Phinisi “Menuju” UNESCO

foto ilustrasi

Kapal phinisi, sedang berlayar menuju markas besar UNESCO (United Nation Educational, Scientific and Cultural Organization) di Paris, Perancis. Pada bulan (September) ini, diharapkan kapal layar phinisi, akan memperoleh sertifikat ICH (intangible cultural heritage). Diakui sebagai heritage dunia. Sejak tahun 1991, sudah banyak benda budaya terdaftar sebagai warisan budaya dunia. Konsekuensinya, pemerintah wajib melestarikan dan melindungi, agar mudah di-akses seluruh dunia.
Kapal phinisi, asal Sulawesi Selatan, akan sejajar dengan warisan budaya leluhur lainnya yang telah terdaftar lebih awal. Saat ini terdapat delapan ICH Indonesia yang telah diakui oleh UNESCO. Berdasar data UNESCO, kedelapan itu adalah Keris, dan Wayang, terdaftar tahun 2008. Disusul Batik dan Pelatihan Batik (tahun 2009), lalu Angklung Sunda (2010), Tari Saman asal Aceh (2011), Noken asal Papua (2012) dan tiga genre Tari Tradisional Bali (2015).
Kekayaan budaya adiluhung bangsa perlu didaftarkan, agar dapat diketahui asal usulnya. Badan kerjasama internasional telah memiliki organisasi kekayaan intelektual, WIPO (World Intelectual Property Organization). Badan inilah (WIPO) yang merekomendasikan kepada WHO untuk perlindungan pengetahuan tradisional, ekspresi budaya tradisional, dan sumber genetika. Tujuannya, untuk memperoleh kerjasama se-dunia, berkait dengan budaya. Sekaligus mengurangi “perang” klaim budaya.
Ingat misalnya (tahun 2012 lalu), Malaysia meng-klaim senitari Tor-tor kedalam Seksyen 67 Akta Warisan Kebangsaan 2005. Padahal tari “gendang 9 ” itu budaya asli suku Batak Mandailing. Jika dibiarkan, Malaysia bisa melanjutkan pendaftaran ke UNESCO (institusi kebudayaan internasional yang dibawahkan PBB). Lalu Tor-tor akan tercerabut sebagai identitas masyarakat Melayu-Batak Mandailing, berubah menjadi icon pariwisata “milik” (identitas) Malaysia Barat.
Sebelumnya, Malaysia juga coba meng-klaim Reog sebagai warisan budaya Melayu. Padahal tarian para warok itu, nyata-nyata milik masyarakat Ponorogo. Konon permintaan klaim reog, berasal dari warga Malaysia. Namun setelah ditelusuri, mereka berasal dari (keturunan) warga Ponorogo yang telah menjadi warga Malaysia selama beberapa puluh tahun. Beruntung Malaysia membatalkan. Namun ternyata modus serupa kembali berulang, melalui pertemuan masyarakat Mandailing di Malaysia, terhadap tari Tor-tor.
Sebagaimana reog Ponorogo, Tor-tor bukanlah sekedar tarian. Melainkan juga ber-unsur ritual yang tidak bisa ditarikan semua orang karena nilai-nilai sakralnya. Bahkan diperkirakan juga dipakai sebagai alat perjuangan melawan penjajahan Belanda. Sepasang gendang ditambahkan secara khusus masing-masing merupakan bunyi sinyal datang dan perginya tentara Belanda.
Klaim budaya, tidak seharusnya menjadi perseteruan negeri bersahabat. Seperti dicontohkan oleh Rabindranath Tagore, budayawan sekaligus filsuf kesohor India. Dalam “Letters from Java” malah terharu dan bangga melihat budaya India (wayang) dilestarikan di Jawa, melalui wayang kulit. Karena di India, tidak ada pertunjukan wayang kulit. Artinya, wayang kulit (Jawa) yang memperoleh pengakuan UNESCO, sejatinya milik orang Jawa.
Sehingga wayang kulit, tidak memperoleh perdebatan (perang klaim) budaya. Wayang kulit, benar, merupakan produk budaya Jawa, diciptakan oleh tokoh wali sanga (muslim). Hanya narasi (dan cerita) dalam pertunjukan wayang kulit, berasal dari India, berbasis kepercayaan Budha dan Hindu. Catatan UNESCO terhadap wayang kulit juga menuliskan altar India dan Persia (muslim). Tetapi wayang kulit-nya, asli Jawa.
Begitu pula dengan kapal phinisi, yang telah dibuat sejak pertengahan abad ke-15, oleh suku Bugis dan Makasar. Teknologi dan bentuk kapal secara umum, tak beda dengan kapal Eropa. Tetapi memiliki bentuk khas pada ujung bangun perahu, serta jumlah layar-nya. Dua tiang layar utama, merupakan lambang dua kalimat syahadat (Islam). Tiada kapal yang serupa dengan phinisi, yang telah menjadi ikon wisata Indonesia.

                                                                                                ————– 000 —————-

Rate this article!
Tags: