Petinggi PT Dok dan Perkapalan Surabaya Diganjar Empat Tahun Delapan Bulan

Kedua terdakwa petinggi PT Dok menjalani sidang vonis dugaan korupsi tangki pendam, Jumat (12/10) di Pengadilan Tipikor. [abednego/bhirawa]

(Dugaan Korupsi Tangki Pendam) 

Surabaya, Bhirawa
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya Yang diketuai I Wayan Sosiawan kembali menggelar sidang lanjutan perkara dugaan korupsi yang menjerat dua pejabat PT Dok dan Perkapalan Surabaya (DPS) sebagai terdakwa, Jumat (12/10).
Dua pejabat PT DPS itu adalah M Firmansyah Arifin yang merupakan Dirut PT DPS dan M Yahya sebagai mantan Direktur Pemasaran dan Pengembangan Usaha. Sidang digelar dengan agenda pembacaan putusan. Kedua terdakwa divonis berbeda. M Firmansyah Arifin divonis 4 tahun 8 bulan sedangkan M Yahya divonis dengan 4 tahun 3 bulan penjara.
Tak hanya hukuman penjara, keduanya juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp 100 juta subsider 3 bulan kurungan. Para terdakwa juga wajib mengembalikan atau uang pengganti. Untuk terdakwa M Firmansyah harus membayar sebesar USD 1.150, jika tidak dapat mengganti uang pengganti maka aset akan disita oleh jaksa. Apa bila uang aset masih kurang dari uang pengganti, terdakwa wajib menjalani hukuman penjara selama 2 tahun kurungan.
Sedangkan terdakwa M Yahya, wajib membayar uang pengganti USD 951, jika tidak dapat dikembalikan akan disita aset miliknya seharga uang pengganti. Namun, jika nilai aset tersebut kurang dari uang pengganti itu terdakwa akan wajib menjalani tambahan hukuman 1 tahun kurungan.
“Para terdakwa dinyatakan terbukti bersalah secara sah dan menyakinkan melanggar pasal pasal 3 juncto pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi,” ujar Hakim membacakan amar putusannya, Jumat (12/10).
Vonis ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Pada agenda sidang sebelumnya, kedua terdakwa dituntut 7 tahun penjara untuk terdakwa M Firmansyah dan 5 tahun penjara bagi terdakwa M Yahya.
Menanggapi vonis ini, kedua belah pihak, baik terdakwa maupun jaksa masih belum mengambil langkah hukum banding. “Pikir-pikir pak hakim,” ujar terdakwa M Firmansyah dan M Yahya.
Dikonfirmasi usai sidang, penasehat hukum Firmansyah, Sigit Darmawan mengatakan akan membicarakan terlebih dahulu dengan terdakwa. Ia menilai putusan tersebut masih tinggi. “Kami masih menunggu dengan putusan tersebut, karena memang akan pikir pikir,” terangnya.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, dalam kasus pengadaan tangki pendam di Muara Sabak Jambi ini, negara mengalami kerugian puluhan milliar rupiah. “Kerugiannya 3,3 juta USD atau 33 milliar rupiah,” ujar Jaksa.
Empat pejabat dijerat dalam kasus ini. Dua terdakwa lain sudah menjalani sidang vonis. Mereka adalah Nana Suyarna Tahir selaku direktur keuangan nonaktif dan I Wayan Yoga Djunaedy, Direktur Produksi nonaktif. Keempatnya dijerat pasal berlapis.
“Mereka dijerat melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto, Pasal 3 Juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 atas perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Juncto Pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP,” papar Jaksa.
Dugaan korupsi ini bermula saat PT DOK dan Perkapalan Surabaya menandatangani kontrak dengan PT Berdikari Petro untuk melakukan pembangunan tangki pendam di Muara Sabak, Jambi dengan nilai proyek Rp 179.928.141.879. Dalam pelaksanaannya, PT DOK dan Perkapalan Surabaya melakukan subkontrak kepada AE Marine, Pte. Ltd di Singapura dan selanjutnya merekayasa progress fisik (bobot fiktif) pembangunan tangki pendam.
Kemudian PT DOK dan Perkapalan Surabaya melakukan transfer sebesar USD3.9 juta kepada AE Marine. Pte, Ltd. Namun, dalam pelaksanaannya, justru tidak ada pekerjaan di lapangan atau di lokasi. Dana tersebut justru digunakan untuk kekurangan pembayaran pembuatan dua kapal milik Pertamina kepada Zhang Hong, Pte. Ltd yang telah mempunyai anggaran tersendiri. Kontrak antara PT DPS dengan Zhang Hong. Pte, Ltd tidak sesuai dengan ketentuan pengadaan barang/jasa sehingga merugikan PT Dok dan Perkapalan Surabaya. Atas pengadaan proyek fiktif tersebut, penyidik Pidsus Kejagung RI menemukan kerugian yang mencapai USD 3,3 juta atau senilai Rp 33 miliar. [bed]

Tags: