Pertanian, Pemanasan Global Dan Krisis Pangan

Refleksi Hari Tani Nasional 24 September 2023

Oleh :
Sutawi
Guru Besar Agribisnis Universitas Muhammadiyah Malang

Pada acara Dies Natalis ke-60 Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 15 September 2023, Presiden Joko Widodo mengingatkan potensi terjadinya krisis pangan yang bakal melanda dunia, termasuk Indonesia. Menurut Presiden Jokowi, krisis pangan pertama disebabkan oleh jumlah penduduk dunia semakin meningkat, termasuk Indonesia yang naik 1,25 persen per tahun.

Peningkatan jumlah penduduk akan meningkatkan kebutuhan pangan. Kedua, krisis pangan disebabkan ketegangan geopolitik. Konflik Rusia dan Ukranina menyebabkan 207 juta ton gandum tak bisa diekspor dari Ukraina dan Rusia. Akibatnya, harga gandum di Eropa, Afrika dan Asia pun melonjak. Ketiga, sebanyak 19 negara telah membatasi ekspor pangan demi menyelamatkan rakyatnya masing-masing. India baru-baru ini memutuskan berhenti mengekspor beras.

Akibatnya, harga beras naik di semua negara. Indonesia pun semakin sulit mendapatkan beras impor. Keempat, perubahan iklim, seperti fenomena super El Nino, kenaikan suhu dan kenaikan air laut juga mengganggu produksi pangan.

Selain berkontribusi sebagai sumber produksi pangan penduduk dunia, pertanian juga berkontribusi terhadap pemanasan global (global warming). Pemanasan global adalah meningkatnya rata-rata temperatur bumi sebagai akibat akumulasi panas di atmosfer yang disebabkan oleh Efek Rumah Kaca (Greenhouse Effect). Efek Rumah Kaca adalah fenomena menghangatnya suhu permukaan bumi karena radiasi sinar matahari, yang dipantulkan kembali ke angkasa dan terperangkap oleh “selimut” dari gas-gas yang dinamakan Gas Rumah Kaca (GRK) atau Greenhouse Gas (GHG), antara lain gas CO2 (karbon dioksida), CH4 (metana), N2O (dinitrogen oksida), PFCS (perfluorokarbon), HFCS (hidrofluorokarbon), SF6 (sulfurheksafluorida), dan uap air (H2O).

Semakin banyak jumlah GRK yang berada di atmosfer, maka semakin banyak pula panas matahari yang terperangkap di permukaan bumi, sehingga suhu bumi menjadi semakin panas. Selama kurang lebih seratus tahun (1906-2005) suhu rata-rata di permukaan bumi telah meningkat 0,74 ± 0,18 °C, dan pada tahun 2000-2100 temperatur atmosfer diprediksi akan meningkat 2,1-3,9°C (IPCC, 2007).

Pada periode 2005-2035 suhu udara di Indonesia rata-rata akan meningkat 1-1,5°C. Pemanasan global telah memicu terjadinya sejumlah fenomena yang merugikan lingkungan maupun kehidupan manusia, seperti perubahan iklim, mencairnya lapisan es kutub, naiknya permukaan laut, cuaca ekstrem, kerusakan ekosistem, bencana alam, dan sebagainya.

World Research Institute (WRI) mencatat lebih dari setengah emisi gas rumah kaca global tahun 2021 disumbang sepuluh negara di dunia. Indonesia masuk urutan ke-8 dalam daftar sepuluh negara dengan emisi GRK terbesar di dunia. Kementerian LHK (2021) melaporkan GRK Indonesia tahun 2019 sebesar 1.866.552 Gg CO2e, dengan emisi terbesar dari sektor Kehutanan dan Kebakaran Gambut sebesar 924.853 Gg CO2e (49,55%), kemudian Energi sebesar 638.808 Gg CO2e (34,22%), Limbah sebesar 134.119 Gg CO2e (7,19%), Pertanian sebesar 108.598 Gg CO2e (5,82%), dan Proses Industri dan Penggunaan Produk sebesar 60.175 Gg CO2e (3,22%).

Kontributor utama emisi GRK pertanian berasal dari emisi N2O langsung dari tanah yang dikelola (29,39%), kegiatan budidaya padi sawah (25,69%), dan fermentasi enterik dari ternak (16,19%). Peningkatan populasi penduduk dan konsumsi pangan merupakan penyebab emisi GRK pertanian semakin membesar. Jika produksi pertanian berjalan seperti saat ini, maka emisi GRK pertanian diperkirakan akan meningkat 15-20% pada tahun 2050.

Pertanian memainkan peran sangat penting dalam perubahan iklim karena komposisi emisi di sektor ini yang sangat dominan adalah metana (CH4) dan dinitrogen oksida (N2O). Pertanian menyumbang sekitar 45% total emisi metana. Sekitar 80% emisi metana pertanian berasal dari produksi peternakan, terutama fermentasi enterik (proses pencernaan pakan) dan kotoran ternak. Penyumbang kedua emisi metana pertanian adalah produksi padi, kemudian pembakaran lahan dan pemanfaatan limbah pertanian. Pertanian juga menyumbang 80% dari total emisi dinitrogen oksida, terutama dari aplikasi pupuk, baik nitrogen sintetis maupun kotoran ternak. Kedua gas lebih signifikan daripada karbon dioksida (CO2) dalam memacu pemanasan global selama 20 tahun terakhir. Gas CH4 memiliki daya tangkap panas 25 kali lipat dibanding CO2 (Vlaming, 2008).

Selain ikut berkontribusi sebagai penyebab, sektor pertanian juga menjadi korban dan paling rentan (vulnerable) terhadap perubahan iklim. Beberapa perubahan unsur iklim yang berdampak pada sektor pertanian antara lain peningkatan suhu udara, pola curah hujan, muka air laut, dan kejadian iklim ekstrim yang menyebabkan banjir dan kekeringan. Pengaruh perubahan iklim terhadap sektor pertanian bersifat multidimensional, mulai dari sumberdaya, infrastruktur pertanian, dan sistem produksi pertanian, hingga aspek ketahanan dan kemandirian pangan, serta kesejahteraan petani dan masyarakat pada umumnya. Peningkatan suhu menyebabkan penurunan produktivitas tanaman pangan. Setiap kenaikan suhu 1°C akan menurunkan produksi padi sebesar 8-10% atau 0,6 ton/ha (IRRI, 2007), dan penurunan produksi jagung sebesar 10,5-19,9% hingga tahun 2050 (Handoko et al., 2008). Hasil penelitian Tschirley (2007) menunjukkan terjadi penurunan hasil pertanian lebih dari 20% apabila suhu naik lebih dari 4°C.

Perubahan iklim menyebabkan kenaikan muka air laut di Indonesia dalam periode 1993-2008 berkisar antara 0,2-0,6 cm per tahun dan suhu muka air laut rata-rata 0,020-0,023°C/tahun (Sofian, 2010). Kenaikan permukaan air laut berotensi menciutkan lahan sawah antara 113.000-146.000 ha, lahan kering areal tanaman pangan 16.600-32.000 ha, dan lahan kering areal perkebunan 7.000-9.000 ha. Tanpa upaya adaptasi perubahan iklim secara nasional, produksi padi menjelang tahun 2050 diperkirakan akan menurun 20,3-27,1%, jagung 13,6%, kedelai 12,4%, dan tebu 7,6%. Potensi dan peluang penurunan produksi padi tersebut terkait dengan berkurangnya lahan sawah di Jawa seluas 113.003-146.473 ha, di Sumatera Utara 1.314-1.345 ha, dan di Sulawesi 13.672-17.069 ha (Handoko et al., 2008).

Kejadian iklim ekstrim, terutama El-Nino atau La-Nina menyebabkan kegagalan panen, penurunan produktivitas dan produksi, kerusakan sumberdaya lahan, peningkatan intensitas kekeringan, peningkatan intensitas gangguan hama dan penyakit tanaman (Las et al., 2008).

La-Nina menyebabkan peningkatan luas areal pertanaman yang rawan banjir, dari 0,75-2,68% menjadi 0,97-2,99%, dan areal pertanaman yang mengalami puso akibat banjir meningkat dari 0,24-0,73% menjadi 8,7-13,8%. Secara agregat, perubahan iklim potensial diperkirakan menurunkan produksi padi nasional dari 2,45-5,0% menjadi lebih dari 10% (Las et al., 2011).

Pemanasan global pada akhirnya akan memicu terjadinya krisis pangan. Kementan (2022) mencatat neraca perdagangan komoditas tanaman pangan tahun 2022 mengalami defisit sebesar 18 juta ton senilai 9,24 milyar USD (setara Rp 138 triliun).

Global Food Security Index (GFSI) mencatat skor indeks ketahanan pangan Indonesia tahun 2022 mencapai level 60,2. Ketahanan pangan Indonesia pada 2022 masih lebih rendah dibanding rata-rata global yang indeksnya 62,2, serta di bawah rata-rata Asia Pasifik yang indeksnya 63,4. Indonesia berada di peringkat ke-63 dari 113 negara dan masuk dalam kategori ketiga “moderate performance”.

———– *** ———–

Tags: