Pesan dari Bunga yang Lahir dari Lumpur

Judul Buku : Metafora Padma
Pengarang : Bernard Batubara
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, 2016
Dimensi : 168 hlm; 18 cm
ISBN : 978-602-03-3297-0
Peresensi : Aulia Maysarah

Semua orang, pasti memiliki kenangan buruk. Entah itu sebab suatu peristiwa, seseorang, atau suatu hal yang lain. Cara tiap orang menghadapi kenangan buruk pun berbeda-beda. Ada yang menerima lalu melupakan, ada yng melawan, ada pula yang bertahan dengan kenangan buruk tersebut. Tentu saja semua itu kembali pada diri masing-masing nantinya. Tergantung dengan sikap tiap orang.
Metafora Padma karya Bernard Batubara ini misalnya, merupakan kumpulan cerpen yang berisi banyak kenangan buruk. Tentang perang, perselisihan, kematian dan kehilangan kekasih. Bagi tiap-tiap tokohnya, semua itu dihadapi dengan beragam. Ada yang menerima, ada yang trauma bahkan ada yang bertahan. Meski begitu, kenangan-kenangan buruk dalam tiap cerpen juga sikap para tokohnya mampu dikelola dengan sangat baik oleh penulis hingga mampu menampilkan latar dan alur yang unik.
Cerpen berjudul Perkenalan misalnya. Menampilkan tokoh seorang perempuan muda yang hidup di zaman penuh kekerasan. Perempuan yang merasakan trauma dari tindak pelecehan seksual dari ayahnya sendiri, juga kepedihan kehilangan kekasih hingga dia nekad bunuh diri. Dan endingnya sangat tidak terduga karena ternyata yang bercerita di sini bukan perempuan tersebut, melainkan arwahnya yang merasuki tubuh orang lain.
Lalu, Metafora Padma. Cerpen yang sama dengan judul bukunya. Mengisahkan seorang laki-laki yang bertemu seorang perempuan di sebuah pesta teman mereka. Perempuan itu mengingatkannya akan kampung halamannya, ayah-ibunya, masa kecilnya dan mimpi buruknya yang juga berhubungan dengan kekerasan.
Atau, cerpen berjudul Sepenggal Dongeng Bulan Merah yang menceritakan penantian seorang kekasih kepada kekasihnya yang sudah meninggal karena perang antar suku. Yang akhirnya sama-sama mengejutkan.
“Meski hidup di dunia yang keras dan penuh kekerasan, harusnya manusia tetap tumbuh dalam kesucian. Murni. Menjadi dewasa dalam cinta kasih. Putih seperti kelopak lotus. Tidak membawa lumpur dalam hatinya. Tidak memandang dunia yang penuh kekerasan dengan kekerasan juga. (Hlm. 109)
Buku ini sebenarnya mengangkat tema yang cukup berat bagi sebagian pembaca karena menampilkan kekerasan secara gamblang dan tidak ditutup-tutupi. Hanya saja, berkat pembawaan penulis yang menampilkan gaya bahasa tak berat, semua itu mampu terlihat mengalir dan masih bisa diterima.
Inti dari buku ke sembilan dari Bernard Batubara yang memuat 14 cerpen ini cuma satu. Walaupun hidup di dunia yang penuh dengan kekerasan, tiap orang harusnya tidak memandangnya dengan kekerasan pula. Seharusnya manusia mampu menerima, memaafkan keadaan lalu melupakan semua kesalahan agar tercipta suatu keadaan yang kondusif dan jauh dari kata peperangan.
Gotong royong, saling membantu dan tidak menelan bulat-bulat semua omongan miring orang lain juga salah satu cara mewujudkan ketentraman tersebut. Bukankah dengan begitu semua dapat bersatu? Tak ada lagi pertengkaran? Tak ada lagi perang. Dan bukankah tujuan dari negara Indonesia ini mewujudkan kedamaian bagi seluruh rakyatnya? Jika begitu, harusnya tiap orang memang harus mencontoh bunga teratai itu. Meski lahir dari sesuatu yang kotor, dia tetap bersih. Tak tercemar keadaan sekitarnya.

                                                                                                            ————- *** ————–

Tags: