Peta “Standar China” Dalam Perspektif Politik Hukum Internasional

Oleh :
M Syaprin Zahidi, M.A.
Dosen Pada Prodi Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang

Beberapa waktu lalu kementerian luar negeri China mengeluarkan standar peta China yang tentunya semakin “memperkeruh” keadaan yang sudah tidak baik karena sebelumnya China mengklaim 9 garis putus-putus. Dalam peta baru ini China mengklaim beberapa wilayah daratan negara lain dan memperluas klaimnya terhadap laut China Selatan. China yang awalnya memperkenalkan konsep 9 garis putus-putus merubah konsep tersebut menjadi 10 garis putus-putus.

Sebelumnya dalam 9 garis putus-putus China mengklaim laut dari kepulauan paracel yang juga diklaim oleh Vietnam dan Taiwan. China juga mengklaim Spartly yang menjadi sengketa dengan Filipina, Brunei, Malaysia dan Vietnam. China juga tidak puas dengan mengklaim Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya.

Perilaku China tersebut tentu mendapatkan protes dari banyak negara seperti India, Malaysia dan tentunya juga Indonesia. Walaupun selama ini kita pahami bahwa protes-protes tersebut tidak terlalu berpengaruh pada kebijakan China yang tetap “kukuh” dengan pendiriannya.

Menarik kemudian untuk menelaah lebih dalam tentang perilaku China tersebut yang tentunya bertentangan dengan Hukum Internasional dalam hal ini adalah United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tentang ZEE tahun 1982. Secara jelas telah diatur dalam UNCLOS tentang ZEE yang menjadi wilayah suatu negara dalam konteks Indonesia termasuk laut Natuna Utara. Namun secara sepihak China membuat 10 garis putus-putus dan mengklaim bahwa pulau-pulau yang dilewati oleh garis putus-putus tersebut adalah wilayah China dan menganggapnya sebagai traditional fishing grounds padahal UNCLOS tidak mengenal istilah tersebut yang ada adalah traditional fishing rights sebagaimana diatur dalam Pasal 51 UNCLOS. Singkatnya China membuat satu konsep sendiri yang bertentangan dengan UNCLOS dan telah diratifikasi oleh 60 negara. Bahkan yang menarik, sebelum 10 garis putus-putus menjadi kebijakan China, Filipina sudah memenangkan gugatannya terhadap China terkait sengketa mereka karena 9 dashline di Mahkamah Arbitrase Internasional atau Permanent Court of Arbitration (PCA) yang merupakan kelembagaan hukum di bawah PBB namun hasil dari persidangan tersebut tidak diindahkan oleh China.

Pertanyaan yang kemudian timbul dalam benak kita adalah mengapa China berani melakukan suatu tindakan yang jelas-jelas melanggar Hukum Internasional?. Merujuk pada satu artikel dari Prof Hikmahanto Juwana yang berjudul Hukum Internasional sebagai instrumen politik: Beberapa Pengalaman Indonesia sebagai studi kasus. Kiranya perilaku China tersebut dapat dijelaskan. Dalam artikelnya Prof Hikmahanto Juwana menjelaskan tentang makna hukum internasonal sebagai sebuah aturan hanya selesai di kelas sewaktu kita belajar tentang aturan internasional yang ideal, nyatanya hal tersebut tidak ada dalam realitas karena hukum internasional dalam interaksi antar negara selalu dimaknai sebagai instrumen untuk mencapai kepentingan nasional masing-masing negara, yang dalam kajian Politik Hukum Internasional dapat dimaknai sebagai perspektif realis. Dalam perspektif realis, Hukum Internasional dapat digunakan sebagai pengubah konsep dan pembuat konsep baru, lalu dapat juga digunakan untuk sarana intervensi urusan domestik serta terakhir digunakan sebagai alat penekan.

Hal tersebut jika dikaitkan dengan perilaku China maka bisa dimaknai sebagai perilaku China yang secara sepihak membuat konsep baru lalu dikenal sebagai 10 dashline untuk mengakomodir kepentingan China dalam mengeksploitasi hasil laut yang dilalui oleh 10 garis putus-putus itu. Apakah hal tersebut bertentangan dengan UNCLOS? Jelas bertentangan. Namun, dalam realitasnya Politik intenasional dalam kacamata realis dimaknai sebagai a struggle for power atau war of all against all. Jadi yang dilakukan oleh China saat ini dapat dimaknai sebagai tidak tunduknya China kepada rezim UNCLOS secara sepihak dan nyatanya China semakin ekstrim lagi dengan membangun artificial Island untuk semakin mengokohkan posisinya di wilayah yang diklaim olehnya sebagai laut China Selatan itu.

Memang kemudian pada akhirnya banyak kritikan pada Hukum Internasional yang terkesan sebagai aturan tanpa power sehingga John Austin, Spinoza dan Jeremy Bethan menyebutnya sebagai Properly so called atau “moral saja”. Apalagi ditambah lagi dengan pendapat mereka yang menyebut bahwa Hukum Internasional tidak memiliki sifat Hukum dan sifatnya koordinatif tidak seperti hukum nasional yang subordinatif. Tampaknya pendapat mereka yang sudah lama sekali mengkritik Hukum Internasional mendapatkan momentumnya jika kita melihat Perilaku China saat ini. Lalu apa solusi terbaik untuk mengatasi masalah ini? negara-negara yang bergesekan dengan China dalam isu ini tentunya harus memperhitungkan segala aspek cost dan benefit yang ditimbulkan dari masalah ini. Solusi terbaik untuk saat ini jelas mengajak China berdialog dalam konteks soft diplomacy dan mendorong China untuk memiliki good faith dalam mematuhi Hukum Internasional walaupun memang negara-negara yang merasa terganggu dengan China pada akhirnya tentu memiliki rasionalitas kebijakan sendiri untuk menyelesaikan “konfliknya” dengan China.

———— *** ————–

Tags: