PG di Jatim Sepakat Hanya Terima Tebu Berkualitas

Foto: ilustrasi

Pemprov, Bhirawa
Untuk menerapkan standardisasi kualitas dan tingkat kematangan tebu yang akan digiling, maka seluruh pabrik gula di Jatim bersepakat pada tahun ini PG hanya menerima tebu berkualitas saja dalam upaya mencapai produksi gula sesuai dengan target.
Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jatim Ir Samsul Arifien MMA mengatakan penerapan standardisasi kulitas tebu atau pun rendemen akan mengacu pada Peraturan Daerah (Perda) Jatim No 17 Tahun 2012 tentang Rendemen dan Hablur Tanaman Tebu.
“Para direktur utama perusahaan gula di Jatim sepakat PG hanya akan menerima tebu petani yang kualitasnya bagus serta benar-benar matang dan siap untuk digiling. Kalau ada tebu yang belum matang tapi tetap dikirim ke pabrik, maka pabrik serentak untukĀ  menolak,” katanya, Selasa (9/5).
Samsul juga menjelaskan, pemerintah bersama dengan pabrik gula juga sepakat untuk memakai Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) sebagai tim independen yang akan mengawasi semua pabrik gula agar tidak ada pabrik yang menerima tebu petani yang belum masak, dan kualitas rendah (kotor), termasuk menghitung rendemen yang seusai standar. “Dulu terjadi perebutan bahan baku tebu antar pabrik karena banyak petani yang cepat-cepat menebang tanpa memperhatikan kualitas, asal tebang lalu dikirim ke pabrik dalam kondisi kotor, akibatnya rendemen rendah, produksi kecil, dan petani tidak dapat untung,” jelasnya.
Dikatakannya, tahun lalu sebenarnya kebanyakan para petani tebu sudah bisa menghasilkan tebu yang berkualitas. Adanya kesepakatan PG menerima tebu yang berkualitas, maka seluruh petani tebu juga harus bisa menghasilkan tebu berkualitas.
Untuk tebu yang kurang berkualitas, lanjutnya, masih bisa ditampung di pabrik gula tradisional yang membuat gula merah. “Jadi tidak perlu khawatir kalau tebu tidak laku, sebab bisa dialihkan tebu yang kurang berkualitas untuk bahan baku gula di pabrik gula tradisional, bukan pabrik gula besar seperti milik PTPN,” ujarnya.
Tahun lalu, diakui Samsul, rendemen gula mengalami penurunan. Hal ini diakibatkan karena faktor cuaca tak menentu. Tahun ini, musim giling akan dilakukan jika benar-benar tebu sudah mengalami kemasakan yang tepat dan rendemen bisa tinggi. “Di beberapa wilayah sudah berkurang musim penghujannya. Rata-rata nanti musim giling dilakukan pada Juli dan Agustus, meskipun ada yang sekitar Mei ini,” ujarnya.
Seperti diberitakan sebelumnya Menteri Badan Usaha Milik Negara Republik Indonesia Rini M Soemarno menyatakan bahwa pabrik-pabrik gula di Jatim yang tidak efisien akan ditutup, setelah pemerintah membangun pabrik gula baru yang kapasitas gilingnya lebih besar.
“Jadi begini, kalau pabrik-pabrik gula yang tidak efisien dan terlalu kecil serta tidak bisa ditingkatkan kapasitasnya atau tidak bisa dimodernisasi tentu akan ditutup, kemudian kami akan membangun pabrik gula baru yang besar,” katanya seusai acara peletakan batu pertama program Modernisasi dan Peningkatan Kapasitas Giling 6.000 ton PG Asembagus Kabupaten Situbondo, Senin (8/5).
Menurutnya, penutupan pabrik gula yang tidak efisien dan tidak dapat dimodernisasi itu sampai saat ini masih dalam proses dan para petani tebu, katanya, diminta untuk tidak perlu khawatir dengan rencana pemerintah untuk menutup pabrik gula tidak efisien karena tebu petani akan tetap digiling.
Sementara itu terkait harga, pemerintah kata Samsul telah menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) gula Rp12.500/kg di pasar. Sedangkan Harga Pokok Produksi (HPP) petani Rp 8.700/kg dan harga lelang tebu petani ke pabrik sekitar Rp 10.900-Rp 11.000/kg. Namun, harga itu membuat margin petani maupun pabrik sangat tipis. Bila HPP petani dan HPP di pabrik bisa ditekan, otomatis margin yang diperoleh keduanya bisa meningkat.
Sekadar diketahui di Jatim tercatat ada 6 perusahaan gula BUMN dan swasta yakni PTPN X, PTPN XI, PTPN XII, PT Kebon Agung, PT PG Candi Baru, dan PT Kebun Tebu Mas (KTM) dengan total pabrik yang tersebar di Jatim ada 33 pabrik. [rac]

Tags: