Pesantren Wahana Deradikalisasi

Faby RoriqiramaOleh :
Faby Toriqirrama
Mahasiswa aktif di Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan Ampel Surabaya; alumi Pondok Pesantren Darul Ulum, Jombang

Pemuda rentan dijadikan sasaran perekrutan kelompok teroris. Di usia ini, pemahaman tentang agama cenderung masih rendah. Ditambah lagi, kondisi jiwa remaja kebanyakan masih labil dan kurang kritis dalam menerima pengetahuan dari luar. Namun, mereka memiliki semangat yang menggebu-gebu terhadap perjuangan Islam. Sehingga, iming-iming menjadi seorang martir dan masuk surga menjadi alat pemasaran yang jitu bagi para kelompok jihad ekstrem.
UU antiterorisme jelas-jelas tidak memberikan wewenang lebih kepada aparat penegak hukum untuk memidanakan individu yang terdapat indikasi bergabung dengan kelompok teroris. Karena asas legalitas menyebutkan bahwa tidak dapat memidanakan seseorang sebelum melakukan kesalahan dan didasarkan pada aturan tertulis (nullum delictum nulla poena sine praevia lege). Daripada berusaha menggiring para pelaku teror ke dalam hotel prodeo, lebih baik melakukan tindakan pencegahan dengan memondokkan pemuda ke pesantren.
Tradisi Pesantren
Bagi pemuda, belajar di pesantren merupakan langkah preventif supaya tidak terbius pengaruh radikalisme. Meskipun dengan pendekatan yang berbeda, setiap pesantren memiliki kesamaan nilai untuk mencetak generasi bangsa yang taat beragama. Kesamaan nilai tersebut berbentuk suatu tradisi paten yang berupa penanaman komitmen kepada para santrinya untuk senantiasa mencari keberkahan hidup (ngalap barokah). Inilah tradisi utama dalam dunia pesantren.
Keberkahan hidup dapat diraih manakala para santri taat beribadah dan tekun dalam belajar. Pesantren tidak pernah menanamkan doktrin radikal, sehingga tak akan terbesit di benak santri untuk berjihad demi tegaknya agama Islam. Yang ditekankan para kiai adalah usaha untuk menjadi orang yang berilmu, memiliki kewibawaan (dignity), dan memperoleh pekerjaan mapan di kemudian hari. Jadi, upaya-upaya destruktif kelompok teror seperti bom bunuh diri dan penembakan aparat kepolisian malah akan menjauhkan diri dari keberkahan hidup.
Tradisi kedua adalah proses pembelajaran di pesantren. Jika di sekolah formal, murid-murid hanya diajarkan pemahaman agama dasar. Lain halnya dengan di pesantren yang tidak berhenti pada tingkatan elementer. Artinya, dalam mengkaji suatu teks Al-Qur’an maupun hadis dari berbagai kitab kuning, para kiai atau ustaz tidak sekadar memberikan makna tekstual. Karena kedalaman ilmu yang mereka miliki, para santri akan diberikan penafsiran yang lebih luas mengenai kontekstualisasi suatu nash. Dengan begitu, santri akan memiliki pemahaman yang komprehensif dan lebih bijak dalam memahami syariat.
Tradisi selanjutnya adalah kebiasaan hidup berdampingan. Dalam kesehariannya, santri harus berbagi tempat tidur, makanan, bahkan pakaian. Mungkin terlihat sepele, namun di sinilah letak nilai-nilai kemasyarakatan yang sesungguhnya. Jika konsep ini dipahami betul, maka segala bentuk praktik kelompok teroris yang bengis akan dianggap sebagai pencemaran nilai kerukunan dan merobohkan stabilitas bangsa yang telah dibangun.
Organisasi Tarekat
Organisasi tarekat adalah istilah populer dari praktik tasawuf yang berkembang di lingkungan pesantren. Kelompok ini menjalankan suatu amalan-amalan zikir tertentu dan menyampaikan suatu sumpah (baiat) yang formulasinya telah ditentukan oleh pimpinan organisasi tarekat tersebut (mursyid) (Dhofier, 1985: 135).
Jika pemuda yang belajar di pesantren bertujuan mencegah internalisasi paham radikal, maka bagi para mantan pengikut kelompok teror, praktik tarekat merupakan solusi jitu untuk merestorasi paham-paham radikal. Sebab di dalam dunia tarekat, seorang murid akan dibimbing menjadi seorang hamba saleh yang mendambakan kehidupan akhirat. Segala macam kepentingan dunia sudah tidak menjadi prioritas hidup lagi, bahkan cenderung ditinggalkan.
Terdapat berbagai macam aliran tarekat yang berkembang di Indonesia. Ada Tarekat Siddiqiyyah, Tarekat Wahidiyyah, dan Tarekat Qodiriyyah wa Naqsyabandiyyah. Apapun itu jenis tarekatnya tidak lah menjadi persoalan. Yang terpenting adalah berusaha mengubah pola pikir melalui doktrin amalan tarekat untuk menapaki jalan hidup yang lebih luhur, yakni peningkatan kehidupan spiritual seseorang.
Doktrin pertama dalam dunia tarekat adalah penanaman konsep “al-faqir” atau si miskin. Sebagai al-faqir, seseorang harus menyadari bahwa dirinya memang tidak memiliki apa-apa. Segala suatu yang dimiliki ini semata-mata milik Tuhan. Karena secara metafisik manusia tidak mempunyai esesnsi tersendiri, Tuhan lah esensi yang sebenarnya dan merupakan satu-satunya esensi
Melalui konsep ini manusia akan diajarkan bahwa tidak perlu bersusah payah menyebarkan agama Islam, apalagi melalui cara-cara anarkis. Hal tersebut justru memicu kebencian dari penganut agama lain, termasuk masyarakat muslim sendiri. Percuma saja beragama Islam tapi tidak benar-benar “Islam”. Penambahan jumlah umat Islam juga harus dibarengi dengan peningkatan kualitasnya. Maka dari itu, lebih baik meningkatkan kualitas dengan berusaha mencapai puncak tertinggi kehidupan spiritual, yakni makrifat kepada Tuhan.
Setelah penanaman konsep maka selanjutnya adalah penekanan sembayang dan zikir sebagai jalan utama dalam peningkatan kehidupan spiritual seseorang. Ini adalah doktrin tarekat yang bernuansa praktis. Biasanya suatu jenis tarekat memiliki amalannya sendiri dan berbeda dengan aliran tarekat yang lain. Pendekatan diri sebagai hamba Tuhan merupakan kebahagiaan hidup yang paling utama. Tidak ada yang lebih membahagiakan daripada perasaan dekat kepada Tuhan. Tarekat merupakan jalan menuju zat yang transenden.
Keinginan mendapatkan surga dan mati menjadi seorang syahid yang selama ini menjadi tujuan hidup lambat laun akan dihapuskan melalui doktrin tarekat. Surga dan syahid bahkan sudah tidak pedulikan lagi. Inilah ajaran yang menawarkan kedamaian hidup. Kaum radikalis berususah paya menegakkan syariat meskipun dengan cara kekerasan, sedangkan kelompok tarekat (tasawuf) lebih memilih kedamaian dan kenyamanan hidup. Maka dari itu, radikalisme ibarat kulit kacang dan tasawuf adalah isinya. Pertanyaannya, sampai kapan terus-menerus memakan kulit kacang.

                                                                                                                   ———- *** ———-

Rate this article!
Tags: