Piala Dunia, Mahathir, dan Politik Kita

Oleh :
Nurudin
Penulis Dosen Ilmu Komunikasi, Fisip, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

Sepak bola telah mengajarkan secara bijak bagaimana memahami dinamika politik di negara kita. Dalam sepak bola, ada banyak kejadian, kepentingan, prediksi, dan harapan di luar batas kewajaran pemikiran kita. Artinya, yang kita pikirkan belum tentu sesuai dengan hasil pertandinganya. Piala Dunia (PD) 2018 yang baru berjalan saja bisa dijadikan contoh. Mari kita melakukan kilas balik PD, bahwa sepak bola penuh dengan kejutan.
Pada tahun 1998 Perancis juara Piala Dunia, tepi gagal di penyisihan grup pada tahun 2002, Italia juga (2006) tapi gagal penyisihan grup (2010), lalu Spanyol juara (2010), akhirnya gagal di penyisihan grup, Jerman juara (2014) dan pada tahun 2018 PD masih berlangsung.
Hal-hal unik dan kejutan di luar presiksi awal juga terjadi pada pertandingan sepak bola Liga Champions. Dalam musim 2012/2013 Barcelona lolos ke babak selanjutnya setelah menang 4-0 (leg 1) dari AC Milan, padahal pada pertandingan pertama Barcelona kalah 0-2 (leg 2). Pada musim 2011/2012 Napoli-Chelsea (3-1) lalu Chelsea-Napoli (4-1), 2014/2015 Porto-Bayern Munich (3-1) lalu Bayern Munich-Napoli (6-1), 2003/2004 AC Milan-Deportivo (4-1) lalu Deportivo-AC Milan (4-0), 1999-2000 Chelsea-Barcelona (3-1) lalu Barcelona-Chelsea (5-1) dan 2016/2017 PSG-Barcelona (4-0) lalu Barcelona-PSG (6-1). Jadi selalu ada keajaiban dalam lapangan sepak bola.
Dahulu banyak masyarakat juga percaya untuk menjadi juara dalam pertandingan badminton harus punya smash yang tajam sebagaimana Liem Swee King. Toh akhirnya ia kalah dengan keuletan dan pantang menyerah dari Icuk Sugiarto.
Lihat saat ada Final di Kejuaraan Bulutangkis dunia di Denmark (1983) antara King melawan Icuk. King diramalkan mudah mengalahan Icuk karena punya smash tajam dan akurat. Tetapi apa yang terjadi? King kalah dari Icuk dengan waktu sekitar 1,5 jam. Icuk memang pada set pet pertama (15-8) dengan waktu 21 menit. Set kedua berlangsung 34 menit untuk kemenangan King (12-15), dan set ketiga Icuk menang (17-16) dalam tempo 34 menit. Icuk langsung dinobatkan menjadi juara dunia dengan mengalahkan kampiun sebelumnya yang dielu-elukan karena mempunyai smash tajam dan akurat. Kemenangan Icuk atas King membuktikan bahwa dalam kejuaraan badminton tidak semata-mata ditentukan oleh smash yang tajam.
Ini bukan soal suka atau tidak suka atau berkaitan dengan prediksi sebelum pertandingan berlangsung. Kita hanya berusaha mengambil contoh saja dunia olah raga dengan sepak bola dan badminton sebagai contoh untuk dijadikan rujukan dalam peristiwa politik.
Kasus Mahathir
Kemenangan Mahathir Muhammad dalam Pemilu di Malaysia beberapa waktu lalu disambut gegap gempita. Bukan soal Mahathir, tetapi inilah kekalahan UMNO setelah 60 tahun berkuasa, bahkan partai yang membesarkan Mahathir sendiri. Tak terkecuali inilah kemenangan oposisi Malaysia yang luar biasa.
Dampak Pemilu di Malaysia memunculkan pertanyaan, “Apakah oposisi di Indonesia bisa merebut kekuasaan dengan mudah sebagaimana kasus di Malaysia?” Artikel ini akan mengeksplorasi beberapa kenyataan politik di Indonesia dan peluang oposisi dalam kehidupan demokrasi. Politik tidak jauh berbeda dengan dunia olah raga yang tidak bisa dihitung secara matematis.
Pertanyaan selanjutnya, apakah kemenangan Mahathir di Malaysia bisa menjadi cerminan kemenangan oposisi di Indonesia? Tak ada yang mustahil dalam politik begitu juga tak gampang kita menyimpulkan dengan satu fakta yang terjadi di negeri jiran. Ada banyak faktor yang memengaruhinya, sama sebagaimana dalam olah raga. Selalu akan ada keunikan dan keajaiban yang terjadi. Berbagai survei yang dilakukan bisa menjadi tolok ukur tetapi bukan faktor penentu. Apalagi lembaga survei juga semakin turun kredibilitasnya karena berkaitan erat dengan kecenderungan dukungan pada kandidat tertentu.
Apakah kekuatan masyarakat tidak bisa dijadikan jaminan untuk menguasai kekuasaan politik? Belum ada jaminan, sebab Pemilu bisa dicurangi. Yang mudah menyurangi biasanya adalah pemerintah yang sedang berkuasa karena punya alat negara yang sah. Ini tidak bermaksud mencurigai sepihak bahwa pemerintah selalu curang, tetapi pemerintah yang hanya berorientasi pada kemenangan akan melakukan segala cara untuk menang, termasuk curang.
Mengapa Soeharto gampang digulingkan? Ada banyak faktor, tidak saja masyarakat yang semakin “muak” dengan berbagai ketimpangan, juga kesejahteraan yang kian turun tetapi terpecahnya elit politik di tubuh pemerintahan. Tanpa itu kekuatan rakyat tentu tidak akan banyak berguna meskipun penting.
Ketidakadilan belum tegak dan kesejahtaraan yang tak sesuai harapan masyarakat sangat membuka peluang protes masyarakat. Termasuk merebaknya terorisme juga salah satunya disebabkan dua hal di atas. Jadi masyarakat mencari peluang-peluang untuk melampiaskan atas ketertekanannya. Artinya dua faktor itu bisa menjadi pemicu penting.
Memang saat ini berbagai protes pada pemerintah terus menggejala. Namun demikian itulah dinamima politik Indonesia yang dihasilkan hanya dari dua poros utama sejak Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Kekuasaan pemerintah bisa jadi akan berganti sebagaimana di Malaysia. Namun untuk kasus Indonesia hal demikian tidak mudah. Berbagai perubahan politik di Indonesia sering berkait erat dengan peran elite politik, seandainya oposisi bermaksud merebutnya. Jika tidak, semua akan berjalan alamiah dengan mengandalkan dukungan masyarakat luas.
Di Malaysia, Mahathir juga mudah menggulingkan kekuasaan Najib Razak karena PM itu telah terbukti melakukan kecurangan dan merugikan negara. Kondisi ini sama saat kekuasaan Soeharto mulai surut dan tuduhan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) semakin menyeruak.
Pelajaran
Jadi, fenomena Mahathir di Malaysia bisa menjadi bahan perenungan bahwa ada banyak keajaiban dalam politik. Juga, politik sudah menjadi kepentingan, bukan sekedar untuk memperjuangkan aspirasi rakyat. Jika begini kita hanya bisa berharap diberikan pemimpin yang adil dan memperhatikan rakyat, siapapun pemimpinnya. Perkara ada gejolak politik itu memang dinamika demokrasi dan bagian dari usaha mencapai kedewasaan politik.
Mari kita menikmati dinamika politik di Indonesia dengan gembira dengan segala carut marut kepentingan yang melatarbelakanginya. Selamanya, politik adalah meraih kekuasaan, bagi yang mau merebut, apalagi yang sedang berkuasa. Ada adagium umum yang terkenal, dalam politik tidak ada yang abadi, yang ada adalah kepentingan.
Politik adalah mempraktekkan ungkapan, “esuk tempe sore dele” (pagi tempe, sore kedelai). Jadi, masyarakat tidak perlu gusar dengan informasi-informasi yang beredar di media sosial. Itu semua sekedar informasi “lambe turah” karena sering kenyataannya jauh berbeda dengan faktanya.
Bisa jadi seseorang politisi mengeluarkan sebuah pernyataan, sangat mungkin ia sedang “bermain” politik. Masalahnya, masyarakat kita gampang hanyut dengan pernyataan yang sebenarnya hanya sebuah permainan, layaknya sepak bola. Maka, menikmati politik dengan riang gembira, sebagaimana menonton pertandingan sepakbola Piala Dunia 2018.

———– *** ———–

Tags: