Persekusi dan Masyarakat Barbar

Oleh:
Sugeng Winarno
Pegiat Literasi Media, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang.

Aksi persekusi masih terus terjadi. Persekusi menimpa orang biasa, politisi, artis, dan figur publik lainnya. Persekusi banyak dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang ingin menang sendiri. Para pelaku persekusi (persekutor) menganggap diri atau kelompoknya yang paling benar dan orang atau kelompok lain sebagai pihak yang keliru hingga wajar menerima aksi persekusi. Perilaku menghalalkan segala cara yang menyerang pihak lain dengan persekusi serupa dengan perilaku masyarakat barbar.
Sering kita melihat perilaku seseorang atau sekelompok masyarakat yang mempertontonkan kekuatan okolnya daripada akalnya. Tindakan main hakim sendiri seperti sudah menjadi hal yang sah dan lumrah. Maraknya persekusi seperti halnya aksi para geng motor yang beraksi brutal semakin menguatkan maraknya perilaku barbar itu. Dalam ranah politik, tidak jarang perilaku barbar itu didemonstrasikan oleh para polisisi dan simpasisannya. Mereka saling serang dengan adu okol bukan mengedepankan konsep dan gagasan.
Seperti diberitakan banyak media, akhir-akhir ini persekusi ramai terkait dengan aksi adu kuat antara #2019Ganti Presiden versus #JokowiDuaPeriode. Perang panas-panasan antara kubu yang menghendaki ganti presiden versus pihak yang menghendaki sang petahana melaju dua periode masih terus terjadi. Perang kedua kubu itu cukup sengit terutama yang terjadi di jalur maya lewat media sosial (medsos). Sebenarnya aksi kedua kubu itu merupakan ungkapan aspirasi yang konstitusional. Namun sayang kalau penyampaian aspirasi yang sah itu harus berujung pada aksi persekusi.
Banyak pihak menyayangkan wujud aspirasi yang konstitusional justru menemukan perundungan dalam penyampaiannya. Peristiwa itu tentu bisa berdampak buruk dalam kehidupan berdemokrasi di negeri ini. Polisi menjadi pihak kunci agar dengan tangkas mengusut tuntas semua pelaku persekusi. Semua pihak harus menjunjung fair play dalam pertarungan dalam kontestasi politik pilpres dan pileg saat ini.
Persekusi Daring dan Luring
Tindakan persekusi tidak hanya terjadi di dunia nyata (luring). Di ranah daring (online), aksi persekusi sudah lama dan masih terus terjadi. Bahkan telah terjadi sinergi aksi persekusi offline dan online. Maraknya ajakan perburuan orang secara sewenang-wenang sering diserukan lewat postingan di medsos. Tidak jarang persekusi yang berawal dari teror medsos dan berakhir dengan tindakan persekusi nyata.
Munculnya kasus persekusi yang berawal dari medsos ini sebenarnya bermula sejak persidangan kasus Ahok waktu itu dan terus bergulir hingga saat ini. Tindakan persekusi memperoleh momentumnya sejak vonis penistaan agama dijatuhkan kepada Ahok. Sejumlah ormas yang mendorong kasus itu pun merasa tindakannya turun ke jalan mendapat dukungan. Sejak itu persekusi masif bermunculan di beberapa daerah di Indonesia.
Aksi persekusi sudah banyak membawa korban. Merujuk pada laporan Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safe Net) 2017, pada Januari terjadi persekusi di empat lokasi di Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Pada bulan Maret, kasus persekusi di tiga pulau itu meningkat menjadi enam kasus. Memasuki bulan April persekusi meluas dari Sumatera hingga Sulawesi dengan delapan kasus. Mei, kasus melonjak jadi 36 kasus tersebar dari Sumatera hingga Sulawesi.
Aksi persekusi juga menyasar anak-anak dan remaja. Di Jakarta Timur, seorang anak berusia 15 tahun juga diintimidasi. Video intimidasi itu telah tersebar luas di medsos hingga menimbulkan keresahan di masyarakat. Korban kasus ini sepertinya akan terus bermunculan di beberapa daerah. Upaya penanganan persoalan ini harus dilakukan dengan cepat sebelum korban semakin banyak.
Dalam penanganan kasus persekusi ini seperti ada kerancuan. Di satu pihak ada yang menganggap bahwa tindakan persekusi sebagai sebuah tindakan yang cukup beralasan. Disisi lain, cara-cara main hakim sendiri dengan melakukan perburuan terhadap seseorang jelas melanggar hukum. Idealnya semua harus merujuk pada mekanisme hukum terkait penyelesaian sebuah persoalan.
Masyarakat Barbar Zaman Now
Masih sering kita jumpai perilaku barbar dalam era modern ini. Perilaku masyarakat tidak lagi mengindahkan peradaban, aturan, norma, dan tata nilai yang berlaku di masyarakat. Perilaku suka tawuran, sikap diskriminatif, mudah terprovokasi, suka menyebarkan kebencian dan permusuhan, dan tindakan yang merugikan pihak lain merupakan beberapa bentuk perilaku masyarakat barbar.
Di negeri ini banyak orang cerdik pandai dan terpelajar. Perangkat hukum juga sudah tersedia. Namun praktik masyarakat barbar itu masih saja terjadi. Seperti tidak ada korelasi antara tingkat pendidikan, status sosial ekonomi dengan perilaku mereka. Orang yang mengetahui hukum, justru tidak jarang melanggar hukum. Orang yang mengerti peraturan justru yang punya akal untuk menyiasati kelemahan peraturan itu.
Dulu masyarakat barbar bisa terjadi karena memang hukum tidak ada. Ketika kini hukum sudah dibuat sebagai pedoman dalam pengaturan kehidupan masyarakat, maka idealnya perilaku masyarakat barbar bisa dihindari. Ketika faktanya di masyarakat masih sering kita jumpai perilaku barbar maka perangkat hukum dan penegakan hukum seperti tidak berfungsi. Hukun tidak bisa bertaji. Hukum cenderung dimanipulasi dan dilanggar.
Untuk itu guna melawan munculnya masyarakat barbar maka penegakan hukum harus dilakukan. Tanpa hal itu maka hukum akan menjadi peraturan yang tidak mampu menjalankan fungsi mengatur dan menjerakan bagi mereka yang melanggarnya. Hukum yang ada tidak lagi sebagai panglima. Hukum bisa dimainkan oleh siapa yang kuasa dan punya kepentingan. Kalau demikian yang terjadi, inilah era barbar zaman now.
Maraknya persekusi sebagai perilaku layaknya masyarakat barbar tidak boleh terus dibiarkan. Siapapun dan dengan alasan apapun persekusi tidak boleh dilakukan. Penegakan hukum dengan menindak tegas para presekutor idealnya dilakukan dengan tanpa pandang bulu. Hukum harus berlaku adil bagi seluruh masyarakat. Siapa yang terbukti bersalah harus mendapat ganjaran yang setimpal dengan perbuatan yang dilakukan.
Perilaku persekusi membawah peradaban manusia yang terendah, seperti layaknya kehidupan binatang di hutan. Negeri ini tidak melegalkan yang kuat yang menang, tetapi negeri ini dibangun atas dasar hukum. Semua warga negara punya kedudukan yang sama di mata hukum. Tinggal bagaimana hukum itu ditegakan dengan seadil-adilnya. Kalau hal itu bisa diwujudkan tentu para pelaku persekusi akan jera dan menghentikan praktik tidak beradab itu. Stop persekusi!.

———– *** ————

Rate this article!
Tags: