PG Ditutup, Jatim Bakal Kehilangan Rp 1,4 Triliun per Tahun

Pabrik gula Panji Situbondo

Pabrik gula Panji Situbondo

Pemprov Jatim, Bhirawa
Penolakan terhadap rencana penutupan sembilan PG (Pabrik Gula) di Jatim adalah harga mati. Jika kebijakan itu tetap dilaksanakan maka Jatim akan kehilangan Rp 1,4 triliun  per tahun dan lebih dari 2,5 juta orang bakal menganggur.
“Jika pemerintah pusat tetap memaksa, Pemprov Jatim siap mengambil alih pengelolaannya, Pak gubernur sudah memberi sinyal untuk ambil alih pengelolaan, ” kata Kepala Dinas Perkebunan Jatim Samsul Arifin, Kamis (13/10).
Diterangkan Samsul sikap Pemprov Jatim ini tidak hanya dilandasi alasan ekonomi, tapi juga karena alasan kemanusiaan. Lebih dari 2,5 juta pekerja yang terkait dengan industri PG akan menganggur jika sembilan PG ini jadi ditutup.
“Rencana ini seharusnya dibicarakan dulu dengan Gubernur dan juga para petani tebu di Jatim. Butuh kajian mendalam untuk mencari solusi selain opsi penutupan,” kata dia.
Seperti diberitakan Harian Bhirawa, kebijakan pemerintah pusat melalui Kementerian BUMN untuk menutup 10 PG di Jatim dan Jateng meresahkan para petani tebu.  Setelah Komisi B DPRD Jatim yang menentang rencana penutupan sejumlah PG di Jatim, kini giliran  Gubernur Jatim Dr H Soekarwo melakukan hal serupa. Pakde Karwo, panggilan karibnya, terang-terangan menolak keras rencana pemerintah pusat yang akan menutup sejumlah PG di bawah pengelolaan PTPN yang ada di Jatim.
Alasannya, kalau memang untuk meningkatkan produksi,  lebih baik dilakukan revitalisasi.  Apalagi selama ini Pemprov Jatim tidak pernah diajak komunikasi terkait rencana penutupan tersebut.
Sepuluh PG itu adalah PG Rejosari,  PG Kanigoro , PG Purwodadi, ketiganya berada di Madiun. Kemudian PG Pandji, PG Olean, PG Wringin Anom, ketiganya di Situbondo. Dua  PG di Sidoarjo yakni PG Toelangan dan  PG Watoetulis.  PG Meritjan di Kediri dan PG Gondang Baru di Klaten (Jawa Tengah).
Samsul Arifin mengungkapkan, dari sembilan PG total kapasitas gilingnya mencapai 17.400 ton per tahun. Kapasitas produksi total 100.000 ton per tahun dari kapasitas giling 31 PG yang ada di Jatim. Jadi artinya kalau sembilan PG itu ditutup, maka akan kehilangan 17% dari kapasitas produksi.
“Nah, 17% itu setara dengan kehilangan gula 147.300 ton. Ini nilainya mencapai Rp 1,4 triliun per tahun jika sembilan PG itu jadi ditutup,” tegas Samsul lagi.
Kalau PG ditutup maka otomatis petani tidak tanam tebu lagi. “Memang maksud penutupan itu, bahan baku tebunya akan digunakan pabrik lain. Seperti Situbondo ada empat pabrik. Yang eksis Asem Bagus, tiga lainnya kecil-kecil. Yang kecil ini akan dialihkan ke Asem Bagus. Desainnya memang seperti itu,” tuturnya.
Tetapi, kenyataannya jika pabrik sudah tutup maka petani tidak akan tanam lagi. Ini sudah ada contohnya, PG Demas Besuki Situbondo. Dulu ditutup, petaninya juga ikut tidak tanam tebu. Sehingga tidak bisa dialihkan ke pabrik yang lain. Contoh lagi di Krian. Dulu ada PG Krian. Petani sekitar melakukan tanam tebu. Tapi setelah ditutup di Krian sudah tidak ada lagi yang tanam tebu.
“Jadi bukan masalah geografis lokasi kebun tebu dengan pabrik gula, atau pun persoalan pengangkutan. Inilah yang dikatakan Pak Gubernur masalah kultur. Petani tebu dan pabrik gula ini tidak bisa dipisah,” ucap dia.
Selain masalah faktor ekonomi tersebut, penutupan PG juga akan memunculkan masalah pengangguran. Masing-masing PG memiliki karyawan tetap rata-rata 700 orang dan yang musiman 400 orang, sehingga totalnya 1.100 orang. Sehingga jika sembilan PG ditutup, maka 9.900 orang akan menganggur.
“Belum lagi di tingkat petani di sembilan PG yang luas area totalnya 27.500 hektare itu, kalau menggunakan tenaga kerja jumlahnya mencapai 8.354.400 HOK (Hari Orang Kerja). Jika dikonversi orang yang bekerja,dengan rata-rata 1 hektare ada lima pekerja maka ada 1.670.000 SDM yang akan menganggur,” ungkapnya.
Dilanjutkan Samsul jika mereka ini diupah setiap orang Rp 30.000, besarannya menjadi Rp 292 miliar. Ini a dalah jumlah uang yang harus beredar di sekitar PG. “Kan kasihan juga daerah itu karena sudah tidak ada lagi perputaran uang. Jumlah kerugian ekonomi ini baru yang di petani, belum lagi di pabrik. Jika ditotal yang ada di pabrik dan petani maka total perputaran uang yang hilang Rp 312 miliar,” rinci Samsul Arifin.
Jumlah ini, kata dia, masih belum dihitung lagi ada sopir truk, penjual makanan sekitar pabrik, buruh angkut.  Untuk itu meski pusat memaksa, gubernur tetap tidak setuju dengan penutupan PG ini.  Diakuinya memang sembilan PG itu merugi. Tapi pabrik lain ada yang untung.  Dihitung secara keseluruhan Jatim tetap untung.
“Kami membuat surat untuk dikirim ke Jakarta menyatakan tidak setuju dengan rencana penutupan, dan minta dibicarakan lagi dengan Pemprov Jatim dan masyarakat tebu. Solusi bukan penutupan agar tidak ada yang dirugikan. Jika pemerintah menyerahkan, Jatim siap mengelola PG  ini,” pungkasnya. [cty]

Tags: