Petani Menjerit, Harga Obat Pertanian Naik Signifikan di Kota Batu

Naiknya harga obat pertanian diikuti anjloknya harga apel membuat para petani harus menanggung kerugian setiap kali datang masa panen.

Pemkot Batu, Bhirawa.
Para petani apel di Kota Batu saat ini ‘menjerit’ mengeluhkan kenaikan signifikan harga obat pertanian. Bagaimana tidak, kenaikan ini juga dibarengi dengan merosotnya harga apel di pasaran. Akibatnya, setiap kali panen para petani justru menanggung rugi hingga Rp 6 juta.

Diketahui, banyak desa di Kota Batu yang menjadi produsen apel dengan memiliki kebun apel yang luas dan subur. Salah satunya adalah Desa Tulungrejo. Seharusnya hal ini bisa memberikan selain kemakmuran bagi warganya. Namun hal ini menjadi terbalik ketika biaya operasional melambung akibat harga obat pertanian yang naik signifikan.

“Tak hanya itu saja, di waktu bersamaan harga jual apel di pasaran juga anjlok. Jika biasanya harga Apel Anna Rp 9000/ Kg, sekarang anjlok menjadi hanya Rp 2000/Kg,”ujar salah satu petani apel Desa Tulungrejo, Subakri, Kamis (25/11).

Ia menjelaskan bahwa kondisi tak menguntungkan petani ini telah terjadi sejak sebulan terakhir. Akibatnya, para petani apel kini tengah bersiap ‘terjun bebas’ untuk menanggung kerugian yang semakin memprihatinkan.

Untuk harga apel, kata Subakri, sejak awal November 2021 harga apel Anna di tingkat petani berkisar antara Rp 2.000 s/d Rp 2.500 per Kg. Bahkan pedagang pengirim apel ke luar kota hanya dihargai Rp 3.000,- per Kg.
Priakanaikan harga obat dan oleh Subakri anggota Koperasi Produsen Bolo Tani Makmur saat ditemui Senin (22/11/2021).

Dan di waktu bersamaan, petani juga dibenturkan dengan kenaikan harga obat pertanian. Harga obat fungisida yang semula hanya Rp 54.000,- per Kg naik menjadi Rp 74.000,- per Kg. Beberapa obat fungisida dengan merk lain, yang semula harganya Rp 58.000 naik menjadi Rp 68.000. “Sementara untuk obat insektisida dari harga Rp 80.000 per liter naik menjadi Rp 135.000 per liter,”jelas Subakri.

Kondisi ini memuat biaya produksi para petani meningkat tajam. Untuk setengah hektar lahan apel jika sebelumnya membutuhkan biaya operasional/ produksi Rp 24 juta, dengan adanya kenaikan harga obat-obatan pertanian ini maa biaya produksi naik menjadi Rp 36 juta

Kondisi ini sangat tidak berimbang saat tiba masa panen. Satu kali panen dalan kurun waktu 6 bulan, dari lahan setengah hektar bisa menghasilkan 15 ton apel. Namun dengan harga Rp.2000 per Kg petani hanya mendapatkan penghasilan Rp 30 juta. Dengan kata lain setiap kali tiba musim panen petani justru menanggung kerugian sampai Rp 6 juta.

Terpisah, Kabid Pertanian di Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Batu, Harijadi Agung STP MM membenarkan adanya kenaikan harga obat pertanian. Hal ini terjadi akibat reaksi terhadap tingginya intensitas hujan. Karena jumlah permintaan terhadap obat pertanian di pasaran juga naik signifikan.

“Curah hujan tinggi membuat petani banyak membutuhkan obat fungisida untuk melawan jamur. Demikian halnya dengan obat insektisida untuk melawan serangga atau hama,”jelas Harijadi.

Untuk itu, lanjutnya, para petani terus didorong untuk tidak terlalu banyak menggunakan obat kimia. Selain kurang baik bagi kelanjutan tanaman dan buah, juga akan mengurangi tingkat kesuburan tanah.

Sebagai alternatif, Dinas Pertanian telah mengajari para petani untuk membuat dan menggunakan obat pertanian ramah lingkungan. Dengan melalui, Pelatihan Pengembangan Agensia Hayati, petani diajak membuat obat pestisida hayati atau bio pestisida.

Adapun untuk anjloknya harga apel dipengaruhi dengan hadirnya buah substitusi. Yaitu, dengan datangnya musim mangga yang otomatis menjadi pesaing dalam pemasaran buah apel.

“Selain itu akibat dunia pariwisata yang terpuruk, maka pembuatan makanan olahan berbahan apel seperti jenang apel juga ikut mandeg. Otomatis permintaan terhadap buah apel juga ikut turun,”papar Harijadi.

Diharapkan kondisi ini akan kembali normal ketika dunia pariwisata telah bangkit kembali.(nas)

Tags: