dan bagaimana pendistribusiannya, siapa yang mendapat terlebih dahulu, dan siapa yang dijadikan prioritas vaksin jarang disoroti. Tentu saja tetap dengan memberitakan kasus-kasus yang terus meningkat beserta pencegahannya sebagaimana selama ini telah dilakukan.

Kedua, pers menjadi harapan besar sumber informasi untuk menciptakan optimisme masyarakat. Karena selama ini berita pers masih diminati untuk dikonsumsi masyarakat. Tanpa bantuan berita media pemerintah bisa apa? Meskipun saat terjadi kemelut kebijakan sementara pers berusaha mengkritisinya, pers berada dalam ancaman. Berita pers adalah gerakan kemanusian di tengah kepentingan politik negara yang kian absurb.

———- *** ———-

Rate this article!
Pers Penguat Optimisme,4 / 5 ( 2votes )
Tags: