Persiapan Hari Kemerdekaan

Seluruh kampung kini telah berhias umbul-umbul bendera merah putih. Sebagian juga dihias lampu penjor kerlap-kerlip. Kawasan pemukiman nampak bersih, gemerlap, bagai pagelaran hajat kolosal. Inilah persiapan menyongsong hari kemerdekaan bangsa Indonesia. Diperingati sebagai hari proklamasi, yang di-sakral-kan. Di dalamnya terdapat perjanjian berbagai kerajaan di berbagai daerah. Serta suku-suku, membentuk Negara kesatuan Republik Indonesia.
Hari proklamasi merupakan Pactum Unionis. Yakni perjanjian antara masyarakat dan kelompok masyarakat untuk membentuk suatu negara yang melindungi warganya. Hampir seluruh negara bangsa memiliki kisah menuju kemerdekaan. Sehingga proklamasi bangsa Indonesia, sejajar dengan Declaration of Independence of USA (Kemerdekaan Amerika Serikat). Juga senafas dengan deklarasi revolusi Perancis “La Déclaration des droits de l’Homme et du citoyen,” yang digagas oleh Marquis de Lafayette.
Seluruh rakyat bergembira, melanjutkan kegembiraan rakyat terdahulu, sejak 17 Agustus 1945. Dibuktikan dengan berbagai lomba seni, dan olahraga rekreasi. Yang populer diantaranya, balap karung dan panjat pohon pinang (yang dilumuri minyak pelumas). Sering pula, semalam jelang tanggal 17 Agustus, diselenggarakan “tirakatan” untuk menandai rasa syukur kepada Ilahi terhadap berkah kemerdekaan. Bangsa Indonesia mengakui, bahwa momentum proklamasi merupakan berkah Ilahi.
Seperti diakui (dan ditulis secara tekstual) dalam mukadimah UUD alenia ketiga. “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa.”  Para pendiri negara menyadari benar tidak mudahnya membentuk negara majemuk, dengan beragam adat dan bahasa. Serta teritorial sangat luas yang dipisahkan perairan laut. Hal itu tergambar dalam dinamika untuk menentukan hari pembacaan proklamai kemerdekaan. Sampai Ir. Soekarno, harus “dijemput” dari Rengasdengklok.
Dibutuhkan semangat  ke-negarawan-an untuk menjembatani perbedaan, demi  melahirkan negara Indonesia. Dalam penjelesan UUD 1945, dituliskan: “Yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hal hidupnya negara, ialah semangat. …Meskipun dibikin UUD … bersifat kekeluargaan, apabila semangat para penyelenggara negara para pemimpin pemerintahan itu bersifat perseorangan, (maka) UUD tadi tidak artinya.”
Itulah yang mesti terus diwarisi oleh penyelenggara negara, generasi penerus penyelenggara pemerintahan, sampai kini. Indonesia, adalah keluarga besar berbagai suku yang tergabung dalam NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Ke-bhineka-an (ragam warna kulit, adat dan bahasa) menjadi keniscayaan. Pemikiran ke-NKRI-an, tidak boleh goyah, di seluruh daerah. Walau setiap daerah memiliki “bahasa ibu.”
Pengertian tentang pendatang, mestilah dipahami sebagai kewajiban saling mengenal, antara warga lama dengan warga baru. Seluruhnya saling menjaga kemerdekaan antar-warga. Tidak boleh terjadi tirani warga baru, serta dilarang pula anarkhisme warga lama. Merdeka merupakan keinginan pilihan luhur, dengan menghormati kebebasan orang lain. Maka setiap perjuangan kemerdekaan bersama, pasti memperoleh dukungan luas.
Pada mukadimah UUD juga dituliskan, alasan pembacaan Proklamasi. Kemerdekaan bukan sekedar hak segala bangsa, melainkan keinginan luhur  untuk berkebangsaan yang bebas (tidak ditindas), serta mencerdaskan bangsa. Proklamasi kemerdekaan juga mencita-citakan kemakmuran. Negara berkewajiban menjamin keadilan sosial.
Perang revolusi mempertahankan kemerdekaan sudah berlalu tujuh dekade lalu. Tetapi, kata Bung Karno, revolusi belum selesai. Sebagaimana diakui dalam pembukaan UUD 1945 alenia kedua: “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.”
Merdeka berpemerintahan sendiri, memang sudah. Tetapi adil dan makmur, masih harus terus diperjuangkan. Itulah alasan, bahwa revolusi belum selesai. Seluruh rakyat masih mengemban kewajiban perjuangan. “Bambu runcing” harus tetap dihunus. Termasuk untuk menghadang politik demokrasi “belah bambu” yang sama kejam dengan penjajahan.

                                                                                                                     ———   000   ———

Rate this article!
Tags: