Pesan Moral Puasa

Oleh :
Ahmad Ubaidillah
Dosen Ekonomi Syariah pada Fakultas Agama Islam, Universitas Islam Lamongan (UNISLA), Jawa Timur

Rasa syukur perlu kita ucapkan kepada Tuhan yang Maha Pemurah karena di tengah wabah Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19 yang belum ada kepastikan kapan berakhirnya tersebut, kita masih diberikan kesempatan bertemu dengan bulan suci Ramadhan. Kita masih bisa menjalankan ibadah puasa.
Ibadah shaum (puasa), seperti halnya ibadah-ibadah lainnya dalam Islam, merupakan salah satu cara mendekatkan diri kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. Bukan hanya shaum saja yang menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, tetapi semua ibadah yang kita lakukan sebetulnya merupakan latihan spiritual (riyadhah) untuk mendidik nilai moral tertentu, nilai akhlak tertentu. Etika kita digembleng.
Bahkan begitu mulianya pesan moral ini, sampai-sampai Nabi Muhammad SAW menilai “harga” suatu ibadah itu dari sejauh mana kita menjalankan pesan moralnya. Apabila ibadah itu tidak meningkatkan akhlak kita, Rasulullah menganggap bahwa ibadah itu tidak bermakna. Dengan kata lain, kita tidak melaksanakan pesan moral ibadah itu. Kita gagal mencapai hakikat tujuan ibadah.
Ada sebuah cerita menarik dalam sebuah hadis. Kisahnya demikian: Pada bulan Ramadhan ada seorang wanita sedang mencaci-maki pembatunya. Dan Rasulullah mendengarnya. Kemudian beliau menyuruh seseorang untuk membawa makanan dan memanggil perempuan itu. Lalu Rasulullah SAW bersabda, “Makanlah makanan ini.” Perempuan itu menjawab, “Saya sedang berpuasa ya Rasulullah.” Rasulullah yang mulia itu bersabda lagi, “Bagaimana mungkin kamu berpuasa padahal kamu mencaci-maki pembantumu. Sesungguhnya puasa adalah sebagai penghalang bagi kamu untuk tidak berbuat hal-hal yang tercela. Betapa sedikitnya orang yang berpuasa dan betapa banyaknya orang yang kelapran”.
Ketika Rasulullah mengatakan “Betapa sedikitnya orang yang berpuasa dan betapa banyaknya orang yang kelapran”, Nabi sebenarnya ingin menunjukkan kepada kita bahwa orang-orang yang hanya menahan lapar dan dahaga saja, tetapi tidak sanggup mewujudkan pesan moral ibadah itu, tidak lebih sekadar orang-orang yang lapar dan haus saja. Apakah kita mau merasakan lapar dan haus sedangkan kita tidak mendapatkan apa-apa dari lapar dan haus tersebut? Tentu saja tidak.
Memang, hampir semua manusia Indonesia saat ini telah memeluk agama tertentu. Itu terlihat dari identitas yang dimiliki, misalnya Kartu Tanda Penduduk (KTP). Namun, manusia tidak selamanya menjalankan secara sungguh-sungguh ajaran agama yang dianut, sebagaimana yang tertulis di kitab sucinya masing-masing. Artinya, manusia seringkali tidak menjadi dirinya sendiri. Ia terkadang menjadi makhluk yang biasanya diidentikkan dengan simbol kejahatan (baca: setan). Godaan setan inilah yang siap menjerumuskan manusia ke lubang kehinaan yang paling mendalam.
Secara naluriah, manusia sebenarnya berkencenderungan berbuat baik. Ketidaktenangan manusia setelah melakukan dosa dan kesalahan adalah bukti bahwa manusia sebetulnya menolak segala bentuk kejahatan. Ia sadar bahwa kejahatan akan selalu menyengsarakan dirinya, sahabat, keluarga, masyarakat, atau bahkan negera. Ia paham bahwa setelah melakukan perbuatan-perbuatan buruk hatinya akan menyesal. Lagi-lagi godaan nafsu sesaat sangat tangkas menodai kebeningan hati dan kejernihan akal manusia.
Manusia Suci
Thomas Merton, penulis Perancis dalam bukunya, “Mysticism in The Nuclear Age”, mengatakan: “Anda tidak bisa menyelamatkan dunia hanya dengan sebuah sistem. Anda tidak bisa meraih kedamaian tanpa kedermawanan. Anda tidak bisa mendaptkan keteraturan sosial tanpa orang-orang suci, kaum mistis, dan para nabi. Tidak ada suatu sistem, teori, ideologi atau apa pun namanya, yang dapat menyelamatkan dunia dari krisis. Kita memerlukan orang-orang suci yang dengan sinar ruhaniahnya memancarkan kasih sayang dan menerangi kegelapan. Lebih rabun pandangan, lebih banyak sinar diperlukan. Dunia sekarang lebih memerlukan kehadiran seorang “manusia suci” daripada seribu “manusia nalar”.
Lalu siapa manusia suci menurut Islam itu? Manusia suci adalah manusia takwa sebagaimana yang ada dalam Al-quran surat Yunus ayat 62-64 “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” Kemudian siapa manusia takwa itu? Manusia takwa adalah wali-wali Allah yang semula mati kemudian Kami hidupkan dan Kami berikan cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia” sebagaimana yang tertulis dalam Al-Quran surat Al-An’aam ayat 122.
Jelas kiranya bahwa puasa sebagai ajaran agama harus mengantarkan kita menjadi manusia bermoral. Filsuf dan ilmuwan besar semacam Bertrand Russell atau Albert Einstein, yang merasa tidak perlu memasuki agama-agama formal (Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, atau Buddha), masih memiliki kepercayaan dan keharusan berbuat baik. Komitmen berbuat baik inilah yang mestinya diteladani oleh kita sebagai manusia beragama. Karena itu, agama yang pada hakikatnya mengajarkan umatnya untuk selalu bertindak mulia harus dijadikan senjata untuk melawan kejahatan-kejahatan.
Perlu kiranya kita tidak menelantarkan ajaran-ajaran agama kita masing-masing. Kita harus senantiasa menghayati nilai-nilai luhur religius untuk direalisasikan ke dalam kehidupan pribadi, masyarakat, dan bangsa. Membiarkan tuntunan baik agama hanya tertulis di atas kertas tanpa pelaksanaan bukanlah bentuk tanggung jawab kita sebagai manusia beragama.
Kita musti ingat, meskipun agama memiliki kekuatan yang berpengaruh pada jiwa manusia, namun kekuatan ini bergantung pada tingkat komitmen penerimaannya terhadap agama itu dan bukan sekadar formalitas. Formalitas dalam beragama tanpa diikuti dengan tindakan baik hanya mendatangkan bencana bagi manusia dan nilai-nilai kemanusiaan. Internalisasi ajaran agama ke dalam jiwa akan memunculkan pemikiran eskatologis yang pada akhirnya mendorong manusia berpikir dan berbuat baik. Dan puasa adalah salah satu cara menjadi manusia religius yang baik tersebut.
———— *** ————–

Rate this article!
Pesan Moral Puasa,5 / 5 ( 1votes )
Tags: