Pidato Anies yang Bikin Meringis

Syaprin Zahidi

Oleh :
M. Syaprin Zahidi, M.A.
Dosen Pada Prodi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang

Pelantikan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno (16/10/2017) menyisakan sekelumit cerita yang menarik untuk dibahas. Cerita tersebut mengenai isi dari pidato politik Anies dihari pelantikannya. Dalam Pidatonya, Gubernur DKI Jakarta tersebut menyebut kata pribumi dan non-pribumi yang memantik reaksi keras dari masyarakat DKI Jakarta secara khusus dan secara umum masyarakat Indonesia. Apalagi setelah kata-kata tersebut di “goreng” oleh media sosial sehingga menjadi “santapan” yang menarik untuk dikomentari. Efeknya adalah dihari pertama Anies memimpin Jakarta sudah ada yang melaporkannya ke Polisi.
Salah satu yang melaporkannya adalah Banteng Muda Indonesia. Organisasi Ini melaporkan Anies ke Bareskrim Polri pada Selasa (17/10/2017). Pahala Sirait (Kepala Bidang Pidana Hukum dan HAM DPD DKI Banteng Muda Indonesia) mengatakan bahwa “kami melaporkan Saudara Anies Baswedan terkait isi dari sebagian pidato politiknya mengenai kata pribumi dan non-pribumi”. Lebih lanjut Pahala menjelaskan organisasinya melaporkan Anies karena yang bersangkutan dituduh telah melanggar ketentuan dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 26 Tahun 1998 dimana inpres itu mengatur mengenai pelarangan penggunaan istilah pribumi dan non-pribumi dalam semua perumusan dan pelaksanaan kebijakan negara. Pahala menambahkan bahwa, pihaknya juga melaporkan Anies karena dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 mengenai penghapusan diskriminasi ras dan etnis.
Menurut penulis, pelaporan yang ditujukan oleh pihak-pihak yang tidak senang dengan perkataan Anies merupakan hal yang wajar. walaupun, sebenarnya jika disimak secara holistik pidato Anies tidak ditujukan dalam konteks mendikotomikan kata-kata Pribumi maupun Non-Pribumi sebagaimana disebutkan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla bahwa konteks pidato Anies adalah dalam masa kolonialisme sehingga menurutnya tidak ada yang salah dengan pidato Anies. Jusuf Kallapun mendukung pidato Anies yang membahas mengenai kebangkitan warga pribumi dari penindasan penjajah.
Memang harus diakui diera teknologi informasi yang berkembang dewasa ini, berita-berita yang sebenarnya biasa saja bisa jadi menjadi luar biasa jika dikemas dengan angle/sudut pandang tertentu sebagaimana pidato Anies tersebut yang sebenarnya hanya menjelaskan bahwa Jakarta adalah milik masyarakat Jakarta dan mengajak masyarakat Jakarta bersatu dan bangkit secara ekonomi. Peristiwa-peristiwa lainnya yang menjadi heboh karena diberitakan dengan angle tertentu yang menyudutkan sudah sering terjadi di Indonesia. Sebagai contoh pada 27 September 2016, Pernyataan Basuki Tjahaja Purnama/Ahok  (Gubernur DKI saat itu) yang terkait dengan surat Al-Maidah menghasilkan demo besar-besaran menuntut agar Ahok di pidanakan hingga akhirnya yang bersangkutan di penjara.
Berita lainnya muncul pada 12 Okotober 2016, adanya foto “penampakan” Presiden Jokowi di Istana ketika bertemu tim patung lilin Madame Tussauds yang dampaknya menjadi banyak berita yang mengulas sisi-sisi mistis dari Istana. Pada 12 November 2016 muncul lagi isu yang di “goreng” oleh media mengenai logo palu arit pada uang rupiah. Hebohnya pemberitaan “palu arit” ini menyebabkan demo yang cukup besar dan memprotes Bank Indonesia (BI), pelaporan ke polisi, yang menyebabka BI harus mengklarifikasi mengenai isu logo palu arit ini baik ke media maupun para ulama waktu itu.
Selain berita-berita diatas masih banyak lagi berita lainnya yang memang menimbulkan kehebohan bahkan sentimen-sentimen permusuhan. Hal ini menurut Koordinator Gerakan Bijak Bersosmed Enda Nasution menjadi hal yang wajar terjadi. Kaitannya dengan kasus Anies, Enda menjelaskan bahwa munculnya rasa jengah masyarakat mendengar kosa kata pribumi menjadi sesuat hal yang normal. Ia bahkan menegaskan bahwa riuhnya percakapan mengenai pribumi dan non-pribumi tidak akan berlangsung lama karena menurutnya hebohnya suatu pemberitaan hanya akan terjadi antara 1-2 hari saja dan akan digantikan oleh isu lain yang lebih segar dan baru.
Merujuk pada pendapat Enda tersebut, sebenarnya dapat disimpulkan bahwa dalam konteks pidato Anies dan munculnya kehebohan di media sosial sampai pada dilaporkannya Anies ke Bareskrim Polri menjadi suatu hal yang lumrah terjadi di era keterbukaan informasi seperti sekarang ini. Hal yang paling penting menurut penulis tentu saja ini menjadi pelajaran bagi seluruh pejabat publik untuk semakin bijak dalam berucap, bertindak dan mengeluarkan kebijakan karena bentuk komentar dan bullying di media sosial sebenarnya adalah bagian dari kontrol sosial masyarakat. Kontrol sosial itu juga sebenarnya bagian dari reaksi masyarakat terhadap tindakan-tindakan yang dianggap tidak  sesuai dengan norma-norma sosial.
Terakhir, menurut penulis pidato Anies yang menyebabkan beberapa pihak seperti “kebakaran jenggot” sebenarnya tidak bisa juga dilepaskan dari konteks Pilkada DKI yang bukan hanya menarik perhatian masyarakat saja namun ternyata ini juga menimbulkan munculnya kubu-kubu yang saling bersebrangan sehingga memunculkan isu-isu etnisitas waktu itu. Apalagi dengan episode dipenjarakannya Ahok sehingga ini menurut penulis tentunya membawa “luka” disalah satu kubu. mudah-mudahan tentunya Gubernur DKI Jakarta yang baru ini bisa merangkul semua golongan terutama kubu yang terluka tersebut.
Semoga.

                                                                                                               ———- *** ———–

Rate this article!
Tags: