‘PGRI’ Tuntut Konsistensi Rotasi Guru Surabaya

Para guru yang pernah dirotasi Dindik Surabaya membentuk Persatuan Guru Rotasi Ikhsan (PGRI). Mereka mendatangi Dindik Surabaya menuntut konsistensi program rotasi, Selasa (2/7).

Para guru yang pernah dirotasi Dindik Surabaya membentuk Persatuan Guru Rotasi Ikhsan (PGRI). Mereka mendatangi Dindik Surabaya menuntut konsistensi program rotasi, Selasa (2/7).

Surabaya, Bhirawa
Para guru yang pernah menjadi ‘korban’ rotasi Dinas Pendidikan (Dindik) Surabaya diam-diam menghimpun kekuatan. Mereka lalu membentuk semacam organisasi yang dinamakan Persatuan Guru Rotasi Ikhsan (PGRI).
Beberapa anggota PGRI ini mendatangi kantor Dindik Surabaya menuntut agar Dindik kembali melaksanakan rotasi secara adil dan tanpa diskriminasi, Selasa (2/7).  “Kami meminta kepada Kepala Dinas untuk menepati janji rotasi. Dulu janjinya rotasi akan dilakukan enam bulan, tapi kenyataannya rotasi cuma dilakukan dua kali, pada 2012 dan 2013,” kata perwakilan guru Mochammad Najikh saat mendatangi Dindik Surabaya.
Menurut guru PPKn SMAN 16 Surabaya itu, tidak berlanjutnya lagi rotasi pada 2014 dan 2015 ini dianggap tidak adil. Ini juga memperlihatkan ketidakkonsistenan Dindik dalam menentukan kebijakan  pendidikan di Surabaya. Jikapun ada rotasi yang dilakukan oleh Dindik pada 2014 dan 2015 itu pun atas permintaan guru sendiri.
Padahal, awalnya Dindik membuat kebijakan rotasi guru bertujuan untuk penyegaran terhadap proses pembelajaran. Namun, jika hanya dilakukan dua kali saja, maka kesan rotasi justru seperti sanksi bagi guru yang tidak baik kinerjanya. “Imejnya guru yang dirotasi pada tahap satu dan dua itu guru-guru yang bermasalah,”jelasnya.
Efek lainnya, di sekolah baru, guru guru yang dirotasi itu dianggap guru kelas dua atau tidak profesional. Ironisnya lagi, di tempat baru guru yang dirotasi ini kerap mendapat perlakuan diskriminatif dari guru senior. Baik diskriminasi sikap maupun waktu jam pelajaran. “Guru-guru senior jadi raja kecil dan sok jadi penguasa. Kita yang baru dilihat sebelah mata,” kata guru yang telah dirotasi dari SMAN 19 Surabaya itu.
Perlakuan diskriminatif itu dialami Najikh sendiri. Di SMA 19, Najikh mengajar PPKN yang merupakan mapel linearnya dengan waktu 24 jam. Akan tetapi, di SMAN 16 Surabaya dia harus mengajar dua mapel yakni PPKN dan Sejarah. Padahal, sejarah bukanlah disiplin ilmu atau kemampuan Najikh.
Hal yang sama juga dialami oleh guru olahraga SMKN 1 Surabaya Catur Budiono. Sejak dirotasi ke SMKN 1 Surabaya pada 2013 lalu, jam mengajarnya berkurang. Dia juga mengaku mengalami tekanan psikis karena guru-guru lama seringkali melakukan diskriminasi terhadapnya. Misalnya, dengan membuat kegiatan tanpa melibatkan guru rotasi. “Dindik tidak pernah memperhitungkan kebijakan rotasi yang imbasnya kepada psikis guru. Lihat hasil UN dan US di Surabaya yang anjlok. Mungkin ini adalah salah satu efek kebijakan rotasi,” kata Catur.
Karena menurut Catur, selain asal pindah, rotasi yang dilakukan Dindik itu tidak pernah mengetahui waktu. Seringkali rotasi justru dilakukan ketika anak-anak akan menjelang ujian. Sehingga, proses pembelajaran anak didik terganggu.
Sementara itu, Sekretaris Dindik Surabaya Aston Tambunan mengaku guru-guru itu sebatas menyampaikan aspirasi seputar rotasi. “Guru ingin rotasi juga dilakukan pada guru yang sudah 10 tahun. Soal rotasi bisa kami lakukan, tapi kami lihat pemetaan dan kebutuhan dulu,” kata Aston usai rapat tertutup dengan perwakilan guru.
Humas Dindik Eko Prasetyoningsih menambahkan, mandegnya rotasi guru juga terkait UU Pilkada. “Jelang Pilkada, kepala daerah dilarang melakukan rotasi. Ini untuk menghindari suka dan tidak suka, menghindari dukung mendukung. Kepala dinas tidak berani rotasi selagi tidak ada perintah Wali Kota Surabaya,” kata Eko.
Perempuan berjilbab ini mengaku rotasi selama ini sudah dilakukan yang sifatnya penataan intern dan tidak dilakukan secara besar-besaran. Guru yang sudah puluhan tahun di sekolah yang sama diutamakan dalam rotasi ini. [tam]

Tags: