Petuah Spiritual Gus Mus

Saleh Ritual Saleh SosialJudul Buku    : Saleh Ritual Saleh Sosial
Penulis      : K.H. A. Mustofa Bisri
Penerbit      : DIVA Press
Cetakan      : I, 2016
Tebal      : 204 halaman
ISBN              : 978-602-279-203-1
Peresensi     : Hendra Sugiantoro
Pegiat Pena Profetik Yogyakarta

Pernah suatu ketika, saat bulan Rajab, K.H. Mustofa Bisri berkunjung ke rumah “Begawan Budaya”, Prof. Umar Kayam, di Yogyakarta. Di ruang tengah, Gus Mus memandang dinding yang dipenuhi gambar-gambar reproduksi lukisan Rembrandt, pelukis kenamaan asal Belanda, dan gambar-gambar kaca karya seniman rakyat, Suryo Gambar.
Gambar-gambar kaca yang tampak dominan dan berada di tengah-tengah adalah gambar Masjid Demak. Di atasnya ada gambar pesawat dan sepeda motor sedang melayang-layang. Di kanan-kiri gambar masjid ada dua gambar Buraq. Di atas semua itu ada tulisan besar berbunyi: Sopo durung solat?   Itulah penggambaran apik peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW yang pekan lalu diperingati umat Islam.
Lewat buku ini, Gus Mus, pengasuh Pondok Pesantren Raudlatuth-Tholibin, Rembang, mengajak kita berkontemplasi dan mengambil hikmah. Bukankah Buraq merupakan kendaraan Nabi Muhammad SAW dalam perjalanan itu? Masjid itu bukankah simbol Masjidil Haram tempat start Isra’ dan Masjidil Aqsha tempat finish-nya? Tulisan besar itu bukankah oleh-oleh Nabi Muhammad SAW yang paling penting?
Masjid adalah tempat sujud. Perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha apabila dimaknai secara simbolik dengan perjalanan hidup kita, maka perjalanan itu hendaklah bermula dengan sujud dan berakhir dengan sujud pula. Sujud hanya kepada yang pantas disujudi. Sujud secara formal diharuskan oleh-Nya hanya lima kali sehari (baca: shalat). Sedangkan “sujud” tidak formal adalah dalam segenap dimensi kehidupan ini.
Gus Mus menceritakan penjelasan gurunya mengenai Buraq. Kaki-kakinya bisa mulur-mungkret. Kadang-kadang memanjang, kadang-kadang memendek. Hal itu berguna untuk menjaga kestabilan agar Nabi Muhammad SAW yang mengendarainya tetap jejeg melewati jalan naik-turun. Apabila jalan naik, tidak terjengkang ke belakang. Apabila jalan turun, tidak terjungkal ke depan. Benar atau tidaknya kaki Buraq seperti itu tidak terlalu penting, tetapi yang ingin disampaikan adalah makna simboliknya.
Dalam perjalanan “mi’raj” menuju Allah SWT, kita tidak selalu berjalan mulus. Ada dakian dan turunan, ada kendala dan hambatan menghadang. Dalam hidup ini, dapatkah kita terus jejeg, lurus, dan tegak, atau dalam bahasa agama disebut istiqamah? Artinya, sekali kita menyatakan tuhan kita hanyalah Allah SWT, maka di mana pun kita berada dan dalam kondisi apapun tetap menjaga pernyataan keyakinan itu.
Banyak dari kita yang kena sedikit goncangan tidak kuat dan kehilangan kiblat. Ada yang di awal-awal perjalanan sangat  taat, jalan naik sedikit sudah nggeblak atau turun sedikit sudah kejlungup. Semula sujud kepada yang seharusnya disujudi, belum setengah perjalanan sudah bersujud kepada selain-Nya-pangkat, harta, wanita, diri sendiri, dan sejenisnya (hlm. 76-79). Apabila kita dalam hidup ini tidak bisa jejeg dan istiqamah. maka akan sulit menepiskan rasa khawatir dan susah di hati (Lihat, QS. 46: 13 dan QS. 41: 30).
Mungkin kita sulit istiqamah karena gangguan setan yang siap mempengaruhi dan menjerumuskan. Setan bersumpah, “Aku akan menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus, lalu, aku akan datangi mereka dari depan dan belakang mereka, dari kanan dan kiri mereka. Dan, Engkau pun tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” Rupanya setan tahu dan menyadari kekuatan pengaruh api atas tanah liat.
Gus Mus mengajak kita berhati-hati. Manusia yang terpengaruh setan bisa dianalogikan dengan tembikar. Syahdan, setan merasa dirinya lebih baik daripada manusia karena materi asalnya dari api, sedangkan manusia dari tanah. Tembikar adalah barang yang dibuat dari tanah liat yang dibakar dan dilapis gilap. Ada juga yang menyebutnya porselen. Di Jawa, bentuk yang lebih sederhana disebut grabah.
Kendati direndam air berhari-hari, tembikar tidak bakal berubah bentuknya, apalagi kembali menjadi tanah liat. Tembikar yang sudah jadi tinggal dipergunakan sesuai fungsi untuk apa semula dibentuk sampai kemudian pecah tidak berguna dimakan usia atau sebab yang lain hingga berakhir kembali ke asalnya: tanah. Apabila api siap mendatangi dari depan, belakang, kanan, dan kiri, sadarkah kita akan bahayanya?
Secara prinsip, beragam esai dalam buku ini,  Gus Mus memahamkan bahwa mengabdi kepada Allah SWT adalah kehidupan kita secara utuh. Kita juga harus mengabdi kepada-Nya dalam pergaulan rumah tangga, interaksi sosial, dan segala gerak-gerik langkah hidup. Ungkapan dikotomis kesalehan ritual di satu sisi dan kesalehan sosial di sisi lain tidak ada dalam kamus Islam.
Dalam agama ini, ujar Gus Mus, kesalehan hanya satu, yakni kesalehan muttaqi (hamba yang bertakwa). Istilah lainnya, mukmin yang beramal saleh. Kesalehan yang mencakup ritual dan sosial sekaligus (hlm. 37).   Renungan-renungan spiritual Gus Mus dalam buku ini mencerahkan sisi batin dan spirit raga dalam totalitas ibadah. Selamat memetik hikmah.

                                                                                                     ———————— *** ————————

Rate this article!
Petuah Spiritual Gus Mus,5 / 5 ( 1votes )
Tags: