Pertarungan Kader NU di Pilgub Jawa Timur Rentan Konflik

Suko Widodo

Surabaya, Bhirawa
Risiko konflik pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2018 di Jawa Timur, khususnya pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur diprediksi tinggi. Pasalnya, para tokoh agama banyak yang ambil bagian dalam pesta demokrasi lima tahunan ini.
Menariknya, kedua kandidat calon Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa ataupun Saifullah Jusuf sama-sama dari kader Nahdlatul Ulama (NU). Kedua kubu tersebut juga tidak mau jauh-jauh dari simbol kiai. Terbukti, mantan Menteri Sosial dan Wakil Gubernur Jatim dua periode ini kian intens menggalang dukungan dari tokoh agama maupun pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes).
Hal inilah yang dikhawatirkan Pakar Komunikasi Politik Universitas Airlangga (Unair) Dr Suko Widodo. Sebab, tidak menutup kemungkinan dalam Pilgub Jatim 2018 ada ‘perang’ tersembunyi di internal NU. Disamping itu, tokoh agama-lah yang seharusnya menjadi salah satu penengah jikalau terjadi konflik politik.
“Tapi kenyataannya banyak tokoh agama yang terlibat dalam Pilgub Jatim. Ini sangat rawan sekali,” ujarnya saat ditemui Bhirawa, Rabu (7/2) kemarin.
Oleh karenanya, kata Suko, Jatim butuh tokoh penengah baru yang bisa memberikan pendapat yang adil dan independen. Meski demikian, tidak semua tokoh agama di Jatim masuk dalam pusaran politik dan bisa menjadi penengah. Dalam hal ini, lembaga formal seperti Gubernur, Kapolda, tokoh budayawan juga bisa menjadi penengah. “Disinilah Jatim membutuhkan tokoh penengah baru yang adil serta independen,” katanya.
Sebelumnya, berbagai manuver politik yang dilakukan oleh kelompok kiai juga sudah mulai terlihat. Seperti Forum Kiai Kampung. Kelompok ini sempat berkirim surat kepada Presiden Joko Widodo agar segera mengizinkan Khofifah Indar Parawansah (Menteri Sosial) untuk bertarung pada Pilkada Jatim.
Berjalannya waktu, kelompok kiai ini berubah haluan dan tiba-tiba menggelar deklarasi mendukung Gus Ipul, sapaan akrab Saifullah Jusuf pada Pilkada Jatim.
Begitu pula dengan kubu Khofifah. Di mana, Ketua Umum Muslimat NU menyerahkan nama wakilnya kepada Tim 9 yang berisi para kiai senior. Setelah Tim 9 menentukan nama calon wakil Khofifah, baru selanjutnya dikomunikasikan dengan partai pendukung.
Menanggapi hal tersebut, Suko menilai bahwa dalam konteks pemilihan langsung bukan tergantung siapa pendukungnya. Partisipasi aktif tokoh agama secara politik memang dinilai sangat potensial sebagai panutan dan rujukan masyarakat dalam menentukan pilihan. Bahkan, dia melihat ada pergeseran nilai fungsi, khususnya saat momentum Pilkada Jatim.
“Para pemilih sekarang ini sudah cerdas. Bahwasannya, semakin banyak calon itu berbuat kepada rakyat, akan semakin banyak pendukungnya,” jelasnya.
Suko pun menegaskan kembali bahwa peran Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jatim harus benar-benar fair dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jatim memberikan kontrol yang ketat. Serta para Rektor, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) juga harus ambil bagian untuk membantu sebagai stabilisator. Begitu pula dengan awak media juga diminta harus seimbang dalam pemberitaan. “Agar Pilkada serentak ini berjalan aman dan lancar, semua harus ambil bagian,” harapnya.
Secara prinsip, lanjut Suko, tokoh agama tidak dilarang untuk terjun ke dunia politik sepanjang tokoh tersebut memiliki pengetahuan tentang politik atau pemerintahan yang memadai. “Dengan syarat tokoh tersebut punya pengetahuan bidang tersebut dengan baik, itu tidak masalah,” pungkasnya.
Perlu diketahui, hasil penelitian kualitatif dari Rumah Bebas Konflik (Rubik) menunjukkan, jenis konflik terbanyak yang mungkin terjadi di Pilkada 2018 ada di Jatim untuk pulau Jawa dan Papua untuk pulau luar Jawa. Jenis konflik yang telah dipetakan Rubik di Jatim ada lima jenis konflik yang berpotensi terjadi. Antara lain, konflik internal internal penyelenggara, konflik antar-penyelenggara, konflik antar-peserta pemilu, konflik penyelenggara dengan masyarakat serta konflik antar-masyarakat pendukung. [geh]

Tags: